DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL
Oleh : Khilmi Zuhroni
Dalam pemikiran Muhammad Iqbal (w.1938), nubuah merupakan sumber utama kebangkitan diri. Cara berpikir yang didasarkan pada konsepsi nubuah memberikan akal-pikiran, keimanan, disiplin dan penyempurnaan kepada terbentuknya suatu bangsa yang besar. Dia tidak menjadikan diri menuju tingkat subyekititas yang sempit, akan tetapi pemahaman individualitas seseorang melalui renungan, introspeksi, pengenalan diri dan realisasi diri, pribadi akan sampai pada kesadaran tanggung jawabnya (baca, Sayyid Ali Khamenei: 1989).
Istilah profetik (nubuah, kenabian) banyak terdapat dalam karya yang menyangkut diri Muhammad Iqbal. Baik dalam karya-karya pemikiran Muhammad Iqbal sendiri, maupun karya-karya penelitian dan tulisan yang terkait dengannya. Dengan demikian sudah barang tentu istilah tersebut mengandung makna yang sangat mendalam dalam sekian luas pemikiran Muhammad Iqbal terlebih dalam upayanya melakukan perubahan pemikiran keagamaan dalam Islam. Disamping itu sebagai sosok yang tidak hanya dikenal oleh dunia sebagai penyair, namun juga sebagai filosuf, hakim sekaligus politikus tentunya kesadaran propfetik memiliki relevansi tersendiri dalam kegemilangan pemikirannya.
Demikian besarnya gagasan Iqbal tentang kesadaran profetik, Annemarie schimmel tak henti-hentinya mengatakan karya-karya filosuf dan penyair Iqbal sebagai karya-karya yang senantiasa menyuarakan kebesaran jiwa-jiwa profetik, atau karya-karya yang kental dengan suasana profetologis (Annemarie Schimmel: 1991). Hal senada juga disampaikan oleh Mazheruddin Siddiqi, yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa profetik itu tertuang dalam bagaimana individu dapat menyatakan dirinya secara spiritual dan intelektual bersikap kreatif. Seorang penafsir pemikiran Iqbal, Ghulam Parvez, bahkan mengatakan bahwa konsepsi kenabian yang telah dibangun oleh Iqbal memberikan inspirasi besar bagi kebangkitan pemikiran terutama di dalam kalangan-kalangan progresif tertentu. Dari konsepsi kenabian itu juga Parvez mengklaim bahwa hanya pintu nubuah segi personal Muhammad yang tertutup, sedang risalah (ideologi) terpulang kepada orang-orang muslim untuk mengamalkan dan mengelaborasinya.
Akan tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang profetik, ada baiknya penulis mencoba membandingkannya dengan kesadaran mistik, yang menurut Iqbal memiliki ciri dan nuansa yang sangat berbeda. Memang, oleh sebagian penulis dan pemerhati Iqbal, kedua istilah tersebut, yakni kesadaran profetik dan mistik, belum sepenuhnya jelas. Sebagian mengatakan bahwa, Iqbal dengan tegas membedakan antara kesadaran mistik dan kesadaran profetik, ada juga yang mengatakan ketidakjelasan filsafat Iqbal adalah justeru bahwa dia tidak memiliki batasan yang jelas bagaimana dia mencoba menjelaskan antara kesadaran mistik dan kesadaran profetik (nubuah) yang dimaksud. Disatu sisi dia mengecam konsep panteisme yang dianut Ibnu 'Arabi, namun disisi yang lain konsepasi pribadi (filsafat ego) Iqbal juga tidak dapat lepas sepenuhnya dari mistisisme Ibnu 'Arabi tersebut (Muhammad Iqbal: 1990). Sementara sebagian lain mengatakan corak kesadaran mistisik yang dipahami oleh Iqbal justeru adalah mistisisme yang cercorak profetis.
Apakah antara kesadaran profetik dan kesadaran mistik bersifat kontradiktif, afirmatif, maupun integratif dalam pengalaman keagamaan sebagaimana dipahami oleh Iqbal, tulisan ini lebih lanjut akan difokuskan kesana.
Salah satu pokok masalah yang menimbulkan perdebatan antara pemikiran Iqbal dengan mistisisme adalah masalah monisme dan pluralisme. Bagi Iqbal watak utama bagi setiap ego adalah individualitasnya. Alam semesta merupakan kumpulan dari individu-individu, dan Tuhan sendiri adalah sebagai individu yang Sempurna. Perbedaan yang paling jelas antara pemikiran Iqbal dengan mistisisme terutama dalam konsepsi wahdah al-wujud dalam konteks ini adalah bahwa spiritualitas dalam individu sebagaimana menurut Iqbal lebih menekankan pada satu aspek dari spiritualitas yang menyebar, yakni yang bersifat pluralistik, sementara wahdah al-wujud lebih menekankan pada aspek monistiknya.
Wujud Tuhan dalam wahdah al-wujud bersifat wajib ada, meskipun sekaligus bersifat imanen dalam alam benda-benda dan bersifat transenden. Peristiwa-peristiwa diterangkan dalam hukum sebab-akibat, dan kewajiban sosial dilakukan seakan-akan dunia ini adalah dunia yang real. Sementara Iqbal tidak pernah bicara tentang pluralitas dalam pengertian bahwa dunia ini benar-benar tidak bergantung pada kesadaran Ilahiah. Meskipun alam semesta ini terdiri dari kumpulan individu-individu, ada jiwa kreatif yang sama yang membuat setiap individu di dalamnya menjadi aktif (lihat, Muhammad Iqbal: 1990).
Melalui jiwa kreatif inilah diri senantiasa berusaha keras penguasai pribadinya secara bertahap menuju gerak kesempurnaan, (lihat, MM. Syarif : 1984). Yakni dengan tahapan belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum Ilahi. Setelah itu tahap yang lebih lanjut dengan belajar disiplin terutama dalam mengendalikan diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia. Tahap selanjutnya adalah proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Sang pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya.
Sikap pluralistik yang dimaksud oleh Muhammad Iqbal terdapat pada bagaimana jiwa-jiwa kreatif itu senantiasa bergerak mencapai tingkat kesempurnaan pribadi. Tuhan tidak dapat diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat manusia telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya. Dengan menyerap Tuhan kedalam dirinya, tumbuhlan ego. Ego menjadi super ego, maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan Dengan demikian dia dianggap telah memenuhi syarat menjalankan tugas kekhalifahan, memancarkan sifat-sifat Ilahiah dalam mikrokosmos.
Sementara mistisisme bicara tentang menghilangkan diri Ittihad seseorang secara total atau penafian diri secara menyeluruh, Iqbal bicara tentang penyempurnaan diri. Konsep tahap akhir mistisisme adalah konsep identifikasi menyeluruh keinginan individu secara sempurna dengan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Iqbal membedakan antara kesadaran kenabian (profetik) dan kesadaran mistik. Dalam mistik identifikasi ini dicapai dengan cara penafian diri, sedangkan dalam profetik identifikasi dilakukan dengan cara mengembangkan suatu kesadaran bahwa aktivitas kreatif diri adalah aktifitas Ilahiah (baca: Muhammad Iqbal: 1990).
Tujuan kesadaran mistik adalah membuat kesadaran individu padam ketika persatuan dengan Tuhan telah dicapai. Di sisi lain, kesadaran kenabian memiliki tahapan kembali kedunia realitas ini untuk menegaskan dirinya sendiri dalam membuat dan mengatur alam semesta. Dengan demikian keberadaan nabi adalah sebuah momentum semangat baru bagi arah tata peradaban manusia dimana goncangan energi-energi dunia psikologis saat pertemuannya dengan Allah merupakan pengalaman religius yang secara konkret mendasari hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi suatu dorongan yang besar untuk menciptakan budaya baru yang merupakan koreksi atas berbagai tradisi dan sejarah terahulu yang dirasa telah jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan visi utama penciptaan manusia.
Konsepsi Mistik dan Profetik
Untuk mendalami lebih jauh bagaimana makna mistik maupun profetik, ada baiknya penulis mengetengahkan beberapa pemikiran tokoh tentang keduanya. Dimana dari proses deskripsi dan analisis mengenai berbagai makna yang terkandung didalamnya, penulis akan mencoba melakukan interpretasi terhadap pokok kajian yang akan dibahas lebih jauh tentang kesadaran mistik dan kesadaran profetik. Dari makna-makna yang nantinya diperoleh itu juga ruang lingkup penelitian ini akan banyak berkutat di dalamnya. Sebagian besar peneliti dan ahli mistik berpendapat bahwa mistik adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan kontemplasi (lihat, Harun Nasution : 1985).
Sementara A.J. Arberry, memandang bahwa mistis sebagai satu upaya pengabdian hidup manusia untuk mencari persatuan dengan sang Pencipta. Dalam hal ini kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk Ittihad bersatu dengan Tuhan (lihat: AJ. Arbery: 1983). Dia menyebut sufisme sebagai julukan terhadap sebuah gerakan mistik Islam. Seorang sufi dengan demikian adalah seorang muslim yang mengabdikan hidupnya untuk mencari persatuan mistik—atau lebih tepatnya dikatakan sebagai reuni mistik—dengan sang pencipta.
Sedangkan Reynold A. Nicholson, melihat sufisme—mistik dalam Islam—merupakan bagian dari filsafat Islam yang telah dirumuskan secara mendalam sebagai pemahaman menenai kenyataan Ilahi (lihat : Reynold A. Nicholson : 1998). Kenyataan Ilahi inilah yang oleh sufi besar Islam dari Bagdad al-Junaid (w.910 M) dikatakan sebagai pengalaman mistik tertinggi, dimana adanya penyatuan antara ego temporal kedalam Ego Abadi.
Lain dari beberapa definisi diatas, Syekh Ibnu Ajiba (w.1809) mengartikan sufisme sebagai pengetahuan yang dipelajari seseorang agar dapat berlaku sesuai dengan kehendak Allah melalui penjernihan hati dan membuatnya riang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik. Laku sufisme bermula dari pengetahuan, di tengahnya adalah perbuatan dan di penghujungnya adalah hadiah spiritual.
Ninian Smart dalam History of Mysticism, menulis bahwa pengalaman mistik dibedakan dengan pengalaman kenabian. Pengalaman kenabian cirinya adalah merasakan kehadiran Tuhan "The mysterium tramendum et fascinans". Sedangkan pengalaman mistik yang introvert diantara cirinya adalah merasakan hubungan dengan sesuatu yang transenden dan rasa berhubungan itu menimbulkan rasa bahagia. Lebih lanjut dia membagi pengalaman mistik menjadi tiga ciri, yakni: menghayati sesuatu yang transenden; menimbulkan rasa bahagia dan tenang; serta ketiga, diperoleh dengan jalan kontemplasi dan penguasaan diri.
Muhammad Iqbal sendiri memberikan tingkatan kesadaran mistik secara umum tentang garis besar sifat-sifat pengalaman mistik tersebut. Menurutnya sebagai pokok utama yang harus diajukan adalah semua pengalaman bersifat langsung. Keberlangsungan pengalaman mistik itu hanyalah berarti bahwa kita mengenal Tuhan persis sebagaimana kita mengenal obyek-obyek lain.
Kedua, bahwa pengalaman mistik tidak dapat diuraikan. Berbeda dengan kesadaran rasional dimana secara praksis kita dapat menyesuaikan diri dengan keadaan disekeliling kita dengan cara mengambil kenyataan sedikit demi sedikit, pada suasana mistik kita dihadapkan pada semua keseluruhan kenyataan, bercampur-baur satu dengan yang lainnya suatu kesatuan yang tidak dapat diuraikan karena tidak adanya perbedaan antara subyek dan obyek.
Pokok ketiga ialah bahwa bagi mistik suasana itu merupakan momentum penggabungan yang rapat sekali dengan suatu pribadi lain yang tunggal. Sebagai proses penggabungan dengan pribadi lain yang tunggal tentunya pribadi yang mengalami kondisi ini tidak sepenuhnya pasif, sebab untuk sampai pada penggabungan kalbu subyektifitas murni harus berupaya keras mencapai kearah sana (laku mistik), dalam arti bahwa kelangsungan pengalaman dalam suasana mistik bukanlah tanpa pararel, (lihat, Muhammad Iqbal : 2002).
Oleh sebab pengalaman mistik itu secara langsung dialami, maka dia lebih bersifat pesaraan ketimbang pikiran. Sementara itu perasaan menurut Muhammad Iqbal adalah ketidakstabilan dari seluruh pribadi yang sadar; dan tempat stabilnya pribadi itu tidaklah terletak dalam batasannya sendiri, tapi melalui batas itu. Dengan demikian sebagai sebuah perasaan, pengalaman mistik haruslah memiliki tujuan, sebab tanpa tujuan sama tidak mungkinnya sebuah kegiatan tanpa adanya tujuan. Sebagai sebuah pengalaman tidaklah kondisi itu akan terus-menerus terjadi. Sebagaimana pengalaman-pengalaman biasa kondisi itu akan kembali ke arah normal. Dari kenyataan ini jelaslah bahwa suasana mistik juga akan hilang sebagaimana pengalaman yang lain. Di sinilah juga adanya perbedaan yang sangat mendasar terutama terletak pada kesinambungan dari kesudahan pengalaman tersebut, yakni antara penganut mistik dengan seorang nabi.
Selain itu untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam tentang kesadaran nubuah, kenabian atau profetik beberapa pendangan filosof Islam perlu kiranya diketengahkan sebagai bahan perbandingan analisis. Abu Nasr Muhammad Al Farabi (257H/870 M - 330H/950 M) berpendapat bahwa nabi adalah manusia pilihan yang sanggup melakukan komunikasi dengan akal kesepuluh. Dalam bangunan sistem pemerintahan ideal " al-Madinah al-Fadlilah" Al-Farabi menempatkan nabi atau rasul sebagai sebaik-baik kepala masyarakat, yakni sebagai sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat, (lihat : Harun Nasution : 1985). Berbeda dengan para filosof yang melakukan komunikasi dengan akal Kesepuluh melalui usaha sendiri dengan menggunakan akal mustafat, nabi atau rasul melakukan komunikasi dengan Akal Kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri, melainkan atas pemberian dari Tuhan. Pemberian itu berwujud kemampuan daya imajinasi yang sangat kuat sehingga memungkinkan mereka sanggup berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa melalui latihan yang harus dijalani sebagaimana para filosof.
Dengan kemampuan berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh itulah nabi atau rasul, dalam pandangan Al-Farabi, adalah sosok pemimpin yang ideal. Sebab mereka menguasai pengetahuan universal yang sanggup mereka dapat melalui komunikasi tersebut sehingga dapat mengatur bumi ini dengan baik dan berfaedah bagi masyarakat. Tugas kepala negara dengan demikian, bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia mempunyai akhlak yang baik.
Sementara Abu Ali Husein Ibnu Abdillah Ibnu Sina (370 H/980 M - 428 H/1037 M) dalam filsafat jiwa-nya yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, membagi jiwa dalam tiga tingkatan, yakni ;1) Jiwa tumbuh-tumbuhan : daya makan, tumbuh, dan berkembang biak; 2) Jiwa binatang: daya gerak dan daya menangkap yang terbagi dalam: penangkapan luar (pancaindera) dn penangkapan dalam (iner-indera: common sense, representasi, imaginasi, estimasi dan rekoleksi); 3) jiwa manusia: daya praktis dan daya teoritis yang terbagi dalam empat tingkatan, yakni : akal materiil, intellectus in habitu, akal aktuil, dan akal mustafat. Sifat seseorang sangat dipengaruhi oleh ketiga jiwa tersebut. Jika jiwa binatang yang banyak menguasai manusia, maka manusia dapat menyerupai binatang dan seterusnya. Sementara itu terkait dengan posisi kanabian, menurut Ibnu Sina adakalanya Tuhan menganugerahkan akal manusia yang lebih kuat yang disebut sebagai al-Hads (intuisi). Dalam sebuah karyanya yang berjudul “Etat de l’ame sainte qui est celle des prophetes” (Keadaan jiwa yang suci, yakni jiwa para nabi), sebagaimana dikutip oleh Roger Garaudy, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa suci adalah jiwa yang berpikir dari nabi-nabi yang luhur, yang mengetahui hal-hal yang perlu dipikir, tanpa guru dan buku, hanya dengan intuisi akal dan bersatu dengan malaikat. Jiwa tersebut dalam keadaan terjaga memanjat tinggi sampai alam yang tak terlihat dan di sana ia menerima wahyu. Wahyu adalah pancaran antara malaikat dan jiwa manusia, wahyu itu memengaruhi materi alam untuk menimbulkan mukjizat. Itulah tingkatan yang paling tinggi bagi manusia. Dengan begitu maka manusia mendapatkan amanah kekhalifahan olh Allah di muka bumi. Eksistensinya adalah sesuai dengan akal dan sangat perlu bagi klngsungan hidup umat manusia,( Lihat : Roger Garaudy : 1982).
Akal yang mempunyai daya suci semacan ini hanya terdapat dalam nabi-nabi. Dengan daya yang kuat ini dengan mudah nabi-nabi dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan menerima cahaya serta wahyu dari Tuhan, (lihat : Nurcholis Madjid :1994). Yang bisa menjadi aktual secara sempurna tanpa melalui adanya perantara itulah yang disebut Nabi, yang padanya terdapat puncak tingkat-tingkat keunggulan dalam lingkungan bentuk-bentuk material. Dan nabi berdiri diatas semua jenis wujud yang diunggulinya serta menguasai mereka.
Sedangkan Ibnu ‘Arabi ( 1164 – 1240 M), memandang kenabian sebagai derajat makrifat yang membuat dia dapat memahami hubungan yang jelas antara Tuhan (Realitas) yang dihadapinya dengan manifestasi, dan menyadari kesatuan esensialnya dengan realitas Tunggal. Dalam pengertian paling luas, mereka mewarisi pengetahuan karena telah merupakan bagian dalam kenabian mereka (yakni pengetahuan esoterik) yang berasal dari Ruh Muhammad. Ibnu ‘Arabi memandang Ruh Muhammad sebagai konsepsi logos universal yang dalam kategori metafisik murni disebut sebagai Intlek Pertama. Sedangkan dari segi mistis, ia menamakan logos yang sama terhadap Realitas Muhammad sebagai Manusia sempurna dengan memandangnya sebagai prinsip aktif di dalam semua pengetahuan kudus dan esoteric. Dalam kaitannya dengan manusia, Ibnu ‘Arabi mengidentikkan logos ini dengan Adam dan Realitas Manusia. Sedangkan dalam hubungannya dengan alam sebagai suatu keseluruhan, ia namakan dengan Realitas dari segala Realitas. Tidak kurang dari 22 istilah yang dipakai oleh Ibnu ‘Arabi untuk menggambarkan Logos Muhammad, (lihat, A.E.Afifi: 1989).
Wakil (khalifah) sebenarnya dari Tuhan adalah Ruh Muhammad yang terus-menerus memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk nabi dan santo-santo (kelas manusia yang termasuk dalam kateori manusia sempurna) yang masing-masing bisa disebut sebagai khalifah. Dan kini, oleh karena kerasulan dan kenabian itu telah berakhir, kekhalifahan umum sajalah yang tinggal dan telah menjadi warisan eksklusif dari santo-santo muslim yang juga merupakan pengikut-pengikut dari hukum Muhammad.
Dalam karyanya yang berjudul Javid Namah, Muhammad Iqbal menggambarkan bagaimana besarnya pengaruh penciptaan manusia terhadap kehidupan bumi yang pada awalnya hanya menjadi cibiran dan makian kehidupan langit. Namun demikian keberadaan manusia tidaklah memiliki arti tanpa adanya kehendak untuk selalu tampil. Menurutnya eksistensi ialah hasrat untuk menjelmakan diri. Hidup berarti kemauan untuk untuk membuktikan bahwa diri ini ada. Dan bentuk yang paling nyata dari pernyataan wujud ini terdapat dalam peristiwa mi'raj. Yakni sebuah hasrat mencari bukti serta kesaksian untuk mengukuhkan wujud, (lihat : Muhammad Iqbal :1987).
Menurut Iqbal :
Tanpa kesaksian itu, wujud kita tidak lain bagai warna dan aroma pada setangkai bunga.
Tidak ada satupun yang dapat tegak dihadapan-Nya. Tapi yang mampu bertahan, ia bagai emas murni.
Jangan sia-siakan, walau sejumput kecilpun, cahaya yang kau miliki.....hanya wujud yang hidup sajalah yang patut beroleh sanjungan, sebab jika tidak, nyala api wujud tidak lain daripada asap belaka.
Selanjutnya terkait dengan mandat kenabian, Iqbal mengatakan bahwa karena nabi telah diutus sebagai rahmatan li al-'alamin (sebagai rahmat bagi alam semesta), maka penganut nabi juga tentulah perwujudan rahmat bagi masyarakat dunia. Dunia telah diciptakan demi dia dan dia harus bertindak di dalamnya, dan jika ini berlaku bagi individu muslim, itu juga berlaku bagi masyarakat beriman yang ideal yang menggantikan nabi. Finalitas kenabian dengan demikian berarti sekaligus membuka jalan-jalan baru dalam penelitian dan pandangan-pandangan ilmiah sebagai proses manusia untuk selalu berusaha mencapai tahap kesempurnaan pribadi.
_____________
Penulis adalah Pengurus
Korp Pengader Nasional (KPN) HMI. E-mail: zuhroni06@yahoo.co.id.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment