(upaya peneguhan kembali misi penciptaan manusia)
Oleh : Khilmi Zuhroni ZA
Manusia adalah sebaik-baik ciptaan (QS:95:4). Sebab itu maka sangat tepat jika sebagai makhluk yang diciptakan dengan penuh kesempurnaan ini, Tuhan lalu menjatuhkan titah-Nya pada manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi (QS:2:30) Titah yang sungguh teramat mulia ini disamping merupakan pengakuan Tuhan sebagai penciptanya bahwa hanya pada diri manusialah adanya potensi manifestasi pengemban amanah keTuhanan untuk senantiasa menjaga dan memelihara semesta, juga menisbatkan akan dimintainya pertanggungjawaban pada setiap laku dan amalan manusia selama dia menjalankan peran dan fungsinya di muka bumi.
Ali Syari’ati (1933-1977) seorang tokoh intelektual Iran, menjelaskan mengapa Tuhan memilih manusia sebagai makhluk pilihan adalah; Pertama, bahwa pada diri manusia terdapat kemauan bebas yang mampu mendorong manusia untuk melawan maupun menjalankan instingnya—sebuah dorongan yang tidak mungkin dimiliki oleh makhluk ciptaan yang lain. Hanya manusia yang dapat melawan dirinya, menentang hakekatnya, dan memberontak terhadap kebuTuhan fisik dan spiritualnya. Ia bebas memilih untuk bersikap rasional maupun irrasional, baik atau jahat, menjadi malaikan ataukah iblis.
Kehendak bebas sedemikian dapat muncul mendorong manusia tentu saja sebab manusia tercipta dari roh Tuhan yang ditiupkan-Nya pada saat awal penciptaanya. Sehingga adanya sifat yang identik antara roh manusia dan Tuhan adalah adanya kemauan bebas
Prinsip kedua, bahwa secara esensi dan substansinya, penciptaan manusia adalah sama. Sehingga pada aras inilah yang memungkinkan adanya semangat persamaan dan persaudaraan sesama manusia. Dan ketiga, keutamaan manusia adalah terdapat dalam ilmu pengetahuannya, dimana terbukti manusia lebih unggul di atas makhluk-makhluk ciptaa yang lain adalah bahwa hanya manusialah yang sanggup menyebut dan mengetahui nama-nama
Masalah manusia adalah hal yang terpenting dari semua masalah. Terlebih lagi dalam kondisi persoalan kemanusiaan yang kian komplek searah dengan makin berkembangnya daya cipta dan kreatifitas manusia, maka membicarakan kembali manusia, berarti adalah sebuah ijtihad yang sangat urgen untuk menemukan cara pandang baru bagaimana menempatkan manusia dalam tugas dan tanggung jawabnya di tengah berbagai situasi yang kian menyisihkan peran manusia itu sendiri. Indikasi kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh manusia dapat dilihat dari berbagai kreasi-cipta manusia mutakhir dalam aneka pencapaian kebudayaan—ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, dll—yang demikian cepat sampai pada saatnya nalar pengetahuan yang semula di maksudkan sebagai upaya memenuhi kebutuhan manusia, dalam aplikasinya ternyata membawa implikasi yang demikian besar dengan semakin terpinggirnya nalai-nalai luhur manusia, bahkan dalam kondisi tertentu justeru manusia-lah yang diberbudak oleh hasil ciptaannya sendiri.
Ditengah berbagai persoalan inilah kecenderungan untuk menghindar atau justeru larut (include) dalam gelimang persoalan menjadi pilihan tersendiri dalam tindak laku manusia. Sebagian lari (mengasingkan diri) dari realitas tersebut lantaran menganggap bahwa dengan cara itu mereka akan tetap istiqamah dalam menjaga aturan dan sunnahtullah. Sedang sebagian yang lain pilihan untuk include didalamnya adalah sebuah tanggung jawab yang memang harus dipikul oleh manusia untuk mengembalikan berbagai penyimpangan tersebut dalam aras yang sebenarnya.
Secara garis besar, kedua pilihan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua corak kesadaran. Disatu sisi bercorak mistik, yang mendasarkan kesadarannya pada adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Sedangkan disisi lain pengalaman itu bercorak profetik, yakni pengalaman keagamaan yang didasarkan pada kesadaran akan amanah kekhalifahan sebagaimana dalam tradisi risalah kenabian, bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab sosialnya masing-masing.
Jika yang pertama lebih berorientasi pada kepuasan individu, dengan corak keilmuan konseptional, rasionalis, dan abstrak, dari manusia menuju dan berhenti di Tuhan ('ittihad) maka yang kedua lebih berorientasi sosial kemanusiaan, dengan corak keilmuan realistik, empiris dan historis, bermula dari Tuhan ke manusia dan berakhir kembali ke Tuhan (fenomena ini dapat dilihat dalam peristiwa isra' mi'raj, dimana setelah muhammad mencapai sidratul muntaha, dia tidak 'ittihad disana, tapi kembali ke manusia untuk menyampaikan risalah shalat).
Agama bergerak dari individu ke masyarakat Maka seharusnya semakin tinggi pengalaman keagamaan manusia, semakin dia sadar akan peran dan fungsinya, semakin dia dekat dengan masyarakatnya.
Muhammad Iqbal (1877 – 1938) seorang penyair sekaligus filusuf kelahiran Sialkot (Punjab) India, memberikan konsepsi pemahaman yang sangat mendalam terhadap pemikiran keagamaan. Menurutnya manusia adalah mitra Tuhan, karenanya sebagai mitra Tuhan manusia harus senantiasa mengabdikan dirinya kepada perjuangan demi perkembangan individu-individu yang tegar dan pasrah dalam kapasitas mereka sebagai khalifah. Sementara kontemplasi tanpa aksi sebagaimana yang dijalani sebagian besar kelompok mistik adalah kematian.
Untuk sampai pada mitra Tuhan tersebut, manusia harus senantiasa berusaha keras penguasai pribadinya. Yakni dengan tahapan belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum illahi. Setelah itu tahap yang lebih lanjut dengan belajar disiplin terutama dalam mengendalikan diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia. Tahap selanjutnya adalah proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Sang pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya. Sebab Tuhan tidak dapat diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat menusia telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya sebanyak munghkin sifat-sifat-Nya. Dengan menyerap Tuhan kedalam dirinya, tumbuhlan ego. Ego menjadi super ego, maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan. Dengan demikian dia dianggap telah memenuhi syarat menjalankan tugas kekhalifahan, memancarkan sifat-sifat illahiah dalam mikrokosmos
HMI dan Gerakan Intelektual Profetik
Dengan kesadaran teologis sebagaimana diatas, gerakan intelektual sebagimana dilansir Ali Syari’ati harus mempu merubah dan menggerakkan perubahan sosial kearah yang humanis, egaliter dan berkeadilan, ditengah persoalan keumatan yang kian bias dan tak memberikan harapan bagi kebebasan memperoleh hak-hak kemanusiaannya.
Ditengah persoalan keumatan yang tidak memberikan ruang politik, sosial, hukum, dan ekonomi yang adil, peran kelompok intelektual kian mendesak dibutuhkan. Sebab munculnya penguasa-penguasa Negara yang korup, otoriter—dengan pengambilan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat—, tidak memiliki integritas kepemimpinan, harus dilawan dengan pola pembangunan opini serta membuka ruang seluas mungkin bagi proses-proses menuju kesadaran masyarakat sehingga akan secara bertahap menumbuhkan kekuatan rakyat yang nantinya mampu membangun posisi kekuatan control atas sekian kebijakan-kebijakan yang di ambil penguasa Negara. Intelektual yang dimaksud tentu tidak dalam konteks perselingkuhan dengan kekuasaan sebagaimana yang marak akhir-akhir ini, yang hanya menjadi alat pembenaran secara rasional dan konseptual bagi kepentingan penguasa dalam setiap pengambilan keputusan, namun intelektual yang mempunyai power of sosial control, penggerak perubahan dan selalu memiliki visi konstruktif dalam setiap memandang laju budaya yang sarat dengan anomali-anomali kemanusiaan. Ada alasan yang mendasar mengapa kelompok intekektual—kelompok masyarakat menengah—ini menjadi penting dalam proses perubahan sosial. Pertama, bahwa idelisme yang dimiliki kelompok menengah ini meniscayakan setiap perubahan tidak akan lepas dari aras dasar kebutuhannya. Kedua, adanya semangat perubahan yang dilandasi kesadaran visi kemanusiaan. Dan ketiga bahwa intelektual memiliki posisi sangat strategis bagi proses-proses kondolidasi, baik di massa menengah sendiri, rakyat bawah maupun akses yang cukup di tingkat atas.
Bagaimanapun persoalan-persoalan ketimpangan sosial yang kian kritis, lantaran akses untuk memperoleh hak kemanusiaan masyarakat yang makin terbatas di bangsa ini, selain disebabkan oleh keserakahan penguasa, terlebih lagi adalah disebabkan tidak adanya konsolidasi rakyat yang kuat yang mampu membendung setiap kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Himpunan Mahasiswa Islam, sebagai organisasi maupun gerakan yag memiliki visi keumatan tentu mempunyai tanggung jawab besar bagaimana mengupayakan secara maksimal kesadaran intelektual ini. Insan ulil albab, sebagai pribadi impian HMI adalah manusia unggul yang sanggup mencerap nilai-nilai ketauhidan secara universal sehingga memunculkan kesadaran bergerak untuk melakukan perubahan sosial yang berpihak pada kaum lemah dan terpinggirkan. Disisi inilah kiranya perubahan sosial tidak dimaksud sebatas perubahan kearah keadilan material semata---sebagaimana yang selama ini diusung olek penganut marxis—tapi lebih jauh adalah perubahan sosial yang didasari kesadaran akan fitrah penciptaan, kebertuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan untuk apa manusia sejatinya diciptakan.
Pada ranah ini maka peran intelektual profetik harus memiliki strategi perubahan bagaimana memungkinkan setiap gerak perubahan dilandasi secara sadar dari aspek-aspek kemanusian sekaligus transendensi yang kuat dan terarah. Bahwa hanya pada Allah-lah ketertundukan manusia bermuara. Tentu jika hal ini terinternalisasi secara mengakar dalam setiap gerak, laku dan pemikiran maka semangat untuk membongkar dan memusnahkan keangkuhan, keserakahan, dan penindasan—serta perilaku lain yang bertentangan dengan hakekat penciptaan manusia—akan terus bergolak.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment