(sebuah lokalitas yang terabaikan untuk keluar modernitas)
Oleh: Zubaeri
A. perkaderan dan kader
Perkaderan HMI merupakan upaya peningkatan kualitas anggota-anggota dengan memberikan pemahamana ajaran dan nilai kebenaran Islam secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang (baca; PP). sedangkan kader adalah anggota HMI yang telah berproses dalam perkaderan organisasi secara bersungguh-sungguh sehingga memiliki kesabaran, kemampuan, dan komitmen untuk memperjuangkan islam dalam rangka menuju masyarakat yang diridhoi Allah SWT (baca; pedoman perkaderan 99). semua ini merupakan makna hakiki yang kita idealkan bersama.
Pertanyaan kemudian adalah apakah HMI mampu membentuk kader melalui proses perkaderan untuk mencapai tujuannya, apabila dikaitkan dengan banyaknya persoalan dalam proses dan dinamika perkaderan secara umum. Ada beberapa problem perkaderan yang dapat kita paparkan dalam realitas dilapangan, meskipun sebenarnya tidak adil kalau argumentasi yang dipakai bersifat empiris dalam mengkritik idealisasi perkaderan yang menjadi tujuan. Kritikan adalah masukan dan penyempurnaan bukan penafian.
Pertama, pedoman perkaderan dimaknai sebagai pedoman yang kadangkala dibutuhkan kader HMI untuk menjelaskan bukan untuk dilaksanakan secara fungsional, Akibatnya pedoman perkaderan tidak dipakai sebagai acuan yang kita akui kebenarannya secara bersama. padahal pedomana perkaderan adalah merupakan proses pemikiran yang panjang yang meliputi idealisme, abtraksi, pembacaan masa depan, dan sehingga memunculkan aturan pokok apa yang dapat kita buat, agar sesuai dengan keinginan bersama. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, pedoman perkaderan ada ketika dibutuhkan untuk menjelaskan seperti layaknya “barang” sekunder kalaupun itu diperlukan.
Kedua, pedoman perkaderan dimaknai sebagai idealitas yang tidak kontekstual dengan zaman, buktinya pedoman perkaderan sangat susah untuk diterapkan dalam keseharian. Walaupun kader seperti ini hanya mengetahui secara teoritis tanpa mengetahui dengan “rasa” bagaimana pedoman dijalankan secara benar. yang terjadi adalah kehampaan pengetahuan atau mengetahui kesia-siaan yang tidak bisa diamalkan.
Ketiga, pedoman perkaderan dimaknai sebagai pedoman yang lepas dari aturan konstitisional. Artinya memahami perkaderan dilepaskan dari aturan konstitusional. Seharusnya pemahaman perkaderan merupakan pemahaman yang integral dengan konstitusi dan tidak terpisah. Mengapa saya katakan begitu, karena pedoman perkaderan yang nota-bene sebagai konstitusi penjelas untuk mengetahui seluk-beluk perkaderan sesuai dengan aturaran konstitusi untuk mencapai tujuan. Dan apabila tidak melakukan dan melaksanakan pedoman perkaderan merupakan tindakan inkonstitusional.
Lalu, bagaimana kita dapat menjalankan proses perkaderan dan menjadi kader yang baik dan kaffah jika aturan (syari’at) yang menjadi acuan tidak dilaksanakan secara penuh. Sehingga jangan disalahkan organisasi HMI kalau nantinya kader mempunyai pemahaman yang parsial seperti krisis eksistensi, krisis intelektual, krisis rasa, krisis kepercayaan dsb.
Maka perlu kiranya kita menyegarkan ulang pemahaman kita terutama tentang perkaderan dan kader. Mengapa hanya dua hal tersebut yang menjadi pokok dalam proses perkaderan. alasan pertama, kader merupakan penentu dalam melanjutkan estafet kepengurusan atau tonggak masa depan. Alasan kedua, perkaderan merupakan tonggak dalam menanamkan kesadaran total tentang kedirian kader.
B. Paradigma kader
Menurut Murtadha muthahhari Paradigma adalah suatu cara pandang dalam melihat dan memaknai dunia (world view). Artinya cara pandang tersebut sangat terkait dengan objek luaran yang dapat diketahui, dapat diurai dengan pemgetahuan, dapat diklasifikasi dan dapat diferifikasi kebenarannya secara utuh. Serta dapat dipahami dan dipahamkan kepada orang lain.
Mengapa paradigma ini penting?, karena dengan paradigma seseorang dalam memahami nilai objek yang ingin dicapai, dimaksud dan dikehendaki. sehingga pada akhirnya akan menjadi landasan dalam membuat tatanan masyarakat yang terbuka.
Kalau kita membahas paradigma kader HMI, dapat kita klasifikasikan menjadi: pertama, paradigma kader yang mencari pengetahuan keorganisasian. Paradigma ini sering kali ada karena HMI dipersepsikan sebagai organisasi yang mempunyai kontribusi besar dalam pemerintahan. padahal HMI sebagai organisasi tidak hanya mengurusi managerial, tempat berkumpul, mengordinir anggota dsb.
Kader berparadigma seperti ini dalam kehidupannya di HMI hanya akan mencari pengalaman organisasi dalam arti yang sempit yakni fungsi-fungsi teknis managerial saja tidak lebih. Implikasinya seorang kader tersebut tidak akan mampu bertahan lama dan susah untuk diajak untuk berjuang apalagi berijtihad. HMI tidak butuh kader yang memanfaatkan HMI.
Kedua, paradigma kader yang terpaksa dalam menjalankan fungsi keorganisasian. Saya katakan terpaksa, karena kader dituntut untuk amanah dan bertanggung jawab karena tidak ada kader lain yang bisa dituntut. Imbasnya, kader seperti ini akan bertahan (eksis) meskipun keberadaannya hanya sebatas untuk melanjutkan estafet organisasi. Jelas, kader tersebut juga tidak rela HMI mati sebelum waktunya.
Kelebihan paradigma kader seperti ini adalah dia mampu bertahan miskipun ditinggalkan oleh teman-temannya baik secara karir, kuliah bahkan perkawinan sekalipun. Tetapi sebaliknya, organisasi akan cenderung stagnan karena ada unsure yang dipaksakan.
Ketiga, paradigma kader yang konstitusional. Artinya paradigma kader yang tunduk dan patuh pada konstitusi organisasi secara formal dalam memaknai realita organisasi. Apapun aturan yang tercantum dan disepakati akan dilaksanakan tanpa harus mempertanyakan kebenarannya sebagai konstitusi, sederhanya “apakah konstitusi itu benar secara konstituisional” tentu kita kaitakan dengan azas yang juga merupakan bagian tertinggi dalam konstitusi yakni Islam.
Keempat, paradigma kader yang memakai islam yang menjadi dasar utama dalam hidup dan berkehidupan, sedangkan HMI adalah organisasi yang melakukan penafsiran terhadap Islam berupa perkaderan dan perjuangan dalam melihat kehidupan masyarakat yang multi komplek, baik seni, budaya, ekonomi, politik pendidikan dsb. Artinya HMI buikan Islam tetapi HMI adalah bagian dari islam, karena HMI mengajarkan ke-islaman.
Dari sekian paradigma diatas, kader HMI harus mengikuti paradigma yang mana? Atau dalam semua paradigma HMI tersebut menjadi acuan dalam menjalankan fungsi sebagai individu, inteletual, organisasi dan Islam. Mari kita renungkan bersama untuk ijtihad kemasa depan Kader dan HMI !!!.
C. Makna perkaderan
Makna perkaderan dalam HMI secara umum dibagi dua antara lain: pertama, perkaderan dalam arti sesungguhnya. Sesungguhnya dalam artian sesuai dengan pedoman perkaderan yakni upaya untuk meningkatkan kualitas anggota HMI dalam mengetahui nilai, pengembangkan nilai dan mengamalkan nilai Islam dalam kehidupan dimasyarakat.
Oleh karena itu, perkaderan di HMI adalah upaya menyadarkan kader atau anggotanya untuk menjadi diri sendiri (capacity Building) yang memadahi sebagai bekal hidup dan fungsi kekholifahan dimuka bumi yaitu sebagai penjagaan keseimbangan antara mikrikosmis dengan makrokosmis hingga terjadinya dinamisasi kehidupan saling membutuhkan tetapi tidak saling menguasai.
Kedua, perkaderan dalam arti pemahaman. Pemahaman disini kita artikan sebagai perkaderan yang konvensional. Salah satu buktinya adalah, (1) mencari anggota sebanyak-banyaknya.(2) melakukan mobilisasi anggota tanpa kesadaran yang konprehensip.(3) melakukan kaderisasi atau proses perkaderan dengan sistem dokrinan.(4) anggota atau kader harus ada jika dibutuhkan oleh pengurus.
Lalu mengapa proses perkaderan akhir-akhir ini memakai makna kedua yakni lebih mementingkan estafet oraganisasi HMI ketimbang subtansi yang diinginkan oleh tujuan HMI ?. Maka tidak salah jika banyak orang atau alumni akan memprediksikan HMI kedepan akan hidup tertatih-tatih dan secara berlahan-lahan akan mati. Astaqfirullah!.
D. fungsi perkaderan
Fungsi perkaderan adalah kegunaan perkaderan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam fungsi ini dapat kita bagi menjadi dua fungsi yakni: pertama, fungsi guna. Dan kedua, fungsi Hakiki. Fungsi guna perkaderan HMI adalah melanjutkan perjuangan HMI secara terus menerus dalam melakukan perkaderan dan berguna untuk menjadi martil-martil pengemban amanah, fingsi guna ini banyak bermotif pada materi atau orang yang menjadi simbol dalam perjuangan. fungsi guna ini tidak akan berjalan jika secara orang atau kader tidak mempunyai kesadaran konseptual, kesadaran managerial, usaha yang independen dan kesdaran akan tujuan yang dicita-citakan.
Kedua, fungsi perkaderan hakiki adalah membentuk insan cita HMI yang selalu beribadah kepada Allah SWT dan menjadi kholifah dalam membentuk masyarakat ideal yakni Baldatun toibatun warobbulqhofur. Adapun fungsi insan cita HMI adalah Insan ulil albab yang mempunyai klasifikasi seperti dalam al-qur’an yakni hanya takut kepada Allah, tekun beribadah, memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirin, progres dalam berdakwah dsb (baca; PP).maka integralitas pemahaman itulah akan mnejadi media dalam mencapai fungsi hakiki kedepan.
E. Mengapa harus perkaderan
Ada dua alasan mengapa HMI memakai perkaderan sebagai identitas bukan yang lain. Pertama, karena perkaderan melakukan pendidikan kepada subjek secara otonam, mulai dari proses pemahaman cara pandang, konsepsi yang harus digunakan, sikap yang harus dilaksanakan dan keikhlasan dalam beramal.
keihklasan disini kita diartikan sebagai manisfestasi kebutuhan yang harus ada dan dikembangkan dalam realitas sosial, yang mempunyai implikasi langsung maupun tidak sedangkan makna langsung disini dimaknai sebagai tidak ada garis pembeda antara diri dengan “the other”. sehingga tercipta saya dan kamu, kami dan mereka, aku dan dia adalah satu. Proses inilah yang menjadi landasan dalam proses dantujuan HMI.
Kedua, perkaderan perpegang teguh pada ruh keyakinan yang dibangun dengan bagunanan idealisme dan dipagari dengan abtraksi lingkungan (realitas) dan perenungan yang coba ditanamkan dalam proses perkaderan.
Maka tidak perlu heran jika hasil dari proses perkaderan berbeda-beda tetapi tetap dalam kerangka dan batas-batas Islam secara umum. Dan sungguh sangat bodoh jika keberbedaan dalam diri kader tidak mencerminkan akan keyakinan dan idealisme yang sama-sama diberikan oleh tuhan.
F. Bagaimana perkaderan menyongsong masa depan
Perkaderan ini akan terwujud, jika kita memakai logika sistematika yakni keyakinan sebagai landasan, keilmuan sebagai kerangka pemahaman, idependensi sebagai sikap yang tegas dan mandiri dan iman sebagai laku untuk merasakan kemanisan dan kepahitan yang nantinya menjadi keistiqomahan.
Karena Keistiqomahan atau konsistensi akan menuntut kesabaran, ketaqwaan, ketaatan dan penderitaan sebagai buju-baju keseharian diHMI mendatang. Agar tetap eksis sebagai organisasi perkaderan.
Adapun tawaran perkaderan dalam menyongsong kehidupan manusia mendatang dalam konteks indonesia harus meliputi beberapa hal: pertama, konsep perkaderan yang menitik beratkan pada proses menunjukkan eksistensi manusia, yang berkaitan dengan dari mana dan mau kemana (awal-akhir). Kedua, mempunyai kerangka berpikir yang tidak linier. Artinya kerangka pikir yang selalu kreatif dalam perjalanan proses perkaderan. Ketiga, memegang nilai humanistik dan transendetalitis dalam menjalankan proses perkaderan. keempat, mengembangakan sumberdaya manusia terutama yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan lokalitas. Kelima, kesadaran untuk selalu menjaga nilai yang secara subtansial telah menunjukkan nilai kemanusian dalam masyarakat lokal.(baca; makalah lukman hakim Hasan)
G. Hubungan Hakikat Pengkaderan dengan kesadaran lokalitas
Hakikat Pengkaderan manusia sebenarnya ada dua seperti yang dikemukakan oleh A.N.Whitehead dalam magnum opusnya yang berjudul Proses and Reality, yakni kesadaran Proses dan Reality. Mengatakan kesadaran prosesnya (awal-akhir) dimana dalam pepatah jawa disebut dengan “Ajaran pamoring kawulo gusti”. Sementara kesadaran realitas adalah pertemuan antara lahir dan batin, dalam ajaran jawa disebut “sangkan paraning dumadi” (baca; kyai sapu-jagad….,Prof.dr. Damardjati supajar).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pertemuan kesadaran proses dengan kesadaran realitas merupakan hakikat perkaderan manusia yang bersifat lokalistik-hakiki (lokalitas yang paling hakiki). Sehingga ketika kita membangun paradigma perkaderan haruslah bisa memahani antara proses dan realitas kita secara integratif.
Kesadaran integratis ini adalah pertemuan dua paradigma yang saling mengisi dan tidak terpisahkan, seperti hukum alam secara kosmin yakni pertemuan makrokosmos dengan mikro kosmos, yang kemudian disebut dengan ruang publik. Kalau dijogjakarta disebut dengan alun-alun.
Ruang publik dalam sistem perkaderan adalah suatu ruang dimana semua kader dapat berinteraksi secara bebas. Dalam artian kader mempunyai ruang dan waktu yang sama, baiak secara pemikiran, kedudukan, bahasa, kesadaran, bahkan keinginan yang dilandasi oleh keterbukaan, kejujuran dan keikhlasan. Maka inilah yang penulis sebut dengan partisipatoris, seperti Jurgen Habermas.bebes dari dominasi, bebas dari diskriminasi, bebas berargumentasi dan saling menghargai dan menghormati.
Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa kesadaran lokalitas sangat menentukan diri manusia sebagaimana kedirian manusia yang sejatinya yakni “selalu beribadah kepada Allah” yang kemuidan ditransformasikan kepada realitas objektif. Adapaun realitas objektif diluar kita adalah perwujudan kedirian “ADA” yang hakiki yang bersifat temporal tergantung pada ruang dan waktu. Sedang “ADA” adalah tak terbatas.
Oleh: Zubaeri
A. perkaderan dan kader
Perkaderan HMI merupakan upaya peningkatan kualitas anggota-anggota dengan memberikan pemahamana ajaran dan nilai kebenaran Islam secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang (baca; PP). sedangkan kader adalah anggota HMI yang telah berproses dalam perkaderan organisasi secara bersungguh-sungguh sehingga memiliki kesabaran, kemampuan, dan komitmen untuk memperjuangkan islam dalam rangka menuju masyarakat yang diridhoi Allah SWT (baca; pedoman perkaderan 99). semua ini merupakan makna hakiki yang kita idealkan bersama.
Pertanyaan kemudian adalah apakah HMI mampu membentuk kader melalui proses perkaderan untuk mencapai tujuannya, apabila dikaitkan dengan banyaknya persoalan dalam proses dan dinamika perkaderan secara umum. Ada beberapa problem perkaderan yang dapat kita paparkan dalam realitas dilapangan, meskipun sebenarnya tidak adil kalau argumentasi yang dipakai bersifat empiris dalam mengkritik idealisasi perkaderan yang menjadi tujuan. Kritikan adalah masukan dan penyempurnaan bukan penafian.
Pertama, pedoman perkaderan dimaknai sebagai pedoman yang kadangkala dibutuhkan kader HMI untuk menjelaskan bukan untuk dilaksanakan secara fungsional, Akibatnya pedoman perkaderan tidak dipakai sebagai acuan yang kita akui kebenarannya secara bersama. padahal pedomana perkaderan adalah merupakan proses pemikiran yang panjang yang meliputi idealisme, abtraksi, pembacaan masa depan, dan sehingga memunculkan aturan pokok apa yang dapat kita buat, agar sesuai dengan keinginan bersama. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, pedoman perkaderan ada ketika dibutuhkan untuk menjelaskan seperti layaknya “barang” sekunder kalaupun itu diperlukan.
Kedua, pedoman perkaderan dimaknai sebagai idealitas yang tidak kontekstual dengan zaman, buktinya pedoman perkaderan sangat susah untuk diterapkan dalam keseharian. Walaupun kader seperti ini hanya mengetahui secara teoritis tanpa mengetahui dengan “rasa” bagaimana pedoman dijalankan secara benar. yang terjadi adalah kehampaan pengetahuan atau mengetahui kesia-siaan yang tidak bisa diamalkan.
Ketiga, pedoman perkaderan dimaknai sebagai pedoman yang lepas dari aturan konstitisional. Artinya memahami perkaderan dilepaskan dari aturan konstitusional. Seharusnya pemahaman perkaderan merupakan pemahaman yang integral dengan konstitusi dan tidak terpisah. Mengapa saya katakan begitu, karena pedoman perkaderan yang nota-bene sebagai konstitusi penjelas untuk mengetahui seluk-beluk perkaderan sesuai dengan aturaran konstitusi untuk mencapai tujuan. Dan apabila tidak melakukan dan melaksanakan pedoman perkaderan merupakan tindakan inkonstitusional.
Lalu, bagaimana kita dapat menjalankan proses perkaderan dan menjadi kader yang baik dan kaffah jika aturan (syari’at) yang menjadi acuan tidak dilaksanakan secara penuh. Sehingga jangan disalahkan organisasi HMI kalau nantinya kader mempunyai pemahaman yang parsial seperti krisis eksistensi, krisis intelektual, krisis rasa, krisis kepercayaan dsb.
Maka perlu kiranya kita menyegarkan ulang pemahaman kita terutama tentang perkaderan dan kader. Mengapa hanya dua hal tersebut yang menjadi pokok dalam proses perkaderan. alasan pertama, kader merupakan penentu dalam melanjutkan estafet kepengurusan atau tonggak masa depan. Alasan kedua, perkaderan merupakan tonggak dalam menanamkan kesadaran total tentang kedirian kader.
B. Paradigma kader
Menurut Murtadha muthahhari Paradigma adalah suatu cara pandang dalam melihat dan memaknai dunia (world view). Artinya cara pandang tersebut sangat terkait dengan objek luaran yang dapat diketahui, dapat diurai dengan pemgetahuan, dapat diklasifikasi dan dapat diferifikasi kebenarannya secara utuh. Serta dapat dipahami dan dipahamkan kepada orang lain.
Mengapa paradigma ini penting?, karena dengan paradigma seseorang dalam memahami nilai objek yang ingin dicapai, dimaksud dan dikehendaki. sehingga pada akhirnya akan menjadi landasan dalam membuat tatanan masyarakat yang terbuka.
Kalau kita membahas paradigma kader HMI, dapat kita klasifikasikan menjadi: pertama, paradigma kader yang mencari pengetahuan keorganisasian. Paradigma ini sering kali ada karena HMI dipersepsikan sebagai organisasi yang mempunyai kontribusi besar dalam pemerintahan. padahal HMI sebagai organisasi tidak hanya mengurusi managerial, tempat berkumpul, mengordinir anggota dsb.
Kader berparadigma seperti ini dalam kehidupannya di HMI hanya akan mencari pengalaman organisasi dalam arti yang sempit yakni fungsi-fungsi teknis managerial saja tidak lebih. Implikasinya seorang kader tersebut tidak akan mampu bertahan lama dan susah untuk diajak untuk berjuang apalagi berijtihad. HMI tidak butuh kader yang memanfaatkan HMI.
Kedua, paradigma kader yang terpaksa dalam menjalankan fungsi keorganisasian. Saya katakan terpaksa, karena kader dituntut untuk amanah dan bertanggung jawab karena tidak ada kader lain yang bisa dituntut. Imbasnya, kader seperti ini akan bertahan (eksis) meskipun keberadaannya hanya sebatas untuk melanjutkan estafet organisasi. Jelas, kader tersebut juga tidak rela HMI mati sebelum waktunya.
Kelebihan paradigma kader seperti ini adalah dia mampu bertahan miskipun ditinggalkan oleh teman-temannya baik secara karir, kuliah bahkan perkawinan sekalipun. Tetapi sebaliknya, organisasi akan cenderung stagnan karena ada unsure yang dipaksakan.
Ketiga, paradigma kader yang konstitusional. Artinya paradigma kader yang tunduk dan patuh pada konstitusi organisasi secara formal dalam memaknai realita organisasi. Apapun aturan yang tercantum dan disepakati akan dilaksanakan tanpa harus mempertanyakan kebenarannya sebagai konstitusi, sederhanya “apakah konstitusi itu benar secara konstituisional” tentu kita kaitakan dengan azas yang juga merupakan bagian tertinggi dalam konstitusi yakni Islam.
Keempat, paradigma kader yang memakai islam yang menjadi dasar utama dalam hidup dan berkehidupan, sedangkan HMI adalah organisasi yang melakukan penafsiran terhadap Islam berupa perkaderan dan perjuangan dalam melihat kehidupan masyarakat yang multi komplek, baik seni, budaya, ekonomi, politik pendidikan dsb. Artinya HMI buikan Islam tetapi HMI adalah bagian dari islam, karena HMI mengajarkan ke-islaman.
Dari sekian paradigma diatas, kader HMI harus mengikuti paradigma yang mana? Atau dalam semua paradigma HMI tersebut menjadi acuan dalam menjalankan fungsi sebagai individu, inteletual, organisasi dan Islam. Mari kita renungkan bersama untuk ijtihad kemasa depan Kader dan HMI !!!.
C. Makna perkaderan
Makna perkaderan dalam HMI secara umum dibagi dua antara lain: pertama, perkaderan dalam arti sesungguhnya. Sesungguhnya dalam artian sesuai dengan pedoman perkaderan yakni upaya untuk meningkatkan kualitas anggota HMI dalam mengetahui nilai, pengembangkan nilai dan mengamalkan nilai Islam dalam kehidupan dimasyarakat.
Oleh karena itu, perkaderan di HMI adalah upaya menyadarkan kader atau anggotanya untuk menjadi diri sendiri (capacity Building) yang memadahi sebagai bekal hidup dan fungsi kekholifahan dimuka bumi yaitu sebagai penjagaan keseimbangan antara mikrikosmis dengan makrokosmis hingga terjadinya dinamisasi kehidupan saling membutuhkan tetapi tidak saling menguasai.
Kedua, perkaderan dalam arti pemahaman. Pemahaman disini kita artikan sebagai perkaderan yang konvensional. Salah satu buktinya adalah, (1) mencari anggota sebanyak-banyaknya.(2) melakukan mobilisasi anggota tanpa kesadaran yang konprehensip.(3) melakukan kaderisasi atau proses perkaderan dengan sistem dokrinan.(4) anggota atau kader harus ada jika dibutuhkan oleh pengurus.
Lalu mengapa proses perkaderan akhir-akhir ini memakai makna kedua yakni lebih mementingkan estafet oraganisasi HMI ketimbang subtansi yang diinginkan oleh tujuan HMI ?. Maka tidak salah jika banyak orang atau alumni akan memprediksikan HMI kedepan akan hidup tertatih-tatih dan secara berlahan-lahan akan mati. Astaqfirullah!.
D. fungsi perkaderan
Fungsi perkaderan adalah kegunaan perkaderan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam fungsi ini dapat kita bagi menjadi dua fungsi yakni: pertama, fungsi guna. Dan kedua, fungsi Hakiki. Fungsi guna perkaderan HMI adalah melanjutkan perjuangan HMI secara terus menerus dalam melakukan perkaderan dan berguna untuk menjadi martil-martil pengemban amanah, fingsi guna ini banyak bermotif pada materi atau orang yang menjadi simbol dalam perjuangan. fungsi guna ini tidak akan berjalan jika secara orang atau kader tidak mempunyai kesadaran konseptual, kesadaran managerial, usaha yang independen dan kesdaran akan tujuan yang dicita-citakan.
Kedua, fungsi perkaderan hakiki adalah membentuk insan cita HMI yang selalu beribadah kepada Allah SWT dan menjadi kholifah dalam membentuk masyarakat ideal yakni Baldatun toibatun warobbulqhofur. Adapun fungsi insan cita HMI adalah Insan ulil albab yang mempunyai klasifikasi seperti dalam al-qur’an yakni hanya takut kepada Allah, tekun beribadah, memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirin, progres dalam berdakwah dsb (baca; PP).maka integralitas pemahaman itulah akan mnejadi media dalam mencapai fungsi hakiki kedepan.
E. Mengapa harus perkaderan
Ada dua alasan mengapa HMI memakai perkaderan sebagai identitas bukan yang lain. Pertama, karena perkaderan melakukan pendidikan kepada subjek secara otonam, mulai dari proses pemahaman cara pandang, konsepsi yang harus digunakan, sikap yang harus dilaksanakan dan keikhlasan dalam beramal.
keihklasan disini kita diartikan sebagai manisfestasi kebutuhan yang harus ada dan dikembangkan dalam realitas sosial, yang mempunyai implikasi langsung maupun tidak sedangkan makna langsung disini dimaknai sebagai tidak ada garis pembeda antara diri dengan “the other”. sehingga tercipta saya dan kamu, kami dan mereka, aku dan dia adalah satu. Proses inilah yang menjadi landasan dalam proses dantujuan HMI.
Kedua, perkaderan perpegang teguh pada ruh keyakinan yang dibangun dengan bagunanan idealisme dan dipagari dengan abtraksi lingkungan (realitas) dan perenungan yang coba ditanamkan dalam proses perkaderan.
Maka tidak perlu heran jika hasil dari proses perkaderan berbeda-beda tetapi tetap dalam kerangka dan batas-batas Islam secara umum. Dan sungguh sangat bodoh jika keberbedaan dalam diri kader tidak mencerminkan akan keyakinan dan idealisme yang sama-sama diberikan oleh tuhan.
F. Bagaimana perkaderan menyongsong masa depan
Perkaderan ini akan terwujud, jika kita memakai logika sistematika yakni keyakinan sebagai landasan, keilmuan sebagai kerangka pemahaman, idependensi sebagai sikap yang tegas dan mandiri dan iman sebagai laku untuk merasakan kemanisan dan kepahitan yang nantinya menjadi keistiqomahan.
Karena Keistiqomahan atau konsistensi akan menuntut kesabaran, ketaqwaan, ketaatan dan penderitaan sebagai buju-baju keseharian diHMI mendatang. Agar tetap eksis sebagai organisasi perkaderan.
Adapun tawaran perkaderan dalam menyongsong kehidupan manusia mendatang dalam konteks indonesia harus meliputi beberapa hal: pertama, konsep perkaderan yang menitik beratkan pada proses menunjukkan eksistensi manusia, yang berkaitan dengan dari mana dan mau kemana (awal-akhir). Kedua, mempunyai kerangka berpikir yang tidak linier. Artinya kerangka pikir yang selalu kreatif dalam perjalanan proses perkaderan. Ketiga, memegang nilai humanistik dan transendetalitis dalam menjalankan proses perkaderan. keempat, mengembangakan sumberdaya manusia terutama yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan lokalitas. Kelima, kesadaran untuk selalu menjaga nilai yang secara subtansial telah menunjukkan nilai kemanusian dalam masyarakat lokal.(baca; makalah lukman hakim Hasan)
G. Hubungan Hakikat Pengkaderan dengan kesadaran lokalitas
Hakikat Pengkaderan manusia sebenarnya ada dua seperti yang dikemukakan oleh A.N.Whitehead dalam magnum opusnya yang berjudul Proses and Reality, yakni kesadaran Proses dan Reality. Mengatakan kesadaran prosesnya (awal-akhir) dimana dalam pepatah jawa disebut dengan “Ajaran pamoring kawulo gusti”. Sementara kesadaran realitas adalah pertemuan antara lahir dan batin, dalam ajaran jawa disebut “sangkan paraning dumadi” (baca; kyai sapu-jagad….,Prof.dr. Damardjati supajar).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pertemuan kesadaran proses dengan kesadaran realitas merupakan hakikat perkaderan manusia yang bersifat lokalistik-hakiki (lokalitas yang paling hakiki). Sehingga ketika kita membangun paradigma perkaderan haruslah bisa memahani antara proses dan realitas kita secara integratif.
Kesadaran integratis ini adalah pertemuan dua paradigma yang saling mengisi dan tidak terpisahkan, seperti hukum alam secara kosmin yakni pertemuan makrokosmos dengan mikro kosmos, yang kemudian disebut dengan ruang publik. Kalau dijogjakarta disebut dengan alun-alun.
Ruang publik dalam sistem perkaderan adalah suatu ruang dimana semua kader dapat berinteraksi secara bebas. Dalam artian kader mempunyai ruang dan waktu yang sama, baiak secara pemikiran, kedudukan, bahasa, kesadaran, bahkan keinginan yang dilandasi oleh keterbukaan, kejujuran dan keikhlasan. Maka inilah yang penulis sebut dengan partisipatoris, seperti Jurgen Habermas.bebes dari dominasi, bebas dari diskriminasi, bebas berargumentasi dan saling menghargai dan menghormati.
Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa kesadaran lokalitas sangat menentukan diri manusia sebagaimana kedirian manusia yang sejatinya yakni “selalu beribadah kepada Allah” yang kemuidan ditransformasikan kepada realitas objektif. Adapaun realitas objektif diluar kita adalah perwujudan kedirian “ADA” yang hakiki yang bersifat temporal tergantung pada ruang dan waktu. Sedang “ADA” adalah tak terbatas.