Blogger Tricks

MATANYA

Tuesday, January 23, 2007

hmi, tradisi dan modernitas;


10:28 PM |

Ikhtiar Membangun Perkaderan HMI Berbasis Konteks
Moohd Kasman

Secara normatif Himpunan Mahasiswa Islam mendefenisikan perkaderan sebagai usaha organisasi secara sistematis untuk mensosialisasikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam serta mengaktualisasikan potensi anggota sehingga tercapai tujuan Himpunan Mahasiswa Islam. Secara sederhana perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam memiliki dua dimensi, yaitu; dimensi internal dan dimensi eksternal.

Dimensi internal yang dimaksud adalah pemahaman tentang perkaderan sebagai wahana sosialisasi dan pengamalan nilai-nilai Islam keatas diri kader. Dalam pendekatan dimensi ini maka akan terlihat bahwa perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam merupakan kanal transformasi nilai, atau ikhtiar menggeser nilai anutan para kader dari nilai jahiliyah menuju kearah nilai Islam. Perkaderan menjadi arena menawarkan nilai Islam sebagai nilai alternatif yang harus dipilih oleh kader Himpunan Mahasiswa Islam.

Sementara itu, dimensi eksternal perkaderan yang dimaksud adalah menempatkan perkaderan sebagai ajang kontestasi dan ruang aktualisasi potensi diri kader. Dimensi ini memberi ruang yang lebih luas bagi pengembangan minat dan bakat seseorang yang berproses dalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam. Perkaderan menjadi ajang kreolisasi dan mimikri kultural antara tradisi lokal dan nilai Islam yang menjadi muatan utama perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam.

Dalam ikhtiar membincang mengenai bangunan perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam yang berbasis konteks, maka titik tekan pembahasan akan lebih menukik lebih pada analisis tentang sejauhmana maksimalisasi perkaderan sebagai ruang aktualisasi potensi diri kader, atau dengan kata lain, membincang secara serius dimensi eksternal perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam. Meskipun ini bukan berarti bahwa dimensi internal perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam akan terabaikan.

Hal-Ihwal Tradisi Dan Modernitas (Al-Turâts Wa Al-Tajdîd)
Bila kita mencoba mengulas tentang kontekstualisasi perkaderan, maka pembahasan akan berkisar pada situasi kekinian dan kedisinian. Atau dengan kata lain perbincangan tidak akan beranjak lebih jauh dari hari ini, meskipun ini bukan berarti bahwa masa lalu (kemarin) dan masa depan (besok) menjadi tidak penting.

Perbincangan tentang tradisi dan modernitas (al-turâts wa al-tajdîd) dalam dunia Islam, dipelopori oleh seorang pemikir Islam-Mesir kontemporer, Hassan Hanafî (l. 1935 M). Sebagaimana disinyalir oleh M. Ridlwan Hambali, dalam memformat proyek al-turâts wa al-tajdîd, Hassan Hanafî meletakkan landasan teoretis pada kerangka lingkaran piramida peradaban; bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijak berfikir :
Korelasi antar ketiganya (khasanah klasik, khasanah barat, dan realitas kontemporer) sangat kuat sehingga antara satu sama lainnya tidak mungkin dipisahkan, kata Hassan Hanafî. Disinilah proses terjadinya akulturasi tidak mungkin terelakkan.

Secara sederhana Hassan Hanafî melakukan skematisasi atas pikirannya, al-turâts wa al-tajdîd tersebut, seperti ini :
Sebagai catatan, Hassan Hanafî, memahami turâts bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu di perpustakaan-perpustakaan atau musium, baik dalam bidang agama, sastra, seni, budaya maupun ilmu pengetahuan. Akan tetapi, lebih dari itu, turâts adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggungjawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta pembimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. Karena itu, setiap masa mempunyai turâts. Dan turâts harus diinterpretasikan seperti itu.

Cara pandang Hanafî yang memposisikan turâts, mirip dengan cara pandang Raymond Williams tentang kebudayaan. Bagi William, kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. Dalam pandangannya, kebudayaan adalah sesuatu yang hidup dan bukan sesuatu yang terwariskan begitu saja. Cara pandang seperti inilah yang melandasi Hanafî meneriakkan perlunya langkah-langkah eksploratif terhadap turâts. Bagi Hanafî, turâts bukan hanya untuk dikaji, diterima apa adanya atau dipajang, melainkan harus direvitalisasi agar turâts menjadi basis dan titik tolak bagi keuatan revolusioner umat Islam.

Titik tolak gerakan pembaharuan al-turâts wa al-tajdîd Hassan Hanafî, adalah kembali menengok secara kritis dan menukik jauh kedalam turâts dan setelah itu melampauinya. Inilah awal kebangkitan itu dan hal ini senada dengan apa yang didengungkan oleh Moh. Abid Al-Jâbirî, “. . ., tidak ada jalan lain menuju modernisasi kecuali berpaling kedalam legasi (turâts) pemikiran kita dengan menggali potensi yang kita miliki sendiri”.

Tradisi menjadi begitu penting bagi kebangkitan, karena bagi Hanafî, tradisi masih dijadikan sumber otoritas, yang dipakai untuk menolak ataupun memberikan dukungan. Masih menurut Hanafî, penolakan terhadap tradisi untuk mencapai modernisme yang terencana, juga akan menghasilkan stagnasi total dan kebangkitan tradisionalisme sebagai mekanisme pertahanan diri. Kekhawatiran Hanafî ini diamini oleh Hikmat Budiman dengan mengatakan bahwa modernisme mungkin bisa dijelaskan sebagai sikap mental yang cendrung untuk mensubordinasikan yang tradisional ke bawah yang baru.

Untuk bangkit dan menatap masa depan, maka hal yang patut menjadi perhatian penting bagi para pembaharu adalah, jangan sekali-kali melupakan dan meninggalkan tradisi (turâts), bahkan sebaliknya analisa secara kritis gali pondasinya, temukan ruh-etosnya, gunakan itu sebagai energi baru untuk menatap masa depan. Inilah situasi mundur selangkah untuk maju melesat kedepan beribu langkah jauhnya.

Tradisi Dan Modernitas (Al-Turâts Wa Al-Tajdîd), Konteks HMI
Dengan alat analisis yang dipaparkan oleh Hassan Hanafî tentang al-turâts wa al-tajdîd, kami akan mencoba memaparkan dialektika perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam. Penghampiran ini semoga bermanfaat bagi ikhtiar membangun perkaderan HMI berbasis konteks. Nah, bila kita meminjam kerangka lingkaran piramida peradaban Hanafî, maka tiga akar pijak berfikir yang terbangun adalah seperti ini :
Kalau dalam fikiran Hassan Hanafî yang ditempatkan sebagai hari kemarin adalah khazanah klasik Islam, maka dalam konteks ke-Indonesia-an HMI, yang menjadi hari kemarin adalah khasanah/budaya lokal. Bila Hanafî menempatkan khazanah Barat sebagai hari esok, maka konteks ke-Indonesia-an HMI menjadikan khazanah Islam sebagai hari esoknya. Sementara saat sekarang, tetaplah realitas kontemporer dimana kita menjejakkan-memijakkan kaki, inilah kekinian-kedisinian.

Dalam pemetaan sederhana ini, posisi khazanah Islam identik dengan khazanah Barat, sebuah khazanah yang berasal dari luar dan mencoba menelusup masuk kedalam jantung kehidupan realitas kontemporer. Penelusupan khazanah Islam ini kedalam Himpunan Mahasiswa Islam, melalui kendaraan ‘perkaderan’. Sebagaimana mahfum perkaderan HMI dalam dimensi internalnya adalah usaha organisasi secara sistematis untuk mensosialisasikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam.

Kalau kemudian kita menyorot dan menukik lebih jauh kedalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam, maka akan ditemukan bahwa strategi Islamisasi yang digunakan adalah strategi modernisasi dan puritanisasi Islam. Kedua strategi ini bila ditinjau dari segi kerangka pikir, sebenarnya merupakan hal yang serupa tapi tak sama. Kerangka pikir yang dimaksud adalah adanya dorongan untuk tetap mencari (menetapkan) sentrum kebenaran. Puritanisasi dan modernisasi, tetap menempatkan Islam sebagai khazanah yang bernilai ideal dan datang untuk mencerahkan khazanah lokal.

Tentang modernisasi, Hikmat Budiman menjelaskan bahwa “jika kita sepakat bahwa zaman modern dibedakan dari zaman sebelumnya oleh adanya kepercayaan atas akal budi yang memungkinkan manusia mendewasakan dirinya sendiri, maka modernisasi sebagai suatu proses juga mesti difahami dalam terminologi pentahbisan rasionalitas sebagai identitas manusia modern. Modernisasi dengan demikian, tak lain merupakan proses rasionalisasi yang diberlakukan dalam level kemasyarakatan. Menjadi manusia modern berarti memisahkan diri sekaligus menolak irasionalitas bahkan hal-hal yang dikategorikan sebagai non-rasional”.

Dengan kerangka penjelasan yang dipaparkan oleh Hikmat Budiman terlihat jelas bahwa khazanah Islam dalam posisinya sebagai ‘Esok (Al- Mustaqbâl)’ dalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam, bekerja dengan cara kerja ini. Sinyalemen ini dibahasakan oleh Ahmad Baso dengan begitu gamblang bahwa “mereke ingin menggantikan lokalitas dengan alternatif yang lebih murni dan asli Islam”

Kekuatan ini merupakan kekuatan yang berupaya mendisiplinkan dan mengontrol produksi kebudayaan dan ekspresi keagamaan, ini nampak pada semangatnya menjaga ‘kemurnian’ dan ‘keaslian’, sementara sasarannya adalah pengaturan produksi dan konsumsi masyarakat lokal, lanjut Baso. Logika puritanisasi dan modernisasi Islam tidak memberi ruang pada munculnya khazanah lokal.

Menjadi Islam dibedakan dari khazanah sebelumnya oleh adanya kepercayaan tentang nilai Islam yang murni. Dengan demikian, Islamisasi bermakna bahwa menjadi Islam berarti memisahkan diri sekaligus menolak khazanah lokal dan bahkan hal-hal tersebut dikategorikan sebagai sesat dan menyesatkan serta penuh dengan tahyul, bid’ah dan khurafat. Islam hadir sebagai alternatif budaya yang sama sekali berbeda dan tidak memberi ruang akulturasi budaya secara seimbang.

Implikasi dari hal ini dapat dianalisis dengan menggunakan pandangan Hikmat Budiman tentang modernisme, menurutnya “modernisme mungkin bisa dijelaskan sebagai sikap mental yang cendrung untuk mensubordinasikan yang tradisional kebawah yang baru”. Begitupun dengan modernisme serta puritanisme Islam, khazanah lokal-tradisi (turâts) ditempatkan sebagai subordinat ajaran islam yang murni dan asli.

Lanjut Hikmat Budiman, “akibat praktisnya bisa konservatif ketika subordinasi yang lama dibawah yang baru itu justru menyelamatkan yang lamadari kehancuran. Modernisme menjadi revolusioner jika subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang tradisional”. Yang terjadi dalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam, bukannya konservatif ataukah revolusioner, melainkan posisi diantara keduanya.

Hassan Hanafî menyarankan bahwa “pembangunan dan perubahan sosial tidak bisa dilakukan melalui proses diskontinuiti. Konservatisme dan sekularisme merupakan wujud krisis nilai sebagai akibat perubahan sosial yang kurang memperhatikan kontinuitas”. Dengan menempatkan khazanah lokal dibawah khazanah Islam, bukankah hal itu merupakan sebuah diskontinuitas kebudayaan yang dialami manusia yang melalui proses perkaderan di HMI ?

Dalam menghadapi tarikan antara khazanah lokal sebagai ‘Kemarin (Al-Mâdlî)’ dan khazanah Islam sebagai ‘Esok (Al-Mustaqbâl)’, kader yang tercipta mengalami schizofrenia (keterpecahan kepribadian). Mereka, disatu sisi terjebak pada ketakutan untuk menolak khazanah Islam sebagai jalan keselamatan dan pada sisi yang lain mereka terdorong untuk tetap mempertahankan khazanah lokal sebagai guiding principle untuk menghindari tercerabutnya mereka dari akar kehidupan bersama. Mereka mengalami anomie.

Kerangka fikir yang terbangun pada khazanah Islam yang ditawarkan HMI masih bersifat modernis-puritan. Kebenaran, kemurnian dan keaslian Islam bekerja dengan hukum oposisi biner. Secara etis dan sosial, cara pandang ini menghasilkan konsep ‘l’outre’ (yang lain). Oposis biner yang tercipta menempatkan khazanah Islam sebagai ‘the same’ (yang sama) dan khazanah lokal sebagai ‘the other’ (yang lain).

Implikasi ril dari cara pandang ini, secara internal, ‘yang lain’ diartikan sebagai kurang takwa, tidak tawadhu, tidak istiqamah, tidak ikhlas dan lain sebagainya. Dan terhadap yang lain ini harus diadakan pendisiplinan, pengawasan dan pengekslusian. Sementara itu secara eksternal, ‘yang lain’ diartikan sebagai takhyul, bid’ah, khurafat, sesat dan menyesatkan serta gelar-gelar negatif lainnya, sehingga mereka wajib untuk diselamatkan, dicerahkan dan diberadabkan.

Secara kultural, terciptalah peta bahwa ‘yang lain’ itu adalah budaya jahiliyah, penuh dengan erotisme dan tidak beradab. Secara satire Gus Dur menggambarkan bahwa “sensualitas dan nilai erotik adalah bagian inherent dari kehidupan manusia, dan seni, mau tidak mau harus “merekam”-nya sebagai ekspresi visual, padahal visualitas dan hal-hal erotis justru lapangan yang “paling diatur” oleh Islam”.

Lokalisasi Perkaderan; Perkaderan Berbasis Konteks
Pada dasarnya khazanah Islam sebagai ‘Esok (Al-Mustaqbâl) bukanlah hal yang menakutkan sehingga harus ditinggalkan bila kita akan merumuskan sebuah perkaderan bagi HMI yang berbasis konteks, atau dalam bahasa lain, Lokalisasi Perkaderan. Yang dibutuhkan dan yang perlu mengalami reposisi adalah cara pandang dalam menempatkan khazanah Islam sebagai doktrin organisasi.

Jangankan Islam, sambil mengutip Q.S. 49 : 13, Hanafî, bahkan mengatakan bahwa “setiap budaya dalam pembentukan budaya manusia. Setiap bangsa memiliki peran tersendiri. Tuhan menciptakan manusia dengan perbedaan bangsa agar saling belajar dan bertukar pengetahuan”. Lebih lanjut Hanafî menjelaskan;
“setiap agama pada awalnya muncul dengan proses pencerahan yang dikenal dengan peristiwa pewahyuan yang identik dengan pemahaman manusia dan kesempurnaan alam, yaitu identitas antara wahyu, akal dan alam. Identitas ini merupakan konsep dasar. Sementara seluruh komponen agama lainnyasemisal dogma, ritual, institusi, hukum, sejarah dan simbol merupakan konsep pinggiran (peripheral)”

Reposisi cara pandang terhadap khazanah Islam sebagai agama mencakup beberapa aspek berikut ini :
Pertama, Menggeser Islam Menjadi Agama Dinamis
Menurut Bergson, sebagaimana ditulis Hassan Hanafî, setiap agama memiliki dua kecendrungan. Pertama, adalah tradisionalis, dogmatis, ritualistik, institusional dan legal yang merupakan produk sejarah, interaksi manusia dan sosial. Kecendrungan ini disebut oleh Bergson sebagai agama statis (the static religion). Kedua, adalah liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan human. Ini merupakan produk pengalaman keagamaan yang dalam dan berasal dari kedalaman hati manusia. Bergson menyebutnya agama dinamis (the dynamic religion).

Islam selayaknya difahami tidak pada tataran dogmatis-ritualistik semata, melainkan pada wilayah yang lebih sublim, kedalaman hati. Islam menjadi bagunan spiritual post religius yang betul-betul menjadi alternatif pilihan ditengah keterjebakan pada arus formalisme hidup. Islam membuka sebuah ruang individuasi ditengah hilangnya otonomi subyek karena rasionalitas teknologis, pengetahuan positivistik, mekanisme kapitalisme berikut aparat kontrolnya sebagaimana yang sinyalemen Horkheimer.

Dengan menjadikan Islam sebagai agama dinamis, maka spiritualitas ke-Islam-an akan hadir dalam warna yang plural dan tidak mono-ritual. Islam menjadi praktek kesejarahan yang karena-dengannyalah maka manusia berani mencebur-menyelamkan diri untuk bergumul dengan realitas yang melingkupinya. Islam terbangun menjadi kerangka the will to meaning bagi para penganutnya.

Kedua, Menjadikan Islam Sebagai Keharusan Fungsional
Khazanah Islam yang berdialektika dengan khazanah lokal akan menyebabkan schizofrenia (keterpecahan kepribadian) pada diri seseorang ketika mereka gagal menjadi Islam dalam perspektif modern-puritan dan pada saat yang sama mereka telah tercerabut dari guiding principle, inilah kawah maut anomie Durkheim. Bagi Durkheim kondisi ini hanya bisa diseberangi dengan meletakkan kembali nilai-nilai yang semula ditumpas, nilai-nilai normatif yang akan sanggup menaungi pelbagai perbedaan masyarakat pluralistik itu dibawah satu aturan yang sama. artinya kohesi sosial yang mundur meti dikuatkan kembali.

Kebutuhan akan nilai-nilai normatif ini dimiliki oleh agama, hal inilah yang menyebabkan Durkheim begitu percaya bahwa agama merupakan jalan keluar dari kemacetan dam kesulitan eksistensial kehidupan masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah suatu keharusan fungsional (a funcional necessity) bagi problem kemasyarakatan. Tentunya yang dimaksud adalah agama yang tidak terjebak pada kerangka kerja yang sangat ritualis-formalistik dan kaku.

Kemungkinan menjadikan Islam sebagai keharusan fungsional dalam kebutuhan akan nilai-nilai normatif yang akan sanggup menaungi pelbagai perbedaan masyarakat pluralistik itu dibawah satu aturan yang sama begitu besar, karena Islam menurut Nasr Hamid Abu Zaid dalam Mafhûm al-Nash, adalah “peradaban teks” (hadlârah al-nash). Islam punya teks yang menjadi sumber nilai-nilai normatif tersebut, dalam hal ini Al Qur’an.

Nasr Hamid Abu Zaid, lebih lanjut menjelaskan bahwa “Alqur’an adalah teks yang (hanya) beku, tetap dan statis dari sisi pengucapan verbalnya (min haits al-manthûq), itu karena dia sudah menjadi mushaf yang dibakukan. Sedang secara konsepsi (al-mafhûm), dia sudah lepas dari sifat statisnya; dia dinamis, plural dan relatif dari segi penafsirannya. Sejak mula-mula teks yang ilahi dibumikan, lalu dibaca secara verbal, (perdananya oleh nabi) posisinya sudah bergeser dari teks ilahi yang statis, mutlak, tidak berubah, menjadi konsepsi atau teks manusiawi (yata’annas) yang relatif, dan selalu menyemangati perubahan-perubahan”.

Ketiga, Otonomisasi Wilayah Kebudayaan-Kehidupan, Terutama Seni
Islam sebagai sebuah ajaran, selayaknya tidak hanya di fahami sebagai hal yang aktual di tengah para penganutnya, didamping itu, Islam lebih merupakan cita ideal dalam pikiran dan pilihan manusia dalam perasaan. Islam bukan semata agama dongeng ataupun agama ritual, melainkan lebih merupakan suatu pandangan dunia dan ajaran untuk melakukan tindakan.

Karena Islam lebih merupakan cita ideal, maka pemberian otonomi kepada wilayah-wilayah kebudayaan-kehidupan menjadi hal yang tidak bermasalah bahkan bisa menjadi sangat produktif seperti dicontohkan oleh Gus Dur tentang seni sebagai sebuah wilayah kehidupan, beliau mengatakan, “... pemberian otonomi penuh kepada seni sebagai bidang kehidupan yang dalam analisa terakhit tokh akan membawa manusia kepada kesadaran akan kebenaran Allah, karena Ia-lah keindahan mutlak yang memberikan inspirasi bagi ekspresi seni.

Islam yang tidak memberi otonomi kepada wilayah-wilayah kebudayaan-kehidupan, akan terjebak pada kerangka kerja logika mono-budaya dan ini tidak ada ubahnya seperti kerja dari proses rasionalitas pencerahan modernitas yang menurut Weber telah mengakibatkan hilangnya pesona dunia (disenchantment of the world)

Keempat, Merumuskan Islam Lokalitas
Ketika khazanah Islam membuka ruang-ruang partisipasi bagi khazanah lokal, maka mau tidak mau tentu akan lahir sebuah konsep Islam Lokalitas, sebuah Islam yang bersifat pribumi. Menurut Ahmad Baso, pribumisasi Islam adalah sebuah strategi kebudayaan upaya komunitas lokal untuk tetap survive dan pada saat yang sama berusaha untuk juga sebagai bagian dari Islam.

Bahkan lokalitas merupakan aspek mendasar dalam normatifitas doktrin Islam, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Arza bahwa “Islam pada akhirnya memang fenomena lokal”. Karena menurutnya, apa yang disebut dengan yang lokal itu adalah suatu realitas historis dan sosiologis-kultural. “Bahkan dalam konteks Al-Qur’an, ayat-ayatnya sangat lokal” katanya. “jadi sesungguhnya yang lokal-lokal itu diakui dalam agama”.

Untuk itu kerangka kerja dalam bentuk dialog yang ditawarkan oleh Ulil Abshar Abdalla, menjadi pilihan satu-satunya, beliau mengatakan, “jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistik mengenai kehidupan ini; ‘Islam’ dan ‘kafir’, baik dan jahat dan seterusnya”. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk mendialogkan khazanah lokal sebagai ‘Kemarin (Al-Mâdlî)’ dan khazanah Islam sebagai ‘Esok (Al-Mustaqbâl)’ dalam sebuah ruang yang bernama perkaderan HMI, untuk sebuah pembaharuan dalam realitas kontemporer.


You Might Also Like :


0 comments: