upaya meneladani pemikiran Muhammad Iqbal
oleh : KHILMI ZUHRONI
[berikut ini sebuah tulisan yang mencoba membedah pemikiran Iqbal seputar eksistensi manusia. filosofis, penuh refleksi dan "berat"]
Renungkanlah sejenak hakekat manusia ini…
Ia masih masih bergelimang lumpur,
tapi suatu masa kelak akan sempurna
Demikian sempurnanya makhluk yang tampak tanpa keistimewaan ini
Sehingga suatu masa nanti,
Tuhan sendiripun cemburu kepadanya..
(iqbal, dalam Javid namah)
Ia masih masih bergelimang lumpur,
tapi suatu masa kelak akan sempurna
Demikian sempurnanya makhluk yang tampak tanpa keistimewaan ini
Sehingga suatu masa nanti,
Tuhan sendiripun cemburu kepadanya..
(iqbal, dalam Javid namah)
Definisi EGO/Khudi
Dalam sepucuk suratnya yang disampaikan pada penyair besar Akbar Allahabadi, Iqbal memberikan penjelasan tentang terbitnya Asrār-I-Khudī, bahwa ; Agama tanpa kekuatan adalah filsafat murni, hal inilah yang telah mendorongnyaa menulis Asrār-I-Khudī, sebuah persoalan yang telah dipikirkan selama sepuluh tahun yang lalu. Surat ini disampaikan Iqbal tatkala dengan terbitnya puisi tersebut, banyak terjadi perdebatan diantara berbagai kelompok Islam, terutama bahwa konsep dan sekaligus kritik Iqbal tentang pribadi/Khudi/Ego dianggap menyerang konsepsi Wahdāh al-Wujūd.
Al-Qur'ān dengan cara yang sederhana dan penuh daya menekankan individualitas dan keunikan manusia, menurut Iqbal, memiliki tinjauan yang pasti mengenai takdir manusia sebagai kesatuan kehidupan. Terkait keunikan manusia ini, dalam al-Qur'ān disampaikan dengan jelas, bahwa: manusia adalah pilihan Tuhan (Q.S; 20:122); manusia dengan kesalahan-kesalahannya, dimaksudkan menjadi wakil Tuhan di bumi (Q.S; 2:30); dan bahwa manusia adalah kepercayaan suatu pribadi yang merdeka, yang menerima dengan menginsafi setiap resiko yang akan ditanggungnya (Q.S; 33:72).
Dengan pemaparan al-Qur'ān yang begitu jelas, Iqbal memandang adanya keharusan untuk memperhatikan secara serius kesatuan kesadaran manusia yang membentuk pusat kepribadian yang dalam sejarah pemikiran Islam kurang mendapat tempat pembahasan. Sebagaimana Bradley, Muhammad Iqbal juga menggunakan istilah Ego untuk menyebut kesatuan kesadaran tersebut. Namun berbeda dengan Bredley yang mengganggap Ego sebagai ilusi belaka karena di dalamnya terkandung berbagai kontradiksi dan kekacauan, Iqbal justeru melihat Ego sebagai kesatuan dari keadaan-keadaan mental. Keadaan mental yang saling terjalin, saling menguatkan, memberi makna, dan tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu isolasi satu sama lain.
The Ego reveals itself as a unity of what we call mental states. Mental states do not exist in mutual isolation. They mean and involve one another. They exist as phases of a complex whole, called mind.
(Ego menyatakan dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan dari yang kita sebut keadaan mental. Keadaan mental itu tidak berdiri dalam hubungan saling membatasi. Mereka saling mengkait satu sama lain. Mereka ada sebagai fase-fase yang komplek secara keseluruhan, yang dinamakan ide)
Dalam muqaddimah karyanya Asrār-I-Khudī, dia menulis bahwa:
…kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan manusia ini, merupakan hal yang diliputi rahasia dan mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam fitrah manusia. Hal inilah yang disebut dengan Khudi atau Min.
Karakteristik lain dari Ego adalah kesendiriannya yang esensial, yang menunjukkan setiap keunikan Ego. Bahkan oleh sebab sifat keunikan ini, Tuhan-pun tidak dapat merasakannya. Maka, menurutnya pengalaman kesadaran ditentukan oleh keadaan-keadaan mental saat berhubungan antara kualitas-kualitas dengan substansi kualitasnya. Sejalan dengan William James, Iqbal menganggap bahwa pengalaman-pengalaman itu saling memiliki kaitan hingga mereka saling tangkap antara satu dengan yang lain dalam arus kehidupan mental.
The ego consists of the feelings of personal life, and is, as such, part of the system of thought. Every pulse of thought, present or perishing, is an indivisible unity which knows and recollects. The appropriation of the passing pulse by the present of thought, and that of the present by its successor, is the ego.
(Ego terdiri dari perasaan-perasaan kehidupan pribadi, dan merupakan bagian dari sistem pikiran. Setiap denyut pikitan, saat ini atau masa lalu, adalah kesatuan tak terpisahkan yang mengetahui dan mengingat. Pergeseran pikiran dari masa lalu ke masa kini, demikian pula pergantian dari masa kini ke masa lalu, itulah yang disebut ego).
Selanjutnya, dalam perkembangannya Ego mendapat/memberi kepemimpinan dan dibentuk/membentuk melalui pengalamannya sendiri. Dari situlah awal terbentuknya sebuah kepribadian sejati, yakni bukan sebagai sebuah benda, tapi suatu tindakan. Bagaimana Ego dapat memimpin dan mengarahkan sangat tergantung bagaimana pengalaman itu membentuknya. Pengalaman sendiri hanyalah suatu deretan tindakan-tindakan, yang satu sama lain saling bersinambungan, yang seluruhnya diikat oleh tujuan. Disini Iqbal berpendapat bahwa eksistensi pribadi ditentukan oleh sikap, kemauan, maksud-maksud dan cita-citanya. Ia tidak dapat dilihat sebagai suatu benda dalam ruang, atau sebagai deretan pengalaman dalam rentang waktu, tetapi ia harus ditafsirkan, dipertimbangkan, dipahami dan dihargai dari sikap, kemauan dan tindakannya tersebut.
My experience is only a series of acts, mutually referring to one another, and held together by the unity of directive purpose. My whole reality lies in my directive attitude.
(Pengalamanku hanyalah suatu deretan tindakan-tindakan, satu sama lain saling berhubungan, dan seluruhnya diikat oleh kesatuan pencapaian tujuan. Realitasku secara keseluruhan terletak pada sikapku yang mengarahkan)
Perjuangan dalam pengalaman yang bertindak dengan tujuan inilah yang meyakinkan kita akan efisiensinya sebagai person. Sifat hakiki suatu tindakan bertujuan adalah pandangannya kepada situasi dimasa depan. Demikianlah adanya unsur bimbingan dan kontrol dalam Ego menunjukkan bahwa Ego adalah suatu kausalitas personal yang merdeka, sebagaimana ungkapan Iqbal dalam Asrār-I-Khudī:
Hidup diabadikan oleh tujuan
Oleh tujuan genta kafilah berbunyi
Hidup terpendam dalam mencari
Asalnya sembunyi dalam gairah
Nyalakan gairahmu dalam hati riang gembira...
Kemerdekaan personal ini dalam kehidupan Ego menumbuhkan pribadi-pribadi kreatif saat terjadi persinggungan dengan kreatifitas pribadi yang lain. Dan pada saat terjadi persinggingan antara kepentingan pribadi ini, ada yang dengan sendirinya tersingkir dari proses tersebut sebab kelemahannya dan ketidak-jelasan tindakan kemerdekaannya. Proses tersingsingkirnya Ego-Ego yang lemah ini, lebih jauh belum dijelaskan oleh Iqbal, apakah itu berarti secara budaya semata atau kaitannya dengan kelemahan spiritual. Serta bagaimana Ego yang kuat mengatasi ego-ego lain yang lemah juga belum begitu nampak dalam konsepsi awal filsafat Ego-nya.
Lebih lanjut menurutnya, hanya pribadi-pribadi yang kuat sajalah yang sanggup naik ke tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Dalam Islam pengalaman lebih tinggi ini disebut sebagai iman. Iman bukanlah sekedar kepercayaan pasif akan suatu masalah tertentu, tetapi merupakan keyakinan yang hidup yang didapatkan dari suatu pengalaman yang jarang terjadi.
Fase-fase Pendidikan Pribadi
Untuk sampai pada tingkatan-tingkatan pengalaman yang lebih tinggi, yakni sebagaimana dikatakan diawal bahwa manusia adalah wakil Tuhan, manusia harus senantiasa keras menguasai pribadinya, melalui apa yang disebut Iqbal dengan pendidikan pribadi. Ada tiga fase pendidikan pribadi; ketaatan pada hukun Ilahi, penguasaan diri, dan perwakilan Ilahi.
Tahapan belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum Ilahi ini disebutkan Iqbal dalam Asrār-I-Khudī:
Siapa yang hendak menguasai matahari dan bintang
jadilah ia tawanan hukum
Karena hukum kesatuan titik air jadi laut
Dan segenggam pasir menjelma gurun sahara
Wahai kau yang lepas dari hukum Islam
Hiasilah kakimu dengan langkah agama
Dalam tahap pertama ini, ketundukan terhadap hukum-hukum yang dibentuk oleh Sang Khaliq merupakan bukti bagaimana pribadi berusaha untuk senantiasa mendekatkan dirinya dengan Sang Maha Pencipta. Rahasia Allah tersebar dalam setiap ciptaan sekaligus hukum-hukum (sunatullah) yang ditetapkan pada setiap ciptaan-Nya. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menguatkan bahwa dalam setiap ciptaan baik yang ada di langit maupun di bumi, ada ketentuan yang mengikatnya sehingga terbentuk suatu keteraturan alam yang berjalan pada masing-masing ketentuan tersebut. Hanya dengan memahami arus sunatullah tersebut, manusia akan dapat menangkap rahasia-rahasia yang ada di balik setiap ciptaan. Memahami termasuk di dalamnya juga berarti menjalankan hukum yang dinisbatkan pada penciptaan manusia.
Setelah itu tahap yang lebih lanjut adalah dengan belajar disiplin terutama dalam mengendalikan diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia.
Oleh cinta Pribadi kian abadi
Lebih hidup, lebih menyala dan lebih kemilau
Cinta mengajarinya menerangi alam semesta…
Cinta tak takut pada pedang dan pisau belati
Sumber hidup ialah kilau pedang cinta
Dalam tahap ini, cinta dan ketakutan kepada Tuhan memiliki nilai yang sangat besar bagi proses pendidikan pribadi. Iqbal menggambarkan cinta sebagai sebuah memuatan yang dapat melampaui ikatan ruang dan waktu yang selalu membelenggu pribadi manusia untuk sampai pada hakekat penciptaan. sebagainama pendapat Iqbal bahwa “akal harus menembus gunung atau berputar-putar mengitarinya untuk mengatahui rahasia apa yang ada dibaliknya, tetapi dengan cinta gunung bagaikan sejumput jerami, hati meluncur lincah bagai ikan. cinta menaklukkan suatu “tanpa-ruang”.
Cintalah yang sanggup menjadikan pribadi menguasai alam semesta. Dialah yang sanggup mendamaikan silang sengketa dunia. Dalam cinta sang pribadi menemukan rahasia keindahan yang terhampar dalam warna dan aroma bunga-bunga.
Apabila pribadi diperkuat dengan cinta
Kekuatannya menguasai alam semesta
Kiai langit menghias langit dengan taburan bintang
Dipetiknya putik bunga dari dahan pribadi
Tangannya menjelma menjadi tangan Tuhan
Tahap selanjutnya adalah proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi Sang pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya. Sebab Tuhan tidak dapat diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat manusia telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya.
Tinggalkan dirimu dan hijrah kepada Tuhan
Setelah engkau mendapat kuasa-Nya
Kembalilah lagi kepada dirimu
Dengan menyerap Tuhan kedalam dirinya, tumbuhlan Ego. Ego menjadi super Ego, maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan. Dengan demikian dia dianggap telah memenuhi syarat menjalankan tugas kekhalifahan, memancarkan sifat-sifat Ilahiah dalam mikrokosmos.
Maka, pada saat pribadi telah mencapai tahapan mitra Tuhan, dia mamiliki tanggung jawab untuk menyampaikan, memberi peringatan dan kembali pada kahidupan dan tugas-tugas kemanusiaan. Dengan demikian mereka harus secara aktif berada dan memberikan arti yang besar bagi umat manusia. Bahkan pencapaian tahapan khalifah itu sendiri adalah sebuah momentum semangat baru bagi arah tata peradaban manusia dimana goncangan energi-energi dunia psikologis saat pertemuannya dengan Allah merupakan pengalaman religius yang secara konkret mendasari hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi suatu dorongan yang besar untuk menciptakan budaya baru yang merupakan koreksi atas berbagai tradisi dan sejarah terahulu yang telah jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan visi utama penciptaan manusia.
In his personality the finite centre of life sinks into his own infinite depths only to spring up again, with fresh vigour, to destroy the old, and to disclose the new directions of life.
(Dalam kepribadiannya—seorang nabi—sebagai pusat hidup yang terbatas pada saat hanyut ke dalam Yang Tak terbatas, hanyalah usaha untuk melompat yang lebih jauh, dengan energinya yang baru, agar dapat menghancurkan yang lama dan membukakan semangat hidup yang baru.)
Ego dalam Kesadaran Profetik
Penciptaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, manusia turut ambil bagian di dalamnya dan setiap saat menciptakan situasi-situasi dan produk-produk baru. Kehidupan bukanlah sesuatu yang siap jadi; keinginan-keinginan, hasrat-hasrat baru selalu menciptakan kehidupan baru dalam kehidupan ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Iqbal dalam Payam-i-Mashriq:
Kau ciptakan malam dan aku menciptakan lampu
Kau ciptakan lempung dan aku menciptakan cawan…
Akulah yang mengubah batu menjadi cermin
Akulah yang menjadikan racun sebagai obat penawar
Kebesaran manusia terletak dalam daya ciptanya…
Hidup adalah sesuatu yang terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk senantiasa menerima cahaya-cahaya baru dari realitas yang tak terbatas yang setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru.
Nature not as something static, situate in an infinite void, but a structure of inter-related event out of whose mutual relations arise the concept of space and time. And this is only another way of saying that space and time are interpretations which thought puts upon the creative activity of the Ultimate Ego.
(Alam tidak sebagai sesuatu yang statis, yang terletak dalam rongga tak terhingga, melainkan sebagai suatu truktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan, yang pada akhirnya melahirkan pengertian-pengertian tentang ruang dan waktu. Dengan kata lain bahwa konsep ruang dan waktu ini dipahami oleh pikiran terhadap aktifitas yang kreatif dari Ego-Terakhir).
Disisi lain kemampuan untuk terus terlibat dalam proses semesta itu juga tidak bisa dijalankan hanya dengan bergantung pada kemampuan yang lain. Setiap individu aktif sebagaimana dalam kesadaran kenabian harus terus menggali kekuatan dirinya. Dalam Islam, sebagaimana kata Iqbal :
Kenabian itu sudah sampai pada kesempurnaan bila ia sudah dapat menemukan perlunya menghapuskan diri sendiri. Ini mengandung suatu pelajaran yang dalam, bahwa hidup tidak dapat selamanya harus dituntun; supaya dapat menyelesaikan kesadaran diri sepenuhnya yang pada akhirnya musti kembali kepada kemampuannya sendiri.
Lebih jauh, apa yang disebut Iqbal sebagai kesadaran kenabian adalah sebuah konstruksi kehidupan yang terus mengalami proses menuju kesempurnaan, dimana manusia yang disebut al-Qur’an sebagai wakil Tuhan juga sangat terlibat aktif dalam proses menuju kesempurnaan itu. Seperti halnya yang disampaikan Iqbal bahwa semua makhluk selalu berkembang dan mengembangkan jenisnya untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkunga sekitarnya. Dari proses penyesuaian itu terdapat mekanisme evolusi hidup untuk selalu memperbaiki diri, sebab sesuai dengan ajaran al-Qur’an bahwa pada dasarnya alam ini dinamis, terbatas (waktunya), dan dapat bertambah. Dengan demikian kewajiban pribadi muslim adalah merenungkan perjalanan semesta yang dinamis itu. Tidak membiarkannya begitu saja sebagai orang yang tuli atau buta. Sebab orang-orang yang membiarkan begitu saja proses perjalanan itu dalam hidupnya, ia akan tetap buta terhadap kenyataan-kenyataan hidup yang akan datang. Dengan proses menuju tahap kesempurnaan itu memberikan kemungkinan manusia selanjutnya untuk senantiasa kerja kreatif.
Dengan berpegang pada pendapatnya bahwa dunia ini adalah sesuatu yang konkret, Iqbal mencoba menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang digali dari metode induksi, observasi kritis, dan eksperimentasi terhadap prinsip dinamisme perjalanan semesta tersebut. Menurut Iqbal, pengalaman batin itu tidak satu-satunya sumber pengetahuan manusia, dalam al-Qur’ān ada dua sumber pengetahuan lain, yakni alam dan sejarah. Iqbal berusaha menjelaskan adanya anggapan yang mengatakan bahwa metode eksperimen itu berasal dari Barat Yunani, apalagi Eropa adalah tidak benar. Menurutnya Ibnu Hazm telah memulai konsepsi pengetahuan yang didasarkan pada cerapan pengindraan.
Dalam konsepsi kesadaran profetik, Iqbal ingin menyampaikan bahwa keterlibatan manusia terhadap semesta dan sejarahya serta dengan pengetahuan yang mendalam tentang keduanya, memberi arti kreatif adanya hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi suatu kekuatan dunia yang berjiwa. Yakni sebuah hasrat mencari bukti dan kesaksian wujudnya, sebab tanpa kesaksian wujud itu tidak lain bagai warna dan aroma pada setangkai bunga. Jika tidak dicium dan dipandang tak adalah arti bagi aroma dan warnanya.
Jika dirunut dalam tradisi filsafat Islam, nampaknya apa yang disebut Muhammad Iqbal sebagai kesadaran profetik, akan dapat ditemukan pula dalam konsepsi filsafat kenabian di kalangan filosof Islam awal. Al-Fārābī misalnya, sejak awal sekali telah memberikan satu konsepsi manusia ideal yang menurutnya diangga mampu menjadi pemimpin bagi masyarakat. Namun berbeda dengan Al-Fārābī yang mengatakan bahwa daya imajinasi yang kuat yang terdapat pada nabi-nabi semata merupakan pemberian Tuhan karenanya disebut sebagai manusia pilihan, Iqbal menganggap bahwa jiwa-jiwa kreatif yang berkesadaran profetik itu sepenuhnya merupakan proses usaha yang terus-menerus dari pribadi. Usaha itu harus dicapai secara maksimal dengan penyerahan, hasrat, gairah dan kekuatan diri. Sebab tanpa gairah untuk mencapai tingkat perwakilan Ilahi, pribadi tidak akan sampai pada tujuannya.
Gairah adalah ruh dunia ini dari warna-warna dan wewangiannya
Seluruh kesucian merupakan kepatuhan akan gairah
Yang hendak menarikan hati dalam dada
Diberinya tenaga dahsyat bagi bumi
Hati menyerap hidup dari nyala gairah
Apa yang disebut Iqbal, sebagai gerak kreatif pribadi ini juga dapat ditemukan juga dalam pemikiran Ibnu ‘Arabī tentang santo atau nabi. Menurutnya wakil (khalīfah) dari Tuhan adalah Ruh Muhammad yang terus-menerus memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk nabi dan santo-santo (kelas manusia yang termasuk dalam kateori manusia sempurna) yang masing-masing bisa disebut sebagai khalifah. Dan kini, oleh karena kerasulan dan kenabian itu telah berakhir, kekhalifahan umum sajalah yang tinggal dan telah menjadi warisan eksklusif dari santo-santo muslim yang juga merupakan pengikut-pengikut dari hukum Muhammad.
Dalam pengertian bahwa sekalipun tradisi kenabian itu telah berakhir dengan Muhammad sebagai penutup, namun visi-visi dari tugas utama kenabian akan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Ego profetik dalam pemikiran Iqbal bukanlah secara fisik sebagaimana adanya utusan-utusan terdahulu, namun lebih sebagai manifestasi pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran kenabian. Yakni adanya dorongan untuk terus-menerus melahirkan jiwa-jiwa kreatif dan memahami bahwa aktifitas kreatif sebetulnya adalah aktifitas Ilahi, mengingat dia telah sampai pada mitra Ilahi.
Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan sebelumnya (menggali visi profetik dalam pemikiran iqbal), kesadaran profetik mengidentifikasi diri melalui pengembangan kesadaran dalam aktifitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktifitas kreatifitas diri adalah akfititas Ilahi. Dengan demikian sebagai titik pusat dari kekuatan diri, konsepsi Ego sepenuhnya menggambarkan sesuatu yang terus-menerus berproses mencapai tingkat kesempurnaan. Melalui jiwa kreatif, Ego membentuk diri mereka ke dalam suatu system yang tersusun dengan baik, yang secara bertahap bergerak kearah kesempurnaan. Eksistensi Ego ditentukan oleh sikap, kemauan, maksud-maksud dan cita-citanya. Ia tidak dapat dilihat sebagai suatu benda dalam ruang, atau sebagai deretan pengalaman dalam rentang waktu, tetapi ia harus ditafsirkan, dipertimbangkan, di pahami dan dihargai dari sikap, kemauan dan tindakannya tersebut.
Perjuangan dalam pengalaman yang bertindak dengan tujuan inilah yang meyakinkan kita akan efisiensinya sebagai person. Sifat hakiki suatu tindakan bertujuan adalah pandangannya kepada situasi di masa depan. Demikianlah adanya unsur bimbingan dan kontrol dalam Ego menunjukkan bahwa Ego adalah suatu kausalitas personal yang merdeka.
Dalam kesadaran profetik, Ego menemukan suasana diri dan keharusan untuk selalu memiliki hasrat dan tujuan menjalankan aktifitas-aktifitas kreatif. Melalui kesadaran bahwa aktifitas kreatifitas diri adalah akfititas Ilahi, Ego selalu berusaha menyisihkan diri ke dalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu pula ia mau menciptakan suatu dunia ideal yang baru.
Tinggalkan dirimu dan hijrah kepada Tuhan
Setelah engkau mendapat kuasa-Nya
Kembalilah lagi kepada dirimu
Nampaknya konsepsi Ego dalam pandangan Iqbal murni sebagai bentuk persona yang dalam jiwanya dituntun penuh oleh aktifitas dari dalam kesadaran profetik, yakni sebuah konstruksi kehidupan yang terus mengalami proses menuju kesempurnaan dan dengan menuju tahap kesempurnaan itu memberikan kemungkinan manusia selanjutnya untuk senantiasa kerja kreatif. Dengan demikian aspek penting dari filsafat Iqbal adalah konsep kebebasan nyata bagi Ego atau diri manusia yang demikian besar sehingga melalui kebebasan ini realitas puncak (ultimate reality) dibukakan.
Pribadi dan Masyarakat; Ijtihad Rancang Bangun Masyarakat Islam
Islam adalah ajaran yang mengedepankan aspek-aspek sosial demi tercapainya kesempurnaan individu. Di mata Islam, beriman kepada Allah haruslah punya implikasi pada kehidupan kolektif umat manusia berupa terwujudnya prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama.
Filsafat Iqbal bermuara pada pribadi/Ego atau Khudi. Dia menyerukan untuk memantapkannya, mendidiknya, dan menguatkannya, sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan diatas. Namun demikian eksistensi pribadi dapat menjadi hilang tatkala kekuatan pribadi ini tidak dipadukan dengan kekuatan pribadi yang lain dalam masyarakat dimana ia hidup.
Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu-individu. Namun tidak sebagai kumpulan yang saling terpisah, akan tetapi merupakan satu kesatuan secara keseluruhan. Dalam keseluruhan itu bagian yang lain tidak dapat hidup dan berkembang tanpa sebagian yang lain. Masyarakat adalah ibarat organ tubuh yang masing-masing bagiannya memiliki peran yang sangat signifikan dalam tumbuh dan berkembang bersama. Tanpa adanya individu-individu yang sadar akan peran sosialnya masing-masing keberlangsungan hidup masyarakat akan mengalami goncangan negatif dan disharmoni.
Sebagai bagian dari masyarakat, setiap individu memiliki peran masing-masing yang penting dalam mempengaruhi keberlangsungan hidup sebuah masyarakat. Individu yang pasif akan menjadikan perjalanan sebuah masyarakat menjadi pasif, sementara individu yang aktif akan memberikan dampak kemajuan masyarakat yang aktif pula.
Dalam banyak karyanya, terutama dalam Asrār-I-Khudī dan Rumuz-I-Bekhudi, Muhammad Iqbal memberikan penjelasan yang mendalam betapa pentingnya hubungan pribadi sebagai individu dalam masyarakat.
Dijelaskannya bahwa secara alamiah kehidupan manusia sebagai individu sangat bergantung pada masyarakat sebagai komunitas sosial, semenjak dari kelahirannya sampai kematianya keliang lahat. Iqbal menggambarkan hubungan yang sangat erat ini sebagai satu kesatuan hidup yang tidak dapat dipisahkan. Pribadi yang hanya berkutat dalam kesendiriannya adalah lemah dan tidak memiliki kekuatan. Bahkan menurutnya eksistensi individu ditentukan peran, aktifitas dan hubungannya dengan masyarakat, dia mengibaratkan individu yang diam dalam kesendirian sebagai mana tidak berartinya gelombang tanpa samudra.
Dalam Rumuz-i-Bekhudi yang merupakan penyempuraan dari karya dahulunya Asrār-I-Khudī, Iqbal memberikan penekanan yang lebih jelas akan pentingnya hubungan individu dengan masyarakat. Dikemukakan bahwa:
Apabila individu bersatu dalam kelompok
Bagaikan setetes air menjadi Khizr
Terhimpun dalam pikirannya masa lalu
Dan padanya terjalin masa lalu dan masa kini…
Ia dalam kelompok adalah hati yang menggebu
Dalam ummatnya ia adalah usaha yang mendatangkan semangat
Hasrat, rahasia dan kejelasan tubuhnya adalah bagian dari bangsanya
Semangat ini mengambarkan betapa Iqbal sangat menekankan arti pentingnya hubungan sosial yang terjalin antar individu. Sebab jika kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu tidak saling terkait, maka usaha untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang baik sebagaimana yang tersirat dalam tugas kekhalifahan manusia, akan banyak mengalami konflik individu. Sebagaimana dinyatakan juga dalam karyanya Javid Namah bahwa, merupakan suatu dosa tatkala diri menyaksikan kebesaran Tuhan dalam kesendirian. Katanya “Aku tidak ingin sendirian menyaksikan Keagungan Ilahi, suatu dosa menyaksikan keindahan-Nya tanpa kawan. Kebersamaan adalah penyaksian, kesendirian adalah pencarian”.
Selanjutnya bahwa:
Cinta dalam kesendirian, bagai lawan bicara Tuhan. Tetapi namakala cinta menampakkan diri secara terbuka, ia bagaikan raja. Kesendirian dan keterlibatan dalam dunia adalah penjelmaan sepenuh rindu yang membakar dan gairah yang menyala; keduanya adalah hāl dan maqām dalam hasrat akan Tuhan.
Keterlibatan pribadi secara terbuka dalam masyarakat inilah yang menjadikan pribadi semakin sempurna. Namun demikian keterlibatan ini harus dimasudkan untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Untuk membentuk suatu ummat yang besar dan berkeadilan, menurutnya ada dua asas yang harus diterapkan, yakni; asas tauhīd dan asas risālah. Asas tauhīd merupakan esensi yang sangat mendasar dalam Islam. Tauhīd menghimpun, sebuah tatanan masyarakat yang religius, anti-ras, tidak memandang wilayah, derajat materi, keturunan, dan mengedepankan persatuan yang didasarkan pada kesejahteraan, persamaan, dan persaudaraan bersama dalam satu naungan prinsip tauhid. Esensi tauhīd sebagai pikiran yang bekerja ialah persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan. Islam sebagai suatu lembaga merupakan suatu cara praktis yang akan membuat prinsip itu sebagai faktor yang hidup dalam pikiran dan perasaan manusia. Islam menetapkan kesetiaan itu kepada Tuhan, bukan kepada turunan darah atau mahkota. Dan selama Tuhan itu yang menjadi dasar ruhaniah terakhir dalam segala hidup, maka kesetiaan kepada Tuhan itu hakekatnya berarti kesetiaan manusia kepada cita-citanya sendiri.
Sedangkan asas risālah adalah sebuah kesadaran historis yang didasarkan pada semangat perubahan dan pembaharuan yang diserukan oleh nabi-nabi yang diutus untuk menuntun ummat manusia. Dengan risalah itulah keanekaragaman yang ada dipadukan dan diarahkan.
Sebagaimana dalam syairnya:
Sang utusan telah menunjukkan kita pada jalam kebenaran
Sedang kita hanya terbuai dalam kesibukan…
Dengan syari’at-Nya, Allah menjadikannya sebagai penutup
Dan pada kita sang utusan diutus
Sikap pembaharuan inilah yang menjadikan individu-individu dalam masyarakat senantiasa berpikir kreatif dalam melakukan pembaharuan sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Prinsip risalah adalah konsepsi hidup yang didasarkan pada alur dinamisme semesta. Sebagai suatu gerakan kebudayaan, Islam menolak pandangan kolot yang statis tentang alam semesta, dan lebih mendukung pandangan yang dinamis. Secara naluriah semua ciptaan akan tumbuh dan berkembang menjulur keatas. Tumbuhan menjulurkan daun lembaganya keatas untuk mendapatkan cahaya. Manusia normal mengalami pertumbuhan tubuhnya kian tinggi keatas. Mereka mensyiratkan adanya sesuatu keinginan untuk lebih berkembang, tambah maju dan semakin mendekati Sang Pencipta. Isyarat untuk selalu tumbuh berkembang keatas mendekati cahaya yang digambarkan sebagai manifestasi Tuhan, itulah yang disebut oleh Iqbal sebagai prinsip risālah.
Konsepsi masyarakat yang dibangun berdasarkan dua asas diatas, menjadikan kemerdekaan pribadi kreatif yang hidup didalamnya terjaga, sementara bangunan sosial masyarakat sebagai kumpulan dari individu tersebut berjalan sepenuhnya dalam prinsip kesamaan, persaudaraan dan persatuan. ada semangat transendensi yang mengalir mengikuti arus perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, demikian juga kehidupan sosial masyarakat tidak stagnan dalam duaian mitos dan kebesaran masa lalunya. Hukum-hukum berkembang mengikuti kebutuhan zaman, sedang agama selalu menjadi spirit tumbuhnya jiwa-jiwa kreatif yang baru. Materi adalah ruhaniah dalam pengertian ruang dan waktu. Perpaduan manusia berarti badan jika dilihat sebagai perbuatan yang berhubungan dengan apa yang kita sebut dengan pandangan luar; dan berarti pikiran dan jiwa kalau kita melihatnya sebagai perbuatan. Prinsip hidup yang demikian itu mendapatkan jalannya dalam sifat-sifat material dan sekular. Tidak ada dikotomi antara yang transenden dan yang profan, sebab semuanya berjalan dalam aras ruhaniah, hingga semuanya menjadi daerah yang suci.
As the prophet so beautifully put is: “The whole of this earth is a mosque.” The state according to Islam is only an effort to realize the spiritual in a human organization. But in this sense all state, not based on mere domination and aiming at the realization of ideal principles, is theocratic.
(Seperti dinyatakan nabi dalam sebuah ucapannya yang indah “Seluruh bumi ini adalah masjid”. Menurut Islam, Negara hanyalah satu usaha untuk dapat menciptakan nilai ruhaniah dalam kesatuan manusia. Tetapi dalam pengertian Negara ini, tidak didasarkan pada kekuasaan, namun lebih bertujuan untuk merealisasikan prinsip-prinsip ideal, yakni system teokrasi).
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment