Blogger Tricks

MATANYA

Tuesday, June 19, 2007

Kontekstualisasi Pola Perkaderan;

Posted On 6:32 AM by Pengader Online 0 comments

Upaya Penguatan Nilai Kepengaderan
Oleh : Wilopo Husodo

Secara garis besar, dalam ilmu politik, dikenal dua jenis tipe partai yakni partai massa dan partai kader. partai massa hanya berorientasi pada kuantitas suara pemilih terutama menjelang pemilu, sedangkan partai kader lebih menekankan pada aspek kualitas kader dan juga pola perekrutan secara terstruktur. Sama halnya dalam dunia partai, kita juga akan mengenal dua model organisasi, yakni organisasi massa dan organisasi kader.

HMI MPO merupakan organisasi perkaderan, yang memiliki pola pembinaan kader secara tersruktur dan sistematis. Dan pada gilirannya ada suatu tujuan yang hendak dicapai dalam pola perkaderan tersebut yakni terutama pada aspek kepribadian seorang kader yang memiliki kapabilitas sebagai sosok yang mampu mengawal laju organisasi dan sekaligus menjadi teladan dalam suatu komunitas masyarakat.

Dalam perkembangannya, metode perkaderan di tubuh HMI MPO malah justru mengalami kebuntuan, dan dampaknya terjadilah krisis kader. Hal ini ternyata menjadi masalah bersama bagi elemen organisasi pergerakan yang lain dimana krisis kader maupun pengurus merupakan masalah yang sangat serius sehingga menjadi kajian utama dalam diskusi keorganisasian kontemporer. Sejumlah tawaranpun lahir dan ternyata pendapat mayoritas lebih terfokus pada aspek perkaderan. Namun pada kasus HMI MPO sendiri, penulis dan beberapa asumsi kader HMI MPO berkesimpulan bahwa masalah besar yang dialami HMI MPO hari ini adalah pada dua titik tekan yakni : perekrutan dan perkaderan.

Dua hal tersebut memiliki wilayah garapan yang berbeda satu sama lain. Yang pertama, perekrutan lebih menekankan pada aspek sosialisasi dan promosi organisasi. sedangkan yang kedua, perkaderan lebih menekankan pada aspek pembiinaan serta pendidikan pada diri kader. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain, dan menjadi ujung tombak bagi hidup-matinya HMI MPO. Mungkin bukan hanya HMI MPO tapi semua organisasi di seluruh belahan dunia memiliki perhatian yang sangat serius terhadap kedua hal tersebut, karena memang itulah yang menjadi modal inti suatu organisasi.

HMI MPO sudah saatnya untuk me-review pola perekerutan dan perkaderannya. Organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini perlu melakukan upaya kontekstualisasi agar eksistensi organisasi dapat sesuai dengan kebutuhan zaman, bukan sebaliknya HMI MPO menjadi sosok oragnisasi tua yang suadah usang dan tidak layak beroperasi. Dan pada gilirannya berbondong-bondong kader lari mencari wadah organisasi yang lebih matching.

Perlunya Inovasi Metode Perekrutan
Perhatian serius HMI MPO kini terpusat pada model perkaderan. Berbagai lokakarya maupun seminar pun di gelar mulai dari tingkat Pengurus Besar sampai pada tingkat KORKOM, intinya adalah berputar pada masalah : KADER !. Hal ini menjadi wacana yang terus bergulir dan belum menemukan solusi yang memuaskan semua pihak. Dan bahkan senantiasa menjadi perdebatan panas di lingkungan HMI MPO.

Secara garis besar, perkaderan di HMI terdiri dari LK 1, LK 2, LK 3, dan diluar hal tersebut biasanya berupa pelatihan-pelatihan yang sifatnya pengembangan pada kompetensi atau spesialisasi tertentu, seperti training politik, training motivasi,training pengader, dan lain sebagainya. Namun dari sekian banyak tawaran model pelatihan, ternyata masih mengalami kendala yakni perekrutan peserta. Bahkan disinyalir ada beberapa sebab dari kasus tersebut yakni diantaranya seperti timing yang kurang pas, tingkat kebutuhan akan pelatihan, biaya/kontribusi kegiatan, dan lain sebagainya. Dan hal seperti ini membutuhkan kejelian yang matang dalam menyelaraskan antara tawaran kegiatan (produk lembaga) terhadap kebutuhan atau kondisi peserta (konsumen). Ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan evaluasi untuk melakukan perekrutan, diantaranya:
a. Alat
Perekrutan bisa disamakan dengan metode marketing, banyak analisa yang dibutuhkan ketika membidik segmen pasar mulai dari alat promosi sampai pada estimasi peserta yang terjaring. Dan hal ini menjadi tanggung jawab para pengurus ditingkat elit untuk menyusun scenario planning dalam memasarkan produk lembaga. Titik tekan alat promosi pada umumnya terdiri atas media yang digunakan (brosur,pamphlet,spanduk,dll) dan bahasa propaganda.

b. Segmentasi
Dalam dunia pemasaran, target bukan hanya difokuskan pada kuantitas pasar, tapi juga perlu memperhatikan efek brand image yang akan muncul, meskipun target yang dicapai terhadap jumlah peserta berada dibawah standar. Dan perlu adanya kejelasan dalam membidik segmen pasar, ada estimasi terhadap jumlah peserta tertentu. Misal untuk kegiatan training HAM, maka yang menjadi focus utamanya adalah mahasiswa dari fakultas Hukum dan Sospol.

c. Metode
Pemasaran yang paling efektif adalah yang dilakukan secara langsung dari mulut ke mulut (Word of Mouth). Namun bukan berarti bahwa cara lain hanyalah menjadi factor pendukung. Pada dasarnya strategi pemasaran hanyalah tergantung dari medan lapangan yang ada, Ada kalanya metode WOM lebih tajam, namun terkadang juga perang pamphlet menjadi metode utama dalam gerilya marketing.

Keunggulan Produk
Keunggulan dalam suatu produk merupakan ujung tombak bagi dunia marketing, karena hal ini memiliki efek ganda yakni pada diferensiasi dan brand image. Yang pertama, diferensiasi adalah suatu upaya yang bertujuan guna menciptakan perbedaan yang mencolok terhadap para competitor. Misalnya, di HMI jenis perkaderan bagi pemula adalah basic training yang menekankan pada aspek ideologisasi, yang substansi intinya berupa khittah perjuangan, dan model seperti ini tidak ditemukan di lembaga lainnya. Atau jika di KAMMI dikenal istilah daurah marhalah, Hizbut Tahrir dikenal istilah basic mafahim,dll. Yang jelas satu pertanyaan mendasar bagi HMI MPO yakni apa keunggulan yang dimiliki bagi Basic Training HMI MPO?

Merenovasi Gaya meng-Kader
Selama ini, metode perkaderan di HMI MPO mengandalkan basic training sebagai satu-satunya alat bagi calon anggota untuk memasuki dunia HMI MPO. Fakta dilapangan ternyata menunjukkan gejala yang kurang baik bagi eksistensi bastra HMI MPO, indikatornya adalah banyaknya keluhan peserta terhadap “sosok” Bastra. Dan pada gilirannya menjadikan “barang dagangan” Bastra menjadi tidak laku di pasaran PETIKEMAS.

Menurut pendapat penulis, ada semacam ke-kaku-an dalam dunia perkaderan HMI MPO, dan disatu sisi ada semacam ke-amburadul-an dalam me-manage perkaderan. Yang pertama, ke-kaku-an terjadi karena cenderung terbelenggu oleh aspek yang sifatnya procedural sehingga ruang gerak pengader menjadi sempit dan pada gilirannya akan menghambat laju pertumbuhan kader, hal seperti ini mesti disikapi secara fleksibel dan arif. Dan yang kedua adalah ke-amburadul-an dalam me-manage perkaderan biasanya berkisar pada persoalan profesionalisme dan tanggung jawab para pengader.

Ada beberapa pertanyaan yang mesti diajukan sebelum memulai renovasi perkaderan di tubuh HMI MPO, diantaranya : apakah Bastra HMI MPO masih sesuai dengan kebutuhan mahasiswa hari ini? Apakah mengikuti Bastra merupakan satu-satunya syarat untuk menjadi anggota/kader HMI MPO? Apakah manfaat yang didapat jika seorang mahasiswa mengikuti perkaderan yang diadakan oleh HMI MPO? Atau apa untungnya menjadi kader HMI MPO?

Pertanyaan diatas terkesan sangat pragmatis bahkan oportunis, tapi itulah kondisi mayoritas pasar hari ini (baca :Mahasiswa). Bukan berarti HMI MPO mesti menafikan idealisme perjuangan (kualitas) dan berfokus pada kuantitas kader, tapi ada semacam keharusan bagi kader HMI MPO untuk men-candra jalannya organisasi kedepan, jangan sampai HMI MPO menjadi barang usang yang tidak layak pakai.

Kalau menurut Cahyo Pamungkas, kader HMI MPO mengalami perasaan rendah diri (inferioritas) atau kurang percaya diri. Persoalan seperti ini mesti ditangani secara serius agar kedepan militansi kader tetap terjaga dan eksistensi organisasi terus berkembang. Dan menjadi tugas pengader untuk menumbuhkan mentalitas superioritas ditubuh kader HMI MPO.

Pada hasil lokakarya perkaderan HMI MPO KORKOM UNHAS dikatakan bahwa terjadi pergeseran tradisi (cara pandang terhadap masa lalu, kini dan akan datang) yang sangat dipengaruhi oleh 2 faktor yakni liberalisasi wacana dan alur kesejarahan yang melingkupi. Dimana factor pertama, liberalisasi wacana merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, karena dipengaruhi oleh cara pandang yang semakin beragam guna menyikapi ruang keterbukaan yang semakin luas (kebebasan berpikir), sehingga akan ada kecendrungan bahwa gerakan akan dapat mempertahankan dirinya (tetap eksis) jika menemukan sebentuk cara berpikir baru hasil dari persentuhan antara tradisi berpikir kemarin dan hari ini. Sedang factor kedua, alur kesejarahan yang melingkupi adalah menyangkut pada perubahan orientasi dari semua gerakan yang pro perubahan, dimana dominasi wilayah politik-struktural yang menjadi mainstream gerakan pada saat ini tidak lagi efektif untuk dijadikan arah gerak, melainkan pada wilayah social-kultural.

Meneropong Jati Diri Sang Pengader : Pendidik, Pemimpin, dan Pejuang
Tugas inti HMI MPO sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan adalah mencetak genaerasi tangguh yang memiliki karakter sebagai pendidik, pemimpin, dan pejuang. Karakteristik ini nampak sangat jelas pada pribadi teladan figur besar umat manusia yakni : rasulullah SAW. Dan pertanyaannya sekarang adalah sudahkah kader (pengader) HMI MPO -khususnya korps pengader- memenuhi kriteria tersbut?

Pengader harus memiliki kemampuan dalam mendidik, karena hal ini merupakan basis dari pembangunan jatidiri kader organisasi. Para tokoh besar revolusioner sebelum menciptakan revolusi kenegaraan, maka terlebih dahulu mereka mendidik para pasukannya (pengikutnya) agar memiliki pandangan revolusi yang benar dan komprehensif. Tengok saja sepak terjang mereka dalam me-revolusi suatu masyarakat, seperti Rasulullah di Madinah yang melahirkan Negara Islam Madinah, Hasan Al-Bana di mesir yang melahirkan Jamaah Ikhwanul Muslimin, Ayatullah Imam Khomeini yang melahirkan konsep Wilayatul Faqih dalam Republik Islam Iran, dan Ernesto “che” Guevara yang membangun Negara Komunis di Kuba. Semua tokoh tersebut mendidik masyarakatnya (Ummatnya) dengan pengetahuan yang mumpuni seputar landasan ideologis yang menjadi basis utama (pondasi) suatu Negara yang di cita-citakan.

Makalah ini sebagai Prasyarat mengikuti Senior Course
Penulis adalah Sekretaris HMI Korkom Unhas periode 2006-2007
Bisa di temui di http://the-wh.blogspot.com


Monday, June 18, 2007

Khittah dan Filsafat “Makhluk Hidup”

Posted On 6:25 AM by Pengader Online 0 comments

Oleh : Lukman Wibowo

Dalam ajaran filsafat semantik yang pernah saya ketahui, bahwasanya makhluk hidup bisa didefinisikan sebagai “hidup yang tumbuh dan berkembang”, setidaknya harus mencakup tiga hal yaitu, identitas, paradigma atau cara berfikir, dan arah atau tujuan. Ketiga cakupan ini merupakan satu kerangka utuh (integralitas) yang dapat kita sebut—meminjam istilah Max Weber—sebagai “ide dasar”. Makhluk hidup ini akan mudah kita memahaminya, jika sample yang kita ambil adalah manusia.

Akan tetapi perlu diketahui, bahwa tidak setiap manusia memiliki ketiga cakupan atau “integralitas ide dasar” di atas. Kebanyakan manusia hanya mempunyai salah satu atau salah duanya saja—bahkan ada yang tidak memiliki ketiganya. Sehingga manusia seperti ini tidak layak disebut sebagai makhluk yang “hidup” tumbuh dan berkembang ke ranah yang lebih “positif”. Namun, di luar itu, tidak sedikit manusia yang lengkap mengandung cakupan itu. Artinya memiliki identitas, paradigma, serta punya tujuan hidup. Konon, merekalah manusia-manusia yang menyetir jalannya kebudayaan masyarakat—atau baiknya disebut “peradaban”.

Dalam lintasan sejarah, kita akan mudah mengenal “siapa” mereka, lewat fungsi kemanusiaan yang sudah mereka perankan. Kita tentu tidak asing lagi dengan sebutan-sebutan, filosof, nabi, ideolog, manusia setengah dewa, imam, master, atau “aktivis”. Itulah gelar yang galibnya mereka terima. Dan apapun gelar yang mereka peroleh, satu kesimpulan umum yang bisa ditarik, bahwa mereka adalah “pemimpin”. Artinya, dalam pengertian yang paling ideal dari ajaran filsafat semantik ini, adalah menempatkan manusia sebagai pemimpin. Yakni memimpin makhluk-makhluk lain yang “derajad”-nya di bawah manusia, dan juga memimpin sekelompok manusia lain, yang hidup dalam “cacat” kerangka ide dasar—atau bahkan tidak memiliki ketiga cakupan tersebut—agar manusia sanggup secara bersama-sama menentukan rupa suatu bentuk sejarah.

“Sejarah” (dalam pengertian “civilization”) merupakan salah satu kata yang sangat “heroik” dalam sejarah pembentukan kehidupan manusia itu sendiri. Aleksander Kojeve—sebagaimana yang dikutip Fukuyama—menyatakan bahwasanya sejarah dibangun atas dua faktor, yaitu, idea sebagai “sebab”, dan materi atau realitas atau dunia nyata sebagai “akibat”. Namun disini saya tidak akan berlanjut mengajak untuk membahas rumusan Kojeve yang diadopsinya dari Hegel. Hanya saja, apabila kita mengasumsikan “sejarah” adalah “peradaban”, maka sebaiknya kita musti mengetahui, yang mana “sebab”, dan yang mana “akibat”.

Membentuk “masyarakat seadanya” (community, bukan society) sangatlah mudah. Unsur utamanya adalah adanya individu-indvidu yang berkumpul dan kemudian melakukan interaksi. Tak soal, apakah kelak pergaulan yang dibangunnya baik atau buruk, kumpulan ini tetap berhak disebut sebagai masyarakat (komunitas).

Pertautan, konflik, dan segala macamnya, lambat laun pastilah melahirkan sebuah “sistem”, yakni dalam arti yang paling awam, bagian-bagian yang saling berhubungan dan disusun teratur, mulai dari yang makro sampai dengan yang partikular. (Dari titik inilah saya lalu bersepakat dengan apa yang dikatakan Syarafuddin, bahwa masyarakat sebagai sekumpulan orang yang mempunyai suatu cara berfikir dan bertindak yang khas, mempunyai kerangka pandang yang memunculkan perangkat teknis dan manajerial dalam menjadikan kerangka itu sebagai aksi kehidupannya). Mulai dari sini pula kita akan mendefinisikan masyarakat, bukan hanya sebatas indvidu-individu yang berkumpul (comunnity), melainkan telah hidup terorganisir (societas) yang dijalankan oleh seperangkat sistem institusional.

Tetapi, tidak selamanya sistem sosial yang dilahirkan tersebut kemudian wujud sebagai sistem yang baik (ideal). Bahkan tak jarang terbangun sistem yang buruk, dalam arti, adanya ketidakselarasan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Ini bisa difahami, karena sistem yang seperti ini dibentuk sekaligus dipimpin (manajerial-nya) oleh manusia-manusia yang tidak menempatkan kerangka identitas, paradigma, dan tujuannya, sebagai “kesatuan pandang” bersama..

Sebaliknya, jikalau seluruh individu yang membentuk masyarakat, berhasil menyusun “integralitas ide dasar”-nya dalam kesatuan pandang bersama yang diinginkan (idealisme), maka masyarakat semacam ini telah dianggap berhasil pula membentuk sistem yang baik. Dalam hal ini, nasionalisme, sosialisme, civil society, liberalisme, atau sistem apapun—asalkan bisa menempatkan keinginannya dalam kesatua pandang—boleh disebut sebagai sistem yang baik.

Akan tetapi, apakah sistem yang baik berhak pula dijustifikasi sebagai sistem yang benar (haqq) ?. Disini mungkinlah salah stu letak persoalan !.

Dalam sebuah sistem—baik itu yang ideal atau tidak—niscaya, identitas, paradigma, serta tujuan diletakkan sebagai “idea”, dan sistem itu sendiri adalah “material”. (Inilah yang barangkali dimaksud oleh Kojeve, tentang sebab-akibat lahirnya “sejarah”). Maka apabila idea adalah “sebab”, maka realitas masyarakat adalah “akibat”. Lantas parameter apakah yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa idea itu adalah benar, haqq ?. Secara sederhana, kita bisa melihat persoalan ini dari dua sudut pandang, yakni antroposentrisme ide dan teosentrisme ide.

Dari kacamata antroposentrisme ide, integralitas ide dasar (identitas, paradigma, dan tujuan) bersifat antroposentris, yakni idea-nya berasal dari keinginan manusia itu sendiri. Maka sistem ini, relatif bersifat duniawi (sekulum alias sekuler). Dengan kata lain, dalam frame ini, sistem yang baik bisa pula dianggap sistem yang benar menurut persepsi manusianya. Karena identitas, paradigma dan tujuan (idea), berasal dari kebenaran yang didefinisikan oleh manusia itu sendiri.

Namun di lain pihak, andai kita memposisikan Tuhan sebagai “sebab utama”, maka Tuhan adalah “maha ide”. Teosentrisme ide, meletakkan bahwa sumber idea berasal dari Tuhan yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Dalam pandangan teosentris, justeru, antroposentrisme ide dianggap dangkal, dan bisa jadi tidak sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Maka sistem dapat diyakini benar (haqq), jika integralitas ide dasar (identitas, paradigma, dan tujuan) berpusat serta berangkat dari Tuhan. Dan pada posisi ini, manusia hanyalah sekedar “pelaku” (atau khalifah, sang wakil Tuhan).

Menurut saya, ada baiknya, sebagai seorang yang beragama secara taat (muslim), kita bersikap “subjektif” dalam keberpihakan memakai frame teosentrisme ide—yang dalam pengertian Islam, disebut tauhid.

Bilamana kita kaitkan ke uraian di awal, yakni tentang kepemimpinan ; Dari pembahasan mengenai idea dan realitas (sebab – akibat), jelaslah bahwa tugas kaum muslim—dengan konsepsi tauhid sebagai idea—adalah memimpin seluruh ummat manusia, untuk membangun suatu peradaban “sejarah” (civilization) yang maju, baik dalam konteks kekhalifahan itu sendiri (horizontal), maupun peran abdullah-nya.

Dari uraian di atas, kita akan memperoleh urutan yang sistematis bagaimana peradaban itu disusun. Yakni, 1) adanya individu-individu (man), 2) terbentuknya masyarakat (comunity), 3) lahirnya kepemimpinan (institusi, lembaga, atau imamah), 4) terbangunnya masyarakat yang terorganisir (ummah atau sistem sosial), dan 5) tercipta peradaban sebagai ending. Dalam logika “men-jadi” atau to-be, dalam uraian ini kita akan mendapati bahwa “sistem sosial” merupakan superstruktur yang seluruhnya ditentukan oleh sikap “kepemimpinan” (institusional) di bawah konsep integralitas ide dasar (tauhid) itu sendiri.

Hubungan antara idea dengan realita, pastilah dijembatani oleh suatu “conceptual framework” yang sifatnya dinamis. Dan, jika kita menganggap idea adalah “sebab”, dan realitas adalah “akibat”, maka conceptual framework itulah yang kelak akan menghubungkan dan sekaligus membangun bagaimana yang idiil menjadi riil, serta sesuatu yang riil mampu idiil. Tentu hubungan keduanya (sebab – akibat), dijalankan oleh sekian faktor yang saling terkait dan penting, antara lain yaitu, “pelaku”, “cara”, dan perlu “alat”.

Dalam membangun peradaban Islam, niscaya dibutuhkan seluruh kerangka (perangkat) tersebut. Jika konsep masyarakat tauhid (al-qur’an) merupakan “idea” (tujuan) dan ikhtiyar mewujudkannya adalah “realita” (usaha), maka kaum muslim adalah “pelaku”-nya. Sedangkan sistem institusi merupakan “alat” dan conceptual framework adalah pedoman “cara”-nya.
* * *

Di Himpunan tercinta, kesatuan identitas, paradigma, dan tujuan, terangkum dalam satu integralitas ide dasar yang dikenal dengan nama “Khittah Perjuangan HMI”. (Dimana sebelumnya, HMI juga pernah menyusun manhaj gerakan, seperti Tafsir Azas 1957, Kepribadian HMI 1963, GPP 1966, serta NDP 1969). Khittah sebagai manhaj di HMI, bertugas sebagai “cara” (conceptual framework untuk menerjemahkan bagaimana yang idiil agar menjadi riil, serta sesuatu yang riil mampu idiil), dimana baldatun thoyyibatun wa robbun ghafuur merupakan “ídea”, dan perkaderan adalah “realitas”. Sementara kader serta institusinya adalah sebagai “pelaku” dan “alat”.

Sebagai integralitas ide dasar, Khittah Perjuangan—secara garis besar—nyaris sudah bisa dikatakan lengkap. Dimana “kedirian identitas” sedikit telah diterjemahkan ke dalam Bab Independensi, “paradigma” ditransformasikan ke dalam Bab Tafsir Azas, dan “tujuan” termaktub dalam Bab Tafsir Tujuan.

Hanya saja, kita musti maklum. Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa saat ini Khittah Perjuangan, sedikitnya mempunyai dua persoalan besar, pertama, tafsirnya atas kedirian, paradigma, maupun tujuan, belum bisa dianggap memadai dan lebih purna. Dan kedua, menurut beberapa kalangan, tafsirnya sudah “kurang canggih” menjawab permasalahan kekini-disinian.

Dari itu, sewajarnya adalah kewajiban kita, kader Himpunan, semampu mungkin untuk melakukan kerja-kerja pembaharuan (atau “penyempurnaan”, bukan sekedar “berubah”). Itu saja !

* Tulisan ini pernah dimuat di Movement Post, namun ditulis atas nama orang lain. Mungkin ini kesalahan redaksional dari media tersebut, atau juga barangkali karya penulis di “bajak” oleh orang lain, yang mengaku-aku sebagai penulis dari tulisan ini.

* Lukman Wibowo, Mantan Ketua Komisi Kebijakan PB HMI. Pengamat perkaderan HMI MPO, tinggal di Semarang.