Blogger Tricks

MATANYA

Wednesday, May 9, 2007

Membaca Ulang Tradisi Kepengaderan


3:36 AM |

Oleh : Noorwahid Soofyan

Pengader adalah sosok pendidik. Term pendidik memiliki perbedaan makna dengan pengajar. Pada dasarnya mengajar adalah pemberian segala jenis informasi dan pengetahuan saja, sedangkan mengajar lebih dari itu. Ia tidak sekedar memberikan pengetahuan dan informasi melainkan turut menanamkan nilai-nilai kepada si terdidik.

Sosok pengader yang ideal haruslah benar-benar mengetahui tuntutan zamannya dan merumuskan nilai-nilai ideal yang akan ditanamkan pada si terdidik. Refleksi dan pembacaan kritis terahadap relaitas yang melingkupi hidup manusia dimana ia dan si terdidik mendiami hidup dan kehidupan tersebut, adalah sebuah kemestian.

Relitas yang dimaksud adalah tantangan eksternal dan internal dalam tubuh pengader itu sendiri (tradisi dulu, kini dan nanti serta tantangan zaman yang ada). Atau meminjam pisau analisis dari Lacan yaitu ego dan other. (Baca: Teori cermin Lacan). Berdasarkan konsep ini juga Hasan Hanafi memulai proyek pembacaan ulangnya terhadap tradisi islam. Hal ini menjadi sangat penting mengingat bahwa sering kali kita salah dalam memahami dan mencari solusi dari kejumudan peradaban islam saat ini. Baginya pencarian solusi bagi segenap problematika keummatan selalu terjebak pada dua hal yakni konservetisme dan sekularisme. Yang pertama terlalu mengagungkan masa lampau dan terjebak pada romantisme masa lalu sehingga ingin menghadirkannya di masa kini. Sementara yang kedua terlalu mengistemewakan masa depan sehingga mematikan tradisi dan visi yang dihasilkan pun lahir dari sebuah mimpi.

Agar tidak mengalami hal tersebut maka setiap pengader yang nota bene adalah sang ego haruslah memilki kesadaran-kreatif-dasein dalam memahami relaitas. (Baca : Fenomenologi). Kesadaran seperti ini bukan hanya sekedar sadar karena ada seseuatu diluar dirinya (sesuatu yang memiliki tema dan isi) tetapi juga kesadaran dalam dan sebagai sesuatu. Maksudnya adalah kita tidak hanya sadar karena sesuatu melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Inilah sadar dalam sesuatu. sedangkan sadar sebagai sesuatu adalah kesadaran yang dipengaruhi oleh suasana hati. Oleh karena itu kesadaran tidak pernah perawan seperti kata Francis Budi Hardiman karena baginya kesadaran selalu dibastarisasi oleh situasi kesadaran. Dalam pada itu penulis menekankan pentingnya pembacaan kritis terhadap segala hal.

Struktur Internal Tradisi Kepengaderan

Pada pembahasan yang ini kita akan memfokuskan pada pertanyaan seperti apa kita seharusnya bersikap terhadap tradisi kepengaderan kita? Pertanyaan ini penting sebab tradisi merupakan hal yang fundamental dalam membentuk kesadaran pengader dan sangat berpengaruh pada kehidupan praksisnya .

Pengeder merupakan hasil bentukan dari tradisi islam yang telah terinternalisasikan di tubuh HMI. Namun islam yang mana dan cara keberislaman yang seperti apa? Menurut Hassan Hanafi islam dapat diketgorikan kedalam islam kanan dan islam kiri. Untuk hal ini ia menambahkan bahwa pada dasarnya islam memang satu namun pada realitasnya islam -yakni dalam perjalanan sejarah dan pergumulannya dengan realitas, kepentingan dan kekuasaan- maka islam tidak lagi satu. Pergumulan sejarah ini juga yang pada akhirnya melahirkan dua bentuk tradisi yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Cara keberislaman seseorang pun ada dua yaitu islam normatif dan islam historis. Islam normatif merupakan islam murni dan fundamental yang tidak mengenal tawar menawar seperti tauhid dan Al-quran. Sedangkan islam historis adalah penafisiran kita terhadap ajaran tauhid dan Al-Quran yang sudah melekat dalam kehidupan kita. Sifat transenden islam normative tadak dapat luntur sedangkan sifat transenden islam histories bias luntur karena terjadi pergesekan sosio histories di dalamnya.

Mari kita melihat hal ini secara jeli dan mencoba mengkerucutkan pemetaan dan kategorisasi Hasan Hanafi kedalam dunia HMI. Kita memulainya dengan pertanyaan ; apakah di dalam HMI ada kelompok “islam kanan” dan “islam kiri” atau singkatnya “HMI kanan dan “HMI kiri” yang kemudian melahirkan “tradisi kekuasaan” dan “tradisi opsisi” di dalam tubuh HMI, utamanya pengader? Mari kita melihatnya secara jernih dan seadil mungkin.

Dalam realitas sejarah HMI memang terjadi hal demikian, dan jawaban dari pertanyaan diatas pun menyatakan ya. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa HMI memberikan ruang bagi pluralitas. Namun yang disayangkan adalah ketika keberagaman itu melahirkan dominasi terhadap yang lain dan menciptakan tradisi kekuasaan yang bertahan hingga sekarang. “Islam kiri” dan “islam kanan”, “tradisi kekuasaan” dan “tradisi oposisi”, dan “HMI kiri” dan ”HMI kanan” pun terbentuk di HMI.

Proses terbentuknya tradisi tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas seperti yang diungkapkan oleh Marx. Kelompok fundamentalis tentunya telah berhasil menjadi pemenang dan menempatkan tradisi mereka menjadi tradisi kekuasaan. Tetapi jika dilihat lebih jauh nampaknya kemenangan kelompok fundamental dalam organisasi HMI menyiratkan sebuah keniscayaan mengingat tradisi yang ada di HMI dibentuk oleh dua hal yakni doktrin kelembagaan dan alur kesejarahan.

Doktrin kelembagan yang dimilki oleh HMI adalah Khittah perjuangan yang menjadi landasan dan paradigma gerak bagi kader HMI. Namun menurut penulis sebenarnya khittah perjuangan juga memberikan ruang bagi kelompok lain di HMI, katakanlah kelompok liberal. Tetapi yang menjadi pertanyaan mengapa tradisi fundamentalis yang memenangkan pergualatan sejarah dan menempatkan tradisi mereka menjadi tradisi kekuasaan? Permasalahannya ada pada penafsiran. Kita tidak dapat menafikan ototritas penafsir dalam menafsirkan teks khittah perjuangan. Maka tidak mengherankan jika tafsiaran kelompok fundamentalis lah yang kemudian dilembagakan dan menghegemoni.

Dari segi alur kesejarahan maka tradisi yang terbentuk di HMI tidak dapat dilepaskan dari alasan perpecahan HMI MPO dengan HMI DIPO. Penolakan kader HMI MPO terhadap azas tunggal pancasila yang dipaksakan oleh rezim orde baru memilki arti yang sangat penting dalam cara keberislaman anak HMI MPO. Terlebih jika mereka dihadapkan pada resistensi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kelompok fundamentalis mengambil posisi oposisi terhadap pemerintahan orde baru tetapi menjadi tradisi kekuasaan di dalam tubuh HMI MPO sendiri.

Lagi-lagi tradisi bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Tradisi merupakan hasil dari bentukan zaman yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas. Kehidupan manusia selalu dipenuhi oleh kelas penindas dan terstindas, yang mendominasi dan yang sub ordinat. Pertentangan selalu ada baik secara real maupun secara dielektik. Kelompok yang diaharamkan dan dikafirkan akan selalu mewarnai sejarah karena mereka dinilai tidak sejalan dan berbeda kepentingan dengan kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan pembacaan ulang terhadap tradisi yang ada. Terlebih lagi jika realitas sejarah sudah mengalami perubahan.

Sudah saatnya kita melihat kembali keberHMIan histories kita, sebab sifat transendennya jelas tidak dapat dipertahankan lagi. Atau seperti yang dikatakan oleh Arkoun bahwa hal tersebut seharusnya ditempatkan pada wilayah yang terpikirkan bukan pada wilayah yang tak terpikirkan.Sejarah hari ini menuntutnya demikian.


* Tulisan ini merupakan makalah awal penulis untuk mengikuti SC HMI Cab. Makassar Raya. Penulis adalah Ketua Bidang Pengembangan Wacana HMI Cabang Makassar Raya


You Might Also Like :


0 comments: