(Sebuah Konstruksi Alternatif di tengah Pergumulan Wacana Global)
Khilmi Zuhroni ZA
Himpunan Mahasiswa Islam sejak kelahirannya, selalu menempatkan diri sebagai gerakan mahasiswa Islam yang kritis dan kontruktif ditengah persoalan sosial politik dan keumatan (Chairan AR: 1983 ). Bangunan kesadaran inilah yang menjadikan HMI selalu berusaha melakukan masifikasi gagasan dan reorientasi gerakan guna menjawab tantangan zaman yang terus berkembang. Sebagai organisasi yang memilih mahasiswa sebagai sasaran geraknya, tentu saja penjelasan-penjelasan yang diberikan harus lebih bersifat intelektual paradigmatis dengan rasionalisasi yang tepat sebagaimana lingkungan akademis yang membentuk mahasiswa. Sebab jika tidak, maka upaya pembentukan identitas mahasiswa menuju manusia unggul yang dicita-citakan oleh HMI “Terbinanya Mahasiswa Islam menjadi insan Ulil Albab” akan mengalami kesulitan untuk dicapai.
Di sinilah kiranya HMI mendapat tantangan yang sangat besar. Sebab disamping tujuan yang demikian ideal yang harus dicapai, waktu dan ruang geraknya juga terbatas hanya pada mahasiswa. Kondisi ini harus dipahami sebagai relitas sosial yang dihadapi oleh HMI, sehingga sejauhmana keberhasilan HMI dalam melakukan aktifitas gerakannya sangat tergantung pada seberapa banyak mahasiswa yang tertarik masuk menjadi anggota HMI (dalam ukuran kuantitas), juga sejauhmana HMI memberikan perubahan yang signifikan pada cara pandang dan pemikiran Mahasiswa serta keterlibatannya—terutama kader HMI—terhadap setiap perubahan sosial dan persoalan keumatan yang tengah berjalan (dalam ukuran kualitas).
Untuk membaca kondisi sosial dunia mahasiswa sebagai alat bantu merumuskan konstruksi perkaderan HMI kedepan, secara umum dapat dipetakan sekurang-kurangnya dalam tiga hal, yakni : Pertama, dalam perbincangan sosial politik, dunia kampus tidak dapat dilepaskan dari hiruk pikuk kepentingan politik. Mahasiswa tetap menjadi lahan garap yang sangat strategis bagi pencapaian-pencapaian kepentingan politik tertentu. Hal ini dengan mudah dapat dilihat bahwa arah gerakan mahasiswa secara sosial-politik, sangat erat kaitanya dengan suasana politik yang tengah berjalan di tingkat negara, atau lebih substantif tren dan idiologi gerakan mahasiswa sangat khas dengan tren dan idiologi partai politik yang ada. Secara umum, tidak dapat dinafikan bahwa aspek ini menjadi fenomena tersendiri yang sangat berpengaruh bagi upaya konstruksi gerakan masa depan.
Kedua, secara akademik kemampuan analitis dan konsepsi keilmuan mahasiswa sangat ditentukan oleh design sistem pendidikan yang sedang berjalan. Pada aspek inilah, kiranya masa depan bangsa secara umum sejak dini dapat dilihat dari warna dan karakter budaya mahasiswa yang terbentuk dari produk pendidikan tersebut. Dalam logika sederhana, hal ini dapat dipahami bahwa sebagian besar penentu kebijakan dan strategi bangsa baik secara ekonomi, politik, maupun sosial, adalah didominasi olek kalangan akademisi. Pada sisi kedua ini juga sebuah gejala perubahan kurikulum yang sedemikian cepat harus dilihat atau—lebih tepatnya—dicurigai ada setting kepentingan apa dibalik bangunan kurikulum yang diterapkan. Sebab jika tidak, maka masa depan arah pendidikan hanya akan dijadikan alat bagi kepentingan kelompok tertentu, semisal dominasi kekuasaan modal dengan proyek menciptakan pekerja yang murah dan profesional sesuai dengan kerangka keilmuannya masing-masing yang ada di kurikulum pendidikan.
Ketiga, dalam skala yang lebih luas, dunia mahasiswa adalah tempat yang sangat strategis bagi keberlangsungan distribusi produk-produk teknologi yang erat kaitannya dengan pembangunan pasar global serta upaya menciptakan budaya konsumerisme. Tanpa melakukan penelitian yang lebih jauh, dapat dilihat dalam relitas keseharian, bahwa hampir semua daerah yang memiliki basis universitas, akses terhadap hasil teknologi dan produk-produk mutahir selalu terdepan. Pragmatisme mahasiswa yang akhir-akhir ini semakin marak, mengindikasikan bahwa dunia mahasiswa telah terkooptasi oleh budaya pasar yang mendorong manusia menjadi konsumtif, mendorong hidup instan dan keinginan untuk mengikuti budaya tren yang berkembang.
Pada ketiga aras inilah gerakan mahasiswa—termasuk HMI—dihadapkan dalam tantangan dan kondisi sosial yang sangat dilematis. Disatu sisi jika tetap komitmen pada idealisme gerakan yang diusung, dapat dipastikan minat mahasiswa untuk ikut menjadi anggota serta kesiapan kader untuk tetap berpegang pada tradisi gerakan sulit diharapkan adanya. Sementara pada sisi yang lain pilihan design gerakan yang lebih bersifat akomodatif terhadap arus budaya yang dominan secara kuantitas mungkin dapat dipertahankan, namun secara kualitas, kesadaran pada idealisme yang diusung menjadi sulit untuk ditanamkan.
Globalisasi, Mahasiswa, dan Dunia Pendidikan
Secara simplistik, ada empat wacana perubahan dalam skala global yang tengah berlangsung begitu cepat yang mempengaruhi tata sosial-budaya di berbagai belahan dunia (Yasraf Amir Piliang : 2000), yakni; 1) Perubahan pada bidang sosial-ekonomi yang ditandai dengan semakin menguatnya arus globalisasi ekonomi, yang menuntut pengaturan berbagai aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi dalam skala yang lebih luas. Sementara di bidang sosial terjadi pergeseran dari masyarakat industri, menuju masyarakat post-industri. 2) Perubahan di bidang sains dan teknologi, yaitu berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi baru, yang tentu saja membawa pula perubahan yang mendasar pada tatanan kehidupan sosial dan budaya. 3) Perubahan di bidang budaya, yang ditandai dengan berkembangnya paradigma baru, pemikiran-pemikiran baru, yang menciptakan makna-makna baru pula. Perubahan kultural ini dapat dijelaskan sebagai perubahan dari kondisi “modernitas” menuju kondisi “post-modernitas”. Diantara perkembangan budaya baru pada post-modernitas ini adalah semakin tersegmentasinya masyarakat ke dalam gaya hidup (lifestyle), merebaknya budaya konsumerisme, serta munculnya pola hidup yang instan. 4) perubahan pada wacana estetik, berkenaan dengan perubahan gaya, tema, teknik, serta berbagai gagasan estetik.
Mahasiswa, sebagai bagian dari entitas masyarakat, tentu saja tidak bisa lepas dari tren budaya global yang sedang berlangsung. Jika beberapa waktu lalu civitas akademika lebih dikenal sebagai agen-agen perubahan, yang senantiasa kritis dalam melihat realitas sosial yang berjalan, yang ditandai dengan maraknya komunitas-komunitas atau gerakan-gerakan mahasiswa yang bermunculan sebagai respon terhadap berbagai pola kebijakan sosial politik maupun perubahan budaya, seperti HMI, PMII, PII, IMM, GMNI, dan lain-lain, kini mahasiswa lebih cenderung pada pragmatisme individu dimana mereka lebih menitik-beratkan pada percepatan studi, lulus dan segera mencari kerja. Kalaupun ada komunitas-komunitas baru yang lahir, kebanyakan orientasinya lebih kepada bangunan komunitas yang sesuai dengan kompetensi akademiknya, komunitas yang berorientasi lifestyle, komunitas yang dibangun berdasarkan minat dan bakatnya, atau yang secara instan dapat mendatangkan keuntungan materi.
Lebih parah lagi, ditengah ancaman budaya global yang demikian pesat, sistem pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU SISDIKNAS No.20/tahun 2003, yang bertujuan menciptakan manusia yang cerdas, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, dan tanggung jawab, sebagai upaya membangun peradaban bangsa yang bermartabat, tidak banyak memberi harapan. Undang-undang tersebut, lebih layak disebut sebagai manuskrip negara dari pada sebuah solusi sistem pendidikan ditengah berbagai persoalan pendidikan. Dalam relitas pelaksanaannya, dunia pendidikan lebih banyak melakukan pengekangan-pengekangan kreatifitas dari pada menciptakan ruang-ruang kreatifitas baru yang lebih menjanjikan. Sebagai contoh misalnya, hampir disebagian besar universitas memberlakukan sistem DO (drop out) yang sangat ketat, 75 % presensi kehadiran, kurikulum yang sering kali tidak tepat sasaran (fenomena pencabutan KBK dapat dijadikan sebagai referensi dalam persoalan ini, lihat KOMPAS, 10 Februari 2006) serta penyempitan masa perkuliahan. Padahal jika acuannya adalah kreatifitas, kemandirian, kecerdasan serta bermartabat, ruang-ruang aktualisasi seharusnya lebih banyak diberikan.
Menata Ulang Perkaderan HMI
Sebagai organisasi perjuangan dan perkaderan yang mengambil segmen mahasiswa sebagai lahan garapnya, HMI harus senantiasa melakukan refleksi-kritis atas berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan untuk menentukan posisi organisasi secara tepat dan konsisten. Tepat dalam arti sesuai dengan pemetaan masalah yang dilakukan, sedangkan konsisten dalam arti pilihan-pilihan strategi gerakan harus fokus mengarah pada positioning organisasi.
Perkaderan HMI adalah upaya yang dilakukan organisasi secara sitematis sebagai usaha untuk menuju tujuan orgnasisasi. Dalam Pedoman Perkaderan (PP) tahun 1999 yang disahkan kembali pada kongres ke-24 pada tahun 2001 di Semarang, sistematika model perkaderan terdiri atas : 1) Model Pendidikan yang terbagi dalam pendidikan formal, meliputi : pelatihan umum (LK I, LK II, dan LK III), pelatihan khusus (SC, Training Kohati). Pendidikan non-Formal (Training jurnalistik, training Ansos, training Politik dll); 2) Model Kegiatan, yang meliputi aktifitas individu, seperti: peribadatan, serta berbagai aktifisan yang menunjang bagi kreatifisan dan potensi kader dan aktifitas kelompok, seperi : kepanitiaan, diskusi, seminar dll; dan 3) Model Jaringan, baik berupa pendelegasian, aliansi, maupun studi banding.
Dari ketiga model perkaderan tersebut sejauh ini yang lebih banyak diapresiasi barulah pada model pendidikan itupun yang formal dan lebih spesifik lagi pada pelatihan umum, sedangkan model-model perkaderan yang lain, baik model kegiatan maupun model jaringan sementara ini lebih banyak dianggap sebagai subsistem perkaderan dan sangat kurang mendapatkan perhatian. Padahal melihat realitas perubahan budaya yang demikian pesat, nuansa pendekatan yang lebih struktural dalam pelatihan umum, kurang mampu memberikan andil yang besar dalam mengkontruksi solusi alternatif gerakan ditengah berbagai persoalan yang ada. Sekalipun demikian bukan berarti pelatihan umum harus dihilangkan sama sekali.
Sebagai metode yang diharapkan mampu merubah cara pandang pemikiran dan menumbuhkan kesadaran kader, pelatihan umum tetap penting dilaksanakan. Namun kebiasaan mengkonstrusi gagasan besar—sebagaimana yang umum di LK I, LK II maupun LK III—harus pula diimbangi dengan kebiasaan menurunkan gagasan secara lebih praksis-operasional dalam bentuk langkah-langkah strategi gerakan di berbagai situasi permasalahan yang ada. Kebiasaan menderifasi gagasan dalam bentuk gerakan yang lebih konkret ini, menurut hemat saya, hanya dapat dilakukan dengan cara menurunkan kader HMI secara langsung bersinggungan dengan masyarakat. Secara teknis, metode ini dapat diperkaya melalui rumusan sistematis di model kegiatan maupun jaringan.
Namun perlu diingat, bahwa HMI sebagai gerakan intelektual yang kritis dan konstruktif, harus diproyeksikan untuk pembentukan identitas kader yang berkualitas insan Ulil Albab dalam usaha transformasi sosial ke depan. Dalam arti bahwa, jangan sampai keterlibatan HMI di tengah masyarakat secara langsung justeru menggeser HMI sebagai gerakan taktis-pragmatis sebagaimana LSM dan gerakan masyarakat yang lain.
Keseimbangan antara intelectual exercise—yang selama ini terbentuk dari kemampuan mengeksplorasi wacana, kajian epistemik, forum-forum diskusi, dan lain-lain—dan social exercise—melalui keterlibatan HMI di tengah masyarakat, dalam bentuk bakti sosial, penelitian sosial, kerja-kerja jaringan, pekan dakwah, advokasi, edukasi, maupun demonstrasi—harus senantiasa dijaga sebagai posisi gerakan yang strategis bagi HMI.
Mempertegas identitas perkaderan HMI ditengah budaya Global
Di tengah kondisi sosial-politik yang didominasi arus budaya global, pilihan HMI sebagai organisasi Perkaderan dan Perjuangan harus kembali dipertegas. Karena dengan identitas Perkaderan dan Perjuangan inilah kiranya HMI akan tetap muncul sebagai organisasi alternatif yang siap mendorong transformasi sosial di tengah persoalan keumatan dan kebangsaan.
Perkaderan yang dimaksud adalah sebuah usaha menyiapkan generasi masa depan yang kritis –konstruktif yang dilandasi konsep tauhid, memiliki kesadaran dan kepekaan sosial yang tinggi serta adanya semangat/etos perjuangan yang seluruhnya terwujud dalam jiwa-jiwa kepemimpinan individu. Inilah sosok manusia-manusia ideal “insan cita” masa depan yang dalam proyek perkaderan HMI disebut dengan insan Ulil Albab. Sementara Perjuangan adalah seluruh aktifitas individu/organisasi yang berorientasi pada terwujudnya tatanan masyarakat yang diridloi oleh Allah SWT. Yakni, tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, religius di bawah lindungan dan naungan pengasihan, cinta dan pengampunan Allah.
Sebagaimana pada paparan di atas, kiranya pilihan strategi gerakan yang tepat bagi HMI adalah gerakan intelektual-profetik. Gerakan intelektual-profetik adalah gerakan yang didasarkan pada konsepsi pemahaman yang mendalam atas setiap permasalahan, yang dilandasi kesadaran perubahan sosial menuju tatanan yang lebih baik. Perubahan sosial yang dimaksud tidak sebatas pada tujuan keadilan yang bersifat materialistik semata, namun perubahasn sosial yang dilandasi atas tanggung jawab secara moral-transendental sebagaimana peran-peran kenabian yang diturunkan sebagai wakil Tuhan di bumi. Wassalam.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment