Blogger Tricks

MATANYA

Tuesday, March 6, 2007

Menelusuri Jejak Langkah Gerakan Islam Indonesia


9:44 PM |

Oleh : Maksun

Pendahuluan
Di jagad raya ini, tidak pernah ada ide yang benar-benar murni baru dalam segala aspeknya. Sebuah ide selalu merupakan hasil interaksi dengan berbagai macam ide lain, rekayasa sosio-kultural dan peristiwa-peristiwa sejarah yang mengiringinya. Tidak ada ide yang lahir dari sebuah vacuum. Hal yang sama, jika kita ingin mengurai gerakan Islam di Indonesia. Ia selalu bermatarantai dengan ide-ide sebelumya, baik ide yang berkembang di belahan dunia muslim maupun ide yang muncul secara lokalistik.

Untuk menelaah munculnya gerakan Islam, baik di dunia Islam maupun di Indonesia, kita mesti melihat faktor eksternal dan internal umat Islam.Sebab, dengan menelusuri kedua faktor tersebut, kita akan lebih memahami sebab yang mendasari mengapa umat Islam melakukan gerakan atau perjuangan. Secara eksternal, perkembangan awal munculnya gerakan Islam dimulai sejak abad ke 18 sampai abad ke 20. Pada masa-masa tersebut umat Islam berupaya melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme Eropa dan keinginan untuk membentuk nation state. (John L Esposito, 1999, hlm. 59). Bahkan dalam pandangan Esposito, kolonialisme-imperialisme eropa serta perlawanan untuk merebut kemerdekaan merupakan dua tema utama kalangan Islam sampai abad 20. Secara internal, adanya hambatan dari umat Islam yang mengalami stagnasi pemikiran dan keterbelakangan wawasan, bahkan alergi terhadap apa yang dihasilkan dari modernitas (Charles Khuzman, 2001,hlm xvii). Kondisi ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya bisa jadi karena lamanya penjajahan sehingga menghancurkan infra struktur yang telah ada didunia Islam dan adanya seruan penutupan ijtihad.

Kolonialisme Eropa atas dunia Islam selama beberapa abad tersebut, tentu saja meninggalkan jejak langkah –khususnya dalam ide dan budaya baru yang dibawa kaum kolonialis- .proses interaksi Islam dan kolonialis inilah yang dikemudian hari menimbulkan ketegangan budaya. Dalam proses selanjutnya mempengaruhi ekspresi umat Islam dalam menyikapi kebudayaan yang dibawa oleh barat.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia ketika Belanda menjejakkan kakinya di Indonesia. Proses transformasi sosial-budaya yang dilakukan Belanda berkembang sedemikian pesat, khususnya masalah pendidikan. Dalam hal ini menimbulkan ketegangan bagi kalangan umat Islam. Ada yang tetap mempertahankan system lama atau tradisional. Dan ada yang menginginkan pembaharuan system pendidikan. Yang menarik dari ketegangan tersebut adalah adanya landasan teologis bagi yang menolak pembaharuan system pendidikan. Yaitu siapa yang menyerupai kaum, maka ia bagian darinya. Sedang bagi yang menginginkan pembaharuan lebih menggunakan alas an rasional. Bahwa semua itu merupakan konsekuensi logis dari modernisasi, dimana umat Islam harus mampu menghadapi zaman yang terus berubah. Pandangan demikian yang kemudian hari menghasilkan dua gerakan yang secara sosiologis di sebut sebagai gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam modernis. Tentunya untuk dua kategori ini dikemudian mengalami perkembangan, bahkan berbalik. Yang dulu modernis sekarang menjadi tradisionalis, dan sebaliknya.

Kondisi eksternal dan internal umat Islam di atas menimbulkan kegundahan bagi para pendekar Islam untuk segera keluar dari kemelut yang mendera kondisi umat Islam. Respon penyelesaiaan umat Islam atas kondisi di atas pun memunculkan beragam tipologi gerakan. Baik dalam ranah politik, sosial, budaya maupun lainnya.

Respon Umat Islam
Fazlur Rahman intelektual muslim Pakistan sebagaimana yang ditulis Greg Barton (1999,hlm 9) menjelaskan, bahwa respon muslim atas kondisi umat Islam baik secara internal maupun eksternal dibagi dalam empat fase penting. Pertama, gerakan revivalis di akhir abad 18 yang secara epistemologis menekankan Islam di atas semuanya. Gerakan ini dipelopori oleh wahabiyah di Saudi

Kedua, gerakan modernis yang hadir pada abad 19 sampai awal abad 20, yang secara epistemologis berusaha menjelaskan bahwa Islam akan jaya apabila ditafsirkan dengan benar sesuai dengan peradaban modern. Gerakan ini dipelopori oleh Jamaludin Al-Afghani, Sir Sayyid Ahmad Khan, M. Iqbal, M. Abduh.

Ketiga, gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada abad 20 yang pada tingkatan epistemologis berusaha melakukan purifikasi keagamaan. Gerakan ini memiliki misi untuk membersihkan Islam baik dari pengaruh Barat yang dianggap mengotori orisinalitas Islam, dan membersihlan Islam dari pengaruh bid’ah dan khurofat. Gerakan ini dipelopori oleh Al-Maududi dengan Jama’at Islam di Pakistan dan Hasan Al-bana lewat Ihwanul Muslimin dio Mesir. Dan yang terakhir adalah gerakan Neo modernisme Islam yang di indonesia banyak dielaborasi oleh Nurcholis Majid dkk lewat paramadina.

Keempat respon di atas dapat kita jadikan acuan untuk melihat tipologi gerakan Islam yang berkembang di Indonesia baik yang telah establis maupun yang baru -misal, Muhamadiyah dan HTI-.Pengecualian bagi gerakan Neo-modernisme Islam yang memang memiliki kekhasan tersendiri, karena memang tidak menyebut sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana NU-Muhamadiyah, tetapi titik tekannya pada gerakan pemikiran Islam. Sekalipun demikian NU-Muhamadiyah juga bisa disebut gerakan pemikiran Islam, tetapi hanya sebagai sub dari gerakan NU-Muhamadiyah yang lebih dominan. Gerakan pemikiran Islam dalam NU-Muhamadiyah biasanya berada dalam lembaga tersendiri yang di dalamnya adalah anak-anak yang memiliki background NU-Muhamadiyah. Misal, LKiS yang diisi oleh orang-orang muda NU, sekalipun tidak menyebut NU, begitu juga dengan Muhamadiyah, ada PSP atau JIMM.

Yang menarik dari munculnya gerakan Islam yang menyebut Neo-Modernisme sebagian besar berasal dari organisasi HMI, di mana HMI hadir bukan mewakili tradisi besar yang telah ada di dunia. Atau dengan bahasa lain seperti yang sering dikatakan Ashad Kusuma Jaya , bahwa HMI adalah tradisi kecil yang “akan” mengglobal. Sementara organisasi seperti Muhamdiyah, HTI, Ahmadiyah berasal dari tradisi besar lalu “melokal”.

Secara sosiologis munculnya Neo-modernisme juga sebagai upaya menjawab tantangan zaman yang sedang terjadi di belahan dunia termasuk Indonesia. Termasuk kritik atas gerakan modernisme Islam –Masyumi-yang ditampilkan geberasi tua (Nasir dkk) yang masih menampilkan watak ideologis dalam perjuangan keindonesiaan.

Menemukan Asal Usul
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi asal usul gerakan Islam Indonesia. Apakah ada relasi atau interaksi gerakan Islam di Indonesia, khususnya para pendekarnya (pendirinya) dengan gerakan Islam yang dilakukan oleh para pendekar di belahan dunia muslim lainnya. Ini juga untuk membuktikan bahwa sebuah ide atau gagasan di belahan dunia manapaun tidak berada dalam vacuum.

Untuk menyingkat tulisan ini saya akan membahas dua gerakan Islam Indonesia. Dua gerakan itu adalah HTI dan Muhamadiyah. Tentunya tulisan ini perlu diperbaiki, karena apa yang tertulis sekedar apa yang saya dengar dari orang-orang HTI, atau Muhamadiyah baik melalui dialog maupun melalui tulisan-tulisannya.

Pertama HTI. Gerakan ini fokusnya adalah mengembalikan kejayaan Islam yang telah hilang dengan mengampanyekan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah. Secara teologis gerakan ini menganggap bahwa Islam adalah segalanya. Islam adalah -ya’lu wala yu’la alaihi- Islam adalah tinggi dan tidak ada yang meninggihinya. Untuk itu Islam harus menjadi ideologi atau pandangan dunia umat Islam. Dengan keyakinan tersebut, menurut mereka segala persoalan yang terjadi di belahan dunia termasuk di Indonesia adalah karena belum dijadikan Islam sebagai pandangan dunia dengan Khilafah Islamiyah sebagai formulasi politiknya.

Dalam konteks Negara, HTI tidak mengakui adanya konsep nation state, Konsep Negara bangsa dalam pandangan HTI merupakan produk dari barat modern. Bentuk ini dianggap tidak Islami, karena membatasi teritorial negara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang menimbulkan konflik perbatasan sebagaimana yang terjadi di Indonesia dengan Malaysia, yaitu kasus Ambalat. Dalam pandangan HTI, dunia muslim termasuk indonesia banyak yang membebek dengan sistem yang di buat oleh barat, yaitu demokrasi. Baginya demokrasi bukanlah sistem Islam, karena otoritas mutlak dipegang oleh rakyat,. sedang dalam Islam otoritas mutlak hanya pada Allah swt. Menurut HTI sebagaimana yang di tulis di buletin Al Islam, bahwa semua persoalan Negara seklarang ini adalah karena tidak menganut sistem Islam, yaitu Khilafah Islamiyah. Dalam sistem ini tidak ada batas teritotial negara. Semuanya adalah satu di bawah satu kepemimpinan umat.

Gambaran yang diperjuangkan oleh HTI di atas, jika kita runtut kebelakang dari sikap muslim di dunia Islam lain, sebenarnya bukanlah gagasan yang baru, sekalipun dalam bentuk yang berbeda. Gagasan tersebut sama dengan gagasan Neo-revivalis yang dipelopori Al-Maududi di Pakistan dan Hasan Albana di Mesir lewat Ihwanul muslimin.

Ada kesamaan gagasan antara ide gerakan Neo-revivalis dengan HTI khususnya dalam memandang Islam. Termasuk bagaimana HTI berusaha membersihkan segala sesuatu yang bukan dari unsur Islam. Bagi mereka Islam adalah segalanya. Dengan Islam segala persolan kebangsaan dan keumatan akan selesai. Keyakinan ini didasari pada kerangka teologis bahwa Islam adalah dari Allah pemilik semesta, sudah barang tentu Islam melampaui segala isme-isme lain yang di buat manusia. Bedanya HTI dan Ihwanul Muslimin atau Jama’at Islami adalah dalam formulasi ketatanegaraan. HTI dengan Khilafah Islamiyah yang sifatnya lintas teritorial, dengan satu imam, sementara IM dan JI tetap dalam kerangka nation state hanya Islam menjadi dasar negara.

Kedua adalah Muhamadiyah. Muhamadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad dahlan pada tahun 1912 ini merupakan respon atas kondisi umat Islam yang berada dalam kebodohan dan kemiskinan. Inti dari gerakan muhammdiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) dengan jargon kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana awal pendiriannya, yaitu respon atas kemiskinan dan kebodohan, maka fokus gerakan muhammadiyah lebih banyak membuat amal usaha. Misalnya, panti asuhan, pendidikan, kesehatan. Sementara dalam bidang pemikiran yang menyebut sebagai gerakan tajdid sampai saat ini tidak memunculkan gagasan segar dalam pemikiran keIslaman, selain hanya mengulang apa yang telah ada. Misalnya dalam hal Metodologi, khususnya dalam kajian keislaman selama ini Muhamadiyah tidak memunculkan metodologi yang khas, selain hanya repoduksi apa yang telah digagas oleh pemikir sebelumnya, seperti mengelaborasi epistemologinya Al-Jabiri

Sebagai gerakan modern, muhamadiyah ingin membawa Islam agar berjalan selaras dengan pemikiran rasional dan mampu menerima dampak-dampak positif dari peradaban modern. Untuk mewujudkan gerakan tersebut, muhamadiyah menolak segala tradisi yang dianggap bertentangan dan menghambat kemajuan Islam. untuk itu Muhamadiyah menolak segala yang berbau takhayul, bid’ah dan khurofat (TBC).

Dalam konteks politik, secara organisatoris Muhamadiyah tidak melibatkan diri dalam politik praktis, walaupun dalam sejarahnya Muhamadiyah pernah berfusi kedalam masyumi dan akhirnya keluar. Sekalipun demikian bagi individu atau kadernya yang memiliki libido kepolitik praktis, Muhamadiyah tidak melarang, yang penting tidak menyalai nilai dasar yang ada di Muhamadiyah. Ini dibuktikan dengan pribadi kreatif mantan ketua Muhamadiyah –Amin rais- yang mendirikan PAN.

Sebagai gerakan modernis Islam, Muhamadiyah tetap konsisten untuk mempertahankan gagasan nation state sebagai gagasan yang final. Gagasan ini sebagai ciri khas ide substansial di dalam pembicaraan modernisme Islam di Indonesia. Bahkan lewat para punggawa Muhamadiyah melalui mantan ketua umumnya, Syafi’i Ma’arif bahwa dalam Islam tidak ada Negara Islam, ia juga mengembangkan gagasan inklusifitas, pluralisme dan demokratisasi.

Gagasan yang dikemukakan Syafi’I ini memang bukan pendapat mainstream Muhamadiyah. Hal ini terbukti dengan penolakan terhadap orang-orang yang selama ini mengusung gagasan liberalisme Islam. seperti Syafi’i Ma’arif, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Dawam Raharjo, yang dalam pandangan tokoh tua Muhamadiyah telah menyalahi Manhaj Muhamadiyah, khususnya dalam bidang Aqidah atau teologi. Tetapi bagi anak-anak muda Muhamadiyah, gagasan mereka menjadi trend yang diyakini sebagai upaya pembaharuan yang selama ini mengalami stagnasi. Di samping itu, pandangan mereka sebagai upaya untuk meminimalisir image bahwa Islam adalah keras, menakutkan sebagaimana yang diperlihatkan sebagian orang Muhamadiyah.

Sampai di sini penggambaran tentang Muhamadiyah. Tentu kita sudah bisa merunut asal usul dari gerakan ini dengan gerakan Islam yang sudah ada sebelumnya. Harus diakui, pribadi kreatifnya yaitu Ahmad Dahlan adalah orang yang pernah bermukim di Makkah, sehingga gagasan purifikasinya jelas banyak bersentuhan dengan gerakan Wahabiyah di Saudi. Ini nampak dalam gerakannnya untuk menghancurkan yang namanya takhayul, bid’ah dan churofat (TBC). Dalam hal ini Muhamadiyah ada kemiripan dengan gerakan revivalis yang diusung Abdullah bin Wahab dan gerakan neo revivalis yang diusung Maududi dan Hasan Albana. Hanya bedanya dengan kedua gerakan tersebut, Muhamadiyah tidak phobi dengan barat atau peradaban modern.

Di samping itu, ada kemiripan sikap dalam merespon kehidupan modern antara Muhamadiyah dengan peletak gerakan modern Islam seperti Muhamad Abduh dan kawan-kawannya. Dalam hal pendidikan misalnya, Muhamadiyah melihat ini sebagai hal yang urgen untuk menghadapi peradaban barat modern. Dengan pendidikan modern tersebut Muhamadiyah berharap agat umat Islam dan Islam tidak ketinggalan dengan peradaban modern. Ini dibuktikan oleh Ahmad Dahlan dengan membuat sekolah Mu’alimin-Mu’alimat sebagai sekolah Muhamadiyah pertama di yogyakarta. Hal yang sama juga dilakukan M. Abduh pertama kali dalam gerakannya adalah menitikberatkan pada masalah pendidikan, selain juga budaya, pembaharuan intelektual dan penerbitan majalah almanar.

Kesamaan itu tentunya bukan karena kebetulan. Tetapi ada keterkaitan ide secara terus-menerus dengan para modernis Islam tersebut, khususnya pribadi kreatifnya Ahmad Dahlan. Interaksi yang dilakukan Ahmad Dahlan dengan para modernis Islam, khususnya dengan M. Abduh lewat majalah Al-Manar menginspirasi untuk membuat gerakan modernis Islam Indonesia dengan nama Muhamadiyah. Wallahu ‘alam bisshowab

Pengurus Kornas KP HMI Periode 2005-2007


You Might Also Like :


0 comments: