Blogger Tricks

MATANYA

Tuesday, February 27, 2007

Pertrainingan HMI MPO:


12:58 PM |

Model pendidikan alternatif
Ahmad Mudzakir

Sebuah tulisan yang memberikan analisis tentang watak perkaderan HMI yang mampu melahirkan kader dengan karakter khas dan identitas yang jelas. Ditulis oleh Mantan Ketua Umum HMI Cabang Jakarta periode 2000-2001. semoga tulisan ini bisa memperkaya perspektif untuk perbaikan pertrainingan HMI kedepan

Pada dasarnya, agama-agama yang dianut oleh manusia, menjanjikan dua hal bagi pemeluknya. Pertama adalah jaminan kehidupan sosial yang anti kedzaliman, penuh dengan kedamaian serta menga­kui hak-hak hidup sesama. Dalam hal ini agama diyakini mampu mengatasi persoalan-­persoalan sosial, politik dan atau tata kehidu­pan globa. Kedua, agama menjanjikan kehi­dupan pasca kematian yang mulia, di­identikkan sebagai pertemuan sejati antara manusia dengan Tuhannya. Di dalam Islam sendiri, dalam term AI Quran (dapat kita temui istilah fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Klaim semua pemeluk agama akan implikasi positif dari penerapan ajaran agama­nya di muka bumi, menjadi niscaya dan wajar. Hal ini didasarkan atas keyakinan masing-­masing, jikalau agama yang dipeluknya adalah way of life. Pertanyaan yang muncul, manakah agama yang syah dan terbukti dapat mengata­si semua persoalan kemanusiaan di segala zaman.

Bagi umat Islam, klaim akan kebenaran agamanya adalah bagian dari jihad. Islam di­maknai sebagai aturan main yang mampu mengatasi berbagai persoalan, baik pribadi bahkan tata kehidupan dunia. Dengan Islam, persoalan hak asasi manusia, keadilan, eko­nomi, hubungan antar masyarakat dunia, bahkan persoalan-persoalan yang rumit sekali­pun pasti akan terjawab. Lebih lanjut, sadarkah umat Islam bahwa Tauhid sebagai way of life, atau hanya sebatas subordinasi dari kehi­dupannya. Ataupun kita dapat mengajukan pertanyaan lain, prinsip-prinsip bahkan aturan main teknis seperti apa yang menunjukkan bahwa Islam adalah konsepsi hidup.

Menanamkan cara pandang yang benar bahwa Islam adalah way of life, memerlukan kerja keras kaum-kaum tercerahkan. Melalui proses penyadaran, kaum intelektual berusa­ha mengembalikan cara pandang umat Islam dalam melihat dan memaknai Islam. Barang­kali, gagasan Islam kiri yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi, merupakan salah satu bentuk sok terapi. Bila Islam adalah utuh dan tidak mengenal “kiri” dan “kanan”, maka paling tidak umat Islam dibawa pada sebuah kesadaran, bahwa secara realitas cara beragamanya umat Islam masih keliru. Menurut Hanafi, bila secara konsepsi Islam adalah utuh, namun dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, umat Islam justru bersikap pasif, terbelakang dan konservatif. Dalam term politik, konservatif ini disebut “kanan”.

Tugas Intelektual Muslim
Dalam komunitas atau kelompok masyara­kat manapun, mereka yang dikategorikan pemikir, pemerhati dan atau kaum intetektual, berada dalam jumlah sedikit. Bahkan daiam ranah politik, kaum intelektual disebut sebagai kaum sempalan yang mencoba melawan arus, atau subversif. Namun demikian, mereka ada­lah kaum yang diberikan naluri, intuisi serta daya nalar yang tinggi, sehingga dapat melihat persoalan secara utuh. Merekalah yang selalu menemukan kesalahan-kesalahan sosial, ser­ta menunjukkan kepada publik, mana jalarl yang seharusnya dilakukan.

Fenomena kehidupan urnat Islam yang mengalami banyak keterbelakangan diberba­gai wilayah, memerlukan pemikiran serta kerja serius para intelektual muslim. Paling tidak, yang menjadi tugas utama kaum intelektual adalah bagaimana terjadinya perubahan cara berfikir urnat Islam. Oleh karenanya, perjua­ngan atau jihad yang mendasar adalah pencerahan.

Pencerahan sebagai jihad intelektual adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk rnensosialisasikan prinsip-prinsip keadilan, persamaan derajat dan yang terpenting adalah semangat perubahan. Medium yang diguna­kan adalah lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga kajian, pusat-pusat penyu­luhan masyarakat, pembinaan generasi muda, bahkan media massa.

HMI dan Upaya Intelektual
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri atas kesadaran intelektual kaum muda. Dalam tulisan Rusli Karim, HMI lahir karena melihat tiga persoalan, (1) Bangsa Indonesia menghadapi revolusi, (2) Situasi perguruan tinggi yang retak dalam melihat agama dan penge­tahuan, dan (3) Situasi ummat Islam Indonesia yang terpecah belah serta dihadapkan akan kerniskinan-kebodohan. Ini menunjukkan bahwa, HMI lahir atas kesa­daran sekelompok kecil kaum muda yang melihat berbagai persoalan di depan bangsanya

Perjalanan lebih lanjut, HMI selalu menunjukkan peran-peran positifnya ter­hadap bangsa. Peran terse­but secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua hal. Peran internal, yakni sejauhmana HMI berhasil membentuk pribadi-pribadi mahasiswa muslim, menjadi sosok-sosok pemikir dan pemimpin di masa depannya. Tidaklah heran, bila dalam pentas politik bangsa ini, kader HMI boleh disebut berhasil menguasai sentra­-sentra politik. Peran ekstemal, selain telah berhasil memunculkan banyak tokoh, HMI selalu tampil di depan demi menyuarakan kepentingan umat di depan kekuasaan sekali­pun. Hal ini pula yang telah menciptakan image bahwa kader-kader HMI adalah sosok yang kritis dan pahlawan kebenaran.

Hal penting yang telah menghantarkan peran-peran intelektual HMI, ialah model perkaderan atau pembinaan anggota. Maha­siswa muslim yang masuk menjadi anggota HMI diberikan pemahaman-pemahaman revo­litif, yang berpengaruh terhadap keyakinan dan prinsip perjuangannya. Di HMI mahasiswa muslim diberikan kekuatan doktrin akan Islam sebagai way of life, serta komitmen untuk menegakkan nilai-nilai Tauhid dalarn kem­dupan bermasvarakat dan bernegara.

Kecelakaan HMI
Perjalanan HMI dalam mewujudkan peran intelektualnya tidak mulus. Orde baru melihat HMI sebagai kekuatan kaum muda yang aktif, sarna berbahaya dengan barisan umat Islam lain yang konsisten dengan perjuangan Islam. Oleh karenanya, tahun 1983, rezim orde baru telah menciptakan kecelakaan bagi HMI, dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur masalah azas organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Sejak saat itulah, HMI terpecah menjadi dua, satu yang mengi­kuti arus kedzaliman politik, dan satu lagi tetap konsisten dengan tujuan semula.

Akibat refresi politik orde baru, maka suara nyaring HMI menjadi surut terakomodir ke­kuasaan. HMi tidak lagi dianggap sebagai penyalur aspirasi urnat, bahkan justru menjadi lembaga yang memberikan legitimasi atas kesalahan-kesalahan orde barU. Yang menyedihkan adaLah, HMI­-MPO yang konsisten dengan pEran intelek­tualnya, pun tercemari dengan sikap akomo­datifnya HMI-Dipo.

HMI MPO dan Perannya

Sebagai kekuatan HMI, yang tetap konsis­ten dengan Islam sebagai azas, serta tidak mau berkompromi dengan kekuasaan, HMI­-MPO banyak memberikan makna dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun dalam term politik, HMI-MPO adalah “gerakan bawah tanah” namun secara nyata telah mem­berikan kontribusi positif. Kontribusi pertama adalah pembinaan genarasi muda, dan kedua adalah “provokator” perubahan.

Tujuan HMI-MPO adalah terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul Albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT atau Baldhatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Daiam penggalan pertamanya, HMI berupaya mem­bina mahasiswa-mahasiswa muslim menjadi sosok-sosok berkualifikasi Insan Ulul Albab. Dan penggalan kedua, bahwa HMI bersama­-sarna organ masyarakat dan umat Islam lain, berupaya menegakkan kehidupan masyarakat yang thayyibah (baik, sejahtera, adil makmur) serta mendapat ridha Allah SWT.

Yang menjadi sorotan utama tulisan ini, ialah sejauh mana HMI-MPO melahirkan kader-kader berkualifikasi ulul Albab. Istilah Ulul Albab di dalam Al Qur’an, diterjemahkan seca­ra sederhana oleh masyarakat Indonesia sebagai kaum yang berakal dan betfikir. Namun menurut hemat penulis, hal ini salah kaprah karena tidak sesuai asal katanya. Kaum berfikir ialah uli Fikr dan kaum berakal ialah Uli Aql. Sedangkan untuk Ulul Albab penulis tidak menemukan padanan bahasa Indonesianya yang benar. Oleh karenanya, kita memberikan makna tersendiri atas istitah Ulul Albab.

Dalarn cara pandang HMI-MPO, sesuai ayat Al Our’am, Ulul Albab adalah mereka yang memperoleh kelebihan dari Allah SWT. Mere­ka adalah kaum yang dianggap mampu mengamati, menangkap fenomena­-fenomena sunnatullah, sehingga mampu menganalisa masa lalu serta merekayasa sejarah masa depan. Kaum Ulul Albab juga memiliki kernampuan transenden, sehingga rnereka adalah yang mapan dalam mencer­mati dan menciptakan sejarah, serta tidak mengalami “keterasingan” akibat kemajuan teknologi. Dalam istilah-istilah yang sering dilontarkan pada training-training, Insan Ulul Albab adalah mereka yang berdzikir dan berfikir.

Di HMI- MPO Insan Ulul Albab dimaknai juga sebagai kaum intelektual yang selalu haus akan pengetahuan, komitmen dengan kebenaran serta berani mengambil resiko. Doktrin Ulul Albab inilah, yang secara langsung telah mengarahkan kader-Kader HMI-MPO menjadi sosok-sosok yang kritis, berani menentang arus, komitmen dengan keyakinan, tidak takut menghadapi tirani mayoritas dan kekuasaan sekalipun, serta pantang menyerah.

Pembinaan generasi muda muslim di HMI-­MPO telah mewarnai pendidikan pada umum­nya. Bila perguruan tinggi hanya mampu mengajarkan mahasiswa pada persoalan-­persoalan teknis, HMI-MPO membina generasi muda pada persoalan-persoalan prinsip. Dengan demikian, walaupun perlu diteliti ulang, terdapat perbedaan antara kader-kader HMI-MPO di sebuah komunitas dengan mahasiswa lain yang hanya kuliah biasa, atau bila dibandingkan dengan aktifis lembaga-lembaga kemahasiswaan lain sekalipun. Penulis melihat perbedaan yang mendasar antara aktifis HMI-MPO dengan aktifis-aktifis lain, tentunya bukan hanya dalarn persoalan prinsip, tetapi juga teknis dan manajerial

Mengapa HMI-MPO Melahirkan Kader Yang Berbeda?
Pendidikan pada umumnya, dari sejak SD sampai Perguruan Tinggi, tidak jauh sebagai lembaga-lembaga formal yang tidak memanu­siakan manusia. Dalam bahasa Paulo Freire, sekolah hanya sebagai tempat transfer pe­ngetahuan dari buku ke otak manusia, dari otak guru ke otak muridnya dan atau dari suatu zaman ke zaman sekarang. Model seperti inilah yang disebut oleh Freire sebagai pendi­dikan gaya bank, yang rnenganggap manusia sebagai mesin data. Hasil yang diperoleh adalah generasi yang tidak mampu mengaktualisasikan potensi dirinya. Menurut Erich Fromm, pendidikan seperti ini telah menciptakan manusia terasing dengan dirinya, dan sernata berorientasi pasar. mengikuti trend dan mengindahkan naluri.

Pendidikan secara umum, juga telah memposisikan manusia sebagai robot-robot pasar, yang hanya siap bekerja pada “bos-­bos kapitalis”. Oleh karenanya tidak heran, jika banyak lulusan lembaga pendidikan yang hanya mampu “mencari kerja” bahkan menambah angka pengangguran bukan “menciptakan lapangan pekerjaan”. Ini diakibatkan oleh kesalahan pendidikan yang menutup potensi siswa bahkan mahasiswa.

Dalam perspektif lain, pendidikan juga melahirkan kaum-kaum ekslusif dan marginal. Dalam bahasa Ali Syri'ati, pendidikan telah membuat manusia “sok pintar” dan merasa lebih dibanding masyarakat lain. Kecende­rungan inilah yang telah memunculkan eksploi­tasi berdalih pembangunan, serta individualis­nya lulusan-lulusan sekolah. Menurut Syari'ati pendidikan tidak melahirkan lulusan-lulusan yang egaliter dan bersama-sama rakyat membangun negeri. Lulusan sekolah atau perguruan tinggi, justru berlomba mencari peluang untuk dapat memanfaatkan rakyat-­rakyat bodoh. Mereka hanya bisa ngomong dalam seminar, duduk di ruang profesor tanpa mampu menyentuh masyarakat

HMI-MPO menggunakan model pendidi­kan yang jauh lebih konstruktif dibanding pendidikan lain. Pendekatan yang digunakan antara lain (1) ldiologisasi, (2) Egalitarianisme, (3) Kebersamaan , serta (4) Pengakuan akan sesama. Oleh karenanya, pendidikan di HMI­-MPO melahirkan kader-kader yang memiliki keyakinan transendensi, mencintai sesama, semangat perubahan dan anti kemapanan, percaya diri dan memiliki kemapuan manajerial.

Kegiatan Pendidikan formal yang lazim di HMI-MPO, ialah disebut training atau pelati­han. Dalam training dasar, kita dapat melihat kurikulum sebagai berikut: (1) Ideologisasi, dalam bentuk penanaman keyakinan akan Tauhid. (2) Pengkondisian, membentuk watak keseharian. (3) Penugasan, pengujian mental dan kemampuan. (4) Pembekalan manajerial, pedoman berorganisasi/bermasyarakat sehari-hari. (5) Ke-HMI-an, upaya sosialisasi perjuangan HMI.

Militansi dan semangat perubahan “sarjana training HMI” dibentuk: bukan hanya karena kurikulum yang menantang, tetapi kondisi lain yang kondusif perlawanan. Dari segi finansial, penyelenggaraan training-training selalu diimbangi dengan keterbatasan finasial, akhimya “mahasiswa training” HMI-MPO berada dalam perjuangan fisik melawan “lapar” dan “dahaga”. lnilah faktor lain yang menimbulkan militansi. Dalam bahasa fisika, bila sebuah per (sejenis spiral besi) ditekan, maka per akan memberikan tekanan lebih kuat atas daya penekannya. Sebaliknya semakin lemah daya penekan, maka per akan bersikap lunak. Ini berarti bahwa ketika pendidikan di HMI dibarengi penderitaan, maka militansi pun akan terbangun.

Pola hubungan antar leader dengan penga­der di HMI-MPO juga mempengaruhi watak kader. Di HMI-MPO pengader menjadi contoh (figur) yang ditiru generasi barunya. Dengan demikian, pendidikan di HMI telah melahirkan kesadaran kolektif, egaliter dan saling mangontrol. HMI-MPO tidak melihat pendidi­kan sebatas kegiatan formal (training anggap saja sebagai sekolah), tetapi memperhatikan aspek sosiologis, yang justru berperan dalam menciptakan watak seseorang.

Belakangan ini, para pemerhati atau pakar pendidikan ribut, menyoal pendidikan apa yang produktif. Dalam buku Perguruan Tinggi Pesantren (1997), Wahjoetomo mengusulkan model “pengkondisian” seperti layaknya di sa­buah pesantren. Maksudnya adalah, materi pelajaran yang diberikan di ruang kelas harus dimbangi dengan pengkondisian emosi yang memungkinkan siswa dewasa. Dalam Quantum Learning, pendidikan juga dianggap baik bila siswa diberikan rasa percaya diri, memiliki prinsip hidup dan bertujuan. Seka­rang muncullah “Boarding School”, yang bila diteliti semuanya telah terdapat dalam pen­trainingan di HMI-MPO. Pettrainingan HMI-­MP0 dengan demikian menjadi model pendi­dikan alternatif, yang dapat dijadikan referensi bagi pemerhati-pemerhati pendidikan.



You Might Also Like :


0 comments: