Oleh : Lukman Wibowo
Dalam ajaran filsafat semantik yang pernah saya ketahui, bahwasanya makhluk hidup bisa didefinisikan sebagai “hidup yang tumbuh dan berkembang”, setidaknya harus mencakup tiga hal yaitu, identitas, paradigma atau cara berfikir, dan arah atau tujuan. Ketiga cakupan ini merupakan satu kerangka utuh (integralitas) yang dapat kita sebut—meminjam istilah Max Weber—sebagai “ide dasar”. Makhluk hidup ini akan mudah kita memahaminya, jika sample yang kita ambil adalah manusia.
Akan tetapi perlu diketahui, bahwa tidak setiap manusia memiliki ketiga cakupan atau “integralitas ide dasar” di atas. Kebanyakan manusia hanya mempunyai salah satu atau salah duanya saja—bahkan ada yang tidak memiliki ketiganya. Sehingga manusia seperti ini tidak layak disebut sebagai makhluk yang “hidup” tumbuh dan berkembang ke ranah yang lebih “positif”. Namun, di luar itu, tidak sedikit manusia yang lengkap mengandung cakupan itu. Artinya memiliki identitas, paradigma, serta punya tujuan hidup. Konon, merekalah manusia-manusia yang menyetir jalannya kebudayaan masyarakat—atau baiknya disebut “peradaban”.
Dalam lintasan sejarah, kita akan mudah mengenal “siapa” mereka, lewat fungsi kemanusiaan yang sudah mereka perankan. Kita tentu tidak asing lagi dengan sebutan-sebutan, filosof, nabi, ideolog, manusia setengah dewa, imam, master, atau “aktivis”. Itulah gelar yang galibnya mereka terima. Dan apapun gelar yang mereka peroleh, satu kesimpulan umum yang bisa ditarik, bahwa mereka adalah “pemimpin”. Artinya, dalam pengertian yang paling ideal dari ajaran filsafat semantik ini, adalah menempatkan manusia sebagai pemimpin. Yakni memimpin makhluk-makhluk lain yang “derajad”-nya di bawah manusia, dan juga memimpin sekelompok manusia lain, yang hidup dalam “cacat” kerangka ide dasar—atau bahkan tidak memiliki ketiga cakupan tersebut—agar manusia sanggup secara bersama-sama menentukan rupa suatu bentuk sejarah.
“Sejarah” (dalam pengertian “civilization”) merupakan salah satu kata yang sangat “heroik” dalam sejarah pembentukan kehidupan manusia itu sendiri. Aleksander Kojeve—sebagaimana yang dikutip Fukuyama—menyatakan bahwasanya sejarah dibangun atas dua faktor, yaitu, idea sebagai “sebab”, dan materi atau realitas atau dunia nyata sebagai “akibat”. Namun disini saya tidak akan berlanjut mengajak untuk membahas rumusan Kojeve yang diadopsinya dari Hegel. Hanya saja, apabila kita mengasumsikan “sejarah” adalah “peradaban”, maka sebaiknya kita musti mengetahui, yang mana “sebab”, dan yang mana “akibat”.
Membentuk “masyarakat seadanya” (community, bukan society) sangatlah mudah. Unsur utamanya adalah adanya individu-indvidu yang berkumpul dan kemudian melakukan interaksi. Tak soal, apakah kelak pergaulan yang dibangunnya baik atau buruk, kumpulan ini tetap berhak disebut sebagai masyarakat (komunitas).
Pertautan, konflik, dan segala macamnya, lambat laun pastilah melahirkan sebuah “sistem”, yakni dalam arti yang paling awam, bagian-bagian yang saling berhubungan dan disusun teratur, mulai dari yang makro sampai dengan yang partikular. (Dari titik inilah saya lalu bersepakat dengan apa yang dikatakan Syarafuddin, bahwa masyarakat sebagai sekumpulan orang yang mempunyai suatu cara berfikir dan bertindak yang khas, mempunyai kerangka pandang yang memunculkan perangkat teknis dan manajerial dalam menjadikan kerangka itu sebagai aksi kehidupannya). Mulai dari sini pula kita akan mendefinisikan masyarakat, bukan hanya sebatas indvidu-individu yang berkumpul (comunnity), melainkan telah hidup terorganisir (societas) yang dijalankan oleh seperangkat sistem institusional.
Tetapi, tidak selamanya sistem sosial yang dilahirkan tersebut kemudian wujud sebagai sistem yang baik (ideal). Bahkan tak jarang terbangun sistem yang buruk, dalam arti, adanya ketidakselarasan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Ini bisa difahami, karena sistem yang seperti ini dibentuk sekaligus dipimpin (manajerial-nya) oleh manusia-manusia yang tidak menempatkan kerangka identitas, paradigma, dan tujuannya, sebagai “kesatuan pandang” bersama..
Sebaliknya, jikalau seluruh individu yang membentuk masyarakat, berhasil menyusun “integralitas ide dasar”-nya dalam kesatuan pandang bersama yang diinginkan (idealisme), maka masyarakat semacam ini telah dianggap berhasil pula membentuk sistem yang baik. Dalam hal ini, nasionalisme, sosialisme, civil society, liberalisme, atau sistem apapun—asalkan bisa menempatkan keinginannya dalam kesatua pandang—boleh disebut sebagai sistem yang baik.
Akan tetapi, apakah sistem yang baik berhak pula dijustifikasi sebagai sistem yang benar (haqq) ?. Disini mungkinlah salah stu letak persoalan !.
Dalam sebuah sistem—baik itu yang ideal atau tidak—niscaya, identitas, paradigma, serta tujuan diletakkan sebagai “idea”, dan sistem itu sendiri adalah “material”. (Inilah yang barangkali dimaksud oleh Kojeve, tentang sebab-akibat lahirnya “sejarah”). Maka apabila idea adalah “sebab”, maka realitas masyarakat adalah “akibat”. Lantas parameter apakah yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa idea itu adalah benar, haqq ?. Secara sederhana, kita bisa melihat persoalan ini dari dua sudut pandang, yakni antroposentrisme ide dan teosentrisme ide.
Dari kacamata antroposentrisme ide, integralitas ide dasar (identitas, paradigma, dan tujuan) bersifat antroposentris, yakni idea-nya berasal dari keinginan manusia itu sendiri. Maka sistem ini, relatif bersifat duniawi (sekulum alias sekuler). Dengan kata lain, dalam frame ini, sistem yang baik bisa pula dianggap sistem yang benar menurut persepsi manusianya. Karena identitas, paradigma dan tujuan (idea), berasal dari kebenaran yang didefinisikan oleh manusia itu sendiri.
Namun di lain pihak, andai kita memposisikan Tuhan sebagai “sebab utama”, maka Tuhan adalah “maha ide”. Teosentrisme ide, meletakkan bahwa sumber idea berasal dari Tuhan yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Dalam pandangan teosentris, justeru, antroposentrisme ide dianggap dangkal, dan bisa jadi tidak sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Maka sistem dapat diyakini benar (haqq), jika integralitas ide dasar (identitas, paradigma, dan tujuan) berpusat serta berangkat dari Tuhan. Dan pada posisi ini, manusia hanyalah sekedar “pelaku” (atau khalifah, sang wakil Tuhan).
Menurut saya, ada baiknya, sebagai seorang yang beragama secara taat (muslim), kita bersikap “subjektif” dalam keberpihakan memakai frame teosentrisme ide—yang dalam pengertian Islam, disebut tauhid.
Bilamana kita kaitkan ke uraian di awal, yakni tentang kepemimpinan ; Dari pembahasan mengenai idea dan realitas (sebab – akibat), jelaslah bahwa tugas kaum muslim—dengan konsepsi tauhid sebagai idea—adalah memimpin seluruh ummat manusia, untuk membangun suatu peradaban “sejarah” (civilization) yang maju, baik dalam konteks kekhalifahan itu sendiri (horizontal), maupun peran abdullah-nya.
Dari uraian di atas, kita akan memperoleh urutan yang sistematis bagaimana peradaban itu disusun. Yakni, 1) adanya individu-individu (man), 2) terbentuknya masyarakat (comunity), 3) lahirnya kepemimpinan (institusi, lembaga, atau imamah), 4) terbangunnya masyarakat yang terorganisir (ummah atau sistem sosial), dan 5) tercipta peradaban sebagai ending. Dalam logika “men-jadi” atau to-be, dalam uraian ini kita akan mendapati bahwa “sistem sosial” merupakan superstruktur yang seluruhnya ditentukan oleh sikap “kepemimpinan” (institusional) di bawah konsep integralitas ide dasar (tauhid) itu sendiri.
Hubungan antara idea dengan realita, pastilah dijembatani oleh suatu “conceptual framework” yang sifatnya dinamis. Dan, jika kita menganggap idea adalah “sebab”, dan realitas adalah “akibat”, maka conceptual framework itulah yang kelak akan menghubungkan dan sekaligus membangun bagaimana yang idiil menjadi riil, serta sesuatu yang riil mampu idiil. Tentu hubungan keduanya (sebab – akibat), dijalankan oleh sekian faktor yang saling terkait dan penting, antara lain yaitu, “pelaku”, “cara”, dan perlu “alat”.
Dalam membangun peradaban Islam, niscaya dibutuhkan seluruh kerangka (perangkat) tersebut. Jika konsep masyarakat tauhid (al-qur’an) merupakan “idea” (tujuan) dan ikhtiyar mewujudkannya adalah “realita” (usaha), maka kaum muslim adalah “pelaku”-nya. Sedangkan sistem institusi merupakan “alat” dan conceptual framework adalah pedoman “cara”-nya.
* * *
Di Himpunan tercinta, kesatuan identitas, paradigma, dan tujuan, terangkum dalam satu integralitas ide dasar yang dikenal dengan nama “Khittah Perjuangan HMI”. (Dimana sebelumnya, HMI juga pernah menyusun manhaj gerakan, seperti Tafsir Azas 1957, Kepribadian HMI 1963, GPP 1966, serta NDP 1969). Khittah sebagai manhaj di HMI, bertugas sebagai “cara” (conceptual framework untuk menerjemahkan bagaimana yang idiil agar menjadi riil, serta sesuatu yang riil mampu idiil), dimana baldatun thoyyibatun wa robbun ghafuur merupakan “ídea”, dan perkaderan adalah “realitas”. Sementara kader serta institusinya adalah sebagai “pelaku” dan “alat”.
Sebagai integralitas ide dasar, Khittah Perjuangan—secara garis besar—nyaris sudah bisa dikatakan lengkap. Dimana “kedirian identitas” sedikit telah diterjemahkan ke dalam Bab Independensi, “paradigma” ditransformasikan ke dalam Bab Tafsir Azas, dan “tujuan” termaktub dalam Bab Tafsir Tujuan.
Hanya saja, kita musti maklum. Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa saat ini Khittah Perjuangan, sedikitnya mempunyai dua persoalan besar, pertama, tafsirnya atas kedirian, paradigma, maupun tujuan, belum bisa dianggap memadai dan lebih purna. Dan kedua, menurut beberapa kalangan, tafsirnya sudah “kurang canggih” menjawab permasalahan kekini-disinian.
Dari itu, sewajarnya adalah kewajiban kita, kader Himpunan, semampu mungkin untuk melakukan kerja-kerja pembaharuan (atau “penyempurnaan”, bukan sekedar “berubah”). Itu saja !
* Tulisan ini pernah dimuat di Movement Post, namun ditulis atas nama orang lain. Mungkin ini kesalahan redaksional dari media tersebut, atau juga barangkali karya penulis di “bajak” oleh orang lain, yang mengaku-aku sebagai penulis dari tulisan ini.
* Lukman Wibowo, Mantan Ketua Komisi Kebijakan PB HMI. Pengamat perkaderan HMI MPO, tinggal di Semarang.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment