DITENGAH ARUS UTAMA NEO-LIBERALISME.
Oleh : Khilmi Zuhroni ZA
Setiap yang berpretensi menjadikan materi sebagai orientasi dan pusat segala tujuan adalah pengingkaran atas hakekat penciptaan manusia. Sebab manusia diciptakan sebagai perwujudan nilai-nilai tauhidi, malalui ruh Tuhan yang ditiupkan padanya (QS. Al-Hajj: 5), dalam realitas konkret sebagai sebentuk gambaran akan kebesaran Tuhan, serta kehendak-Nya menjadikan manusia sebagai khalifah, pengemban amanah dan penyampai ajarannya untuk menjaga alam dan semestanya secara harmoni. Sementara materi hanyalah seonggok media pendukung bagi proses menuju penyingkapan rahasia-rahasia-Nya yang tersebar secara sistemasis dalam sunnah, dan tata aturan hukum alamnya.
Ruh Allah inilah satu-satunya pembeda serta puncak ketinggian penciptaan yang membedakan antara manusia dengan makhluk selainnya, baik malaikat, semesta bendawi maupun jin, setan dan selainnya. Dalam melakukan interpretasi rasional, Fazlur Rahman, menyebut setan sebagai semua tindakan dan nafsu manusia yang berpretensi kearah hilangnya kesadaran kemanusiaan, sehingga Tuhan sebagai Dzat pencipta, tidak mampu ditangkap atau bahkan justeru dinafikan sebab tidak mampu memenuhi nasfu serta hasrat pemenuhan materi tersebut. Manusia memang secara fisik terbentuk dari persemaian berbagai unsur tanah yang dibentuk sedemikian rupa dengan kebesaran kuasa-Nya hingga mewujud dalam bentuk fisik sebagaimana adanya. Namun, wujud fisik yang materi ini sangat berbeda dengan sebentuk materi-materi lainya, sebagai meja, batu, hewan, juga oksigen. Dia memiliki seperangkat akal, yang memungkinkan adanya kehendak kebebasan memilih diantara realitas yang dia lihat dan temui dalam olah pengalaman, beriman atau kafir, baik atau buruk, juga menjadi maklaikat atau iblis. Dengan akal itulah ruh kebebasan mutlak yang hanya dipunyai oleh Tuhan, dapat termanifes dalam realitas hidup manusia, meski tetap dalam ruang kebebasan sebagai makhluk yang diciptakan. Ketiga, selain ruh dan akal, manusia memiliki seperangkat emosi/jiwa yang mampu menggerakkan manusia selalu berproses menuju harmonisasi alam, semesta, dan relitas virtual dimana kesejarahan manusia akan dibangun. Dengan emosi, mereka menjadi bahagia, sedih, perasa, kejam, keji, murtad, pengasih, pemberi, pendusta dan selainnya. Anasir tanah dan ruh yang ada dalam manusia, haruslah dimaknai sebagai kehendak penciptaan bahwa sekalipun secara materi dia menginjakan kakinya di bumi, berproses dalam alam dan lingkungannya, menjalankan peran-peran kehalifahannya, namun secara substansial ruhnya selalu berada dan dekat dengan nilai-nilai transendensi ketuhanan dengan menjalankan tugasnya sebagai abdullah. Manusia adalah makhluk spritual sekaligus materi, ruh sekaligus bendawi, yang dengannya pesan-pesan Tuhan yang terkandung dalam sifat dan asma-Nya paling mungkin dicerap untuk ditrasnformasikan dalam relitas kesejarahan umat manusia.
Secara global, pertarungan abadi peradaban sebetulnya hanya terjadi antara Tuhan sebagai wujud nilai-nilai kebaikan dan setan sebagai simbol nilai kejahatan, spiritual dan material, serta akal dan wahyu. Dalam dunia filsataf itu dapat berarti pertarungan antara idealitas dan relitas, nuomena dan fenomena, substansial dan partikular, serta teks dan relitas. Kiranya proses tesis-sintesis ini, sebagai sebuah dialektika besar pembangun keadaban, harus dilihat sebagai sunnatullah dimana proses menuju kesempurnaan akan tercapai. Sekalipun dalam realitas perjalannya kadang kebaikan yang lebih unggul, materialisme lebih berkuasa, setan lebih kuat, dan ruh lebih berperan dari marteri jasadi.
Namun menjadi persoalan jika dorongan materialisme ini ternyata secara sistematis dan terstruktur walaupun terlihat acak, acapkali mendorong bagi bangkitnya kerajaan “Taghut” materialisme, dalam bentuk dan wujudnya yang beraneka ragam yang berakibat kian hilangnya kesadaran kemanusiaan, diskriminasi, ketidakseimbangan alam, dekadensi, alienasi, dan berbagai penyakit semesta yang ditimbulkan oleh keserakahan akumulasi materi. Pada aspek inilah sebetulnya bagunan paradigmatik sebagai kerangka “perlawanan” terhadap akumulasi materi menjadi niscaya untuk mengembalikan manusia menuju hakekat awal penciptaannya.
Mengurai Struktur dasar Paham Neo-Liberalisme
Sebagaimana dalam uraian diatas sebetulnya neo-liberalisme tidak harus ditempatkan sebagai gejala baru, aneh, dan spesial sehingga menjadikan pudarnya nilai-nilai ketuhanan, munculnya sikap-sikap pesimistik, kehilangan kendali, dan menguatnya rasa putus asa dalam menghadapi gejala yang dianggap baru tersebut. Sebegitu anehnya sehingga seolah tidak mampu lagi diurai struktur dasar gejala baru apa yang sebetulnya ada dan mengusung paham tersebut. Sebagai sebuah isme, neo-liberalisme tetap memiliki kerangka dasar munculnya bangunan tersebut, sekalipun pada fakta-fakta perjalanannya, neoliberalisme memiliki varian cara dan bentuk yang luar biasa beragam. Neo-liberalisme adalah akumulasi materialisme yang lebih tersistematis, dengan variasi, model dan gaya yang baru, yang memiliki kemampuan selalu memperbaharui diri, namun substansi dasarnya tetaplah sama yakni pengingkaran terhadap spiritual sebagai jalan menuju tujuan dasar mencapai keridloan Allah yang seharusnya dijadikan landasan gerak bagi setiap aktifitas manusia. Neoliberalisme adalah keadaan dimana semua aspek hidup hanya dilandaskan pada dominasi materi, yang terakumulasi pada kekuatan modal, sehingga tidak ada lagi batas antara kewilayahan states, nation, cultur, maupun idiologi, sebab yang diakui dan memiliki kekuatan hanyalah sebesar apa kekayaan modal yang miliki, maka sebesar itu pula dia mampu mengontrol kelangsungan hidup manusia secara global.
Jika prinsip sosial Islam didasarkan pada ajaran semakin besar manusia bermanfaat dan berguna (shadaqah) bagi manusia yang lain, semakin besar pula Velue Added keridloan Tuhan akan didapatkan (QS: Al-Baqarah; 261-163), maka prinsip neo-liberalisme justeru sebaliknya bahwa semakin pelit dan kikir manusia semakin cepat mencapai kekayaan, guna mencapai sebanyak mungkin penumpukan modal, semakin kuat pula ia menekan dan mengontrol kekuatan lain. Prinsip sosial dan ekonomi ini tentu saja didasarkan pada cara pandang individu sebagai faktor utama dengan materi sebagai pusat segalanya. Demikian halnya, dalam perpektif ini, tentu saja kebaikan hanya didasarkan pada nilai subyektifitas sejauhmana setiap perbuatan yang dilakukan memiliki nalai tambah serta keuntungan bagi akumulasi materi yang dia kumpulkan.
Disinilah kiranya neo-liberalisme sebagai sebuah sistem baru ekonomi, yang mendewakan persaingan pasar sebagai faktor utama penentu keberhasilan sebuah bangsa, dengan memangkas peran negara dalam setiap kebijakan ekonomi yang berjalan, serta melepaskan semua sumber-sumber produksi penting pada sistem liberalisasi, dan privatisasi, memiliki implikasi yang sangat besar pada persaingan arogansi individu atau kelompok individu terhadap sebagian kelompok yang lain yang akan berujung pada, hegemoni budaya, dominasi sumber produksi, dehumanisasi serta marginalisasi kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Modal menjadi sangat berperan pada strategi penguasaan ekonomi politik atas negara-negara yang memiliki keterbatasan modal bagi mengembangan dan pengelolahan sumber daya alam. Disinilah lantas dikenal apa yang kemudian disebut sebagai utang luar negeri. Utang luar negeri adalah seperangkat paket pinjaman berbunga yang yang diberikan oleh negara-negara kreditor yang tergabung dalam institusi besar IMF maupun Word Bank, kepada negara-negara yang tidak mampu melaksanakan serta menjalankan kebijakan lantaran kurangnya modal yang dimiliki. Utang yang dimaksud sekali lagi bukan sebagaimana utang antara perseorangan, individu dengan individu, akan tetapi utang yang didalamnya ada paket-paket yang harus disepakati sebagai jaminan utang.
Paket kebijakan IMF (international Monetary Found) yang dipaksakan pada negara penghutang adalah : 1) Penetapan anggaran ketat dengan melakukan pencabutan subsidi; 2) liberalisasi perdagangan, melalui penghapusan bea import; 3) privatisasi sektor BUMN; dan 4) sistem keuangan bebas mengambang. Sementara negara-negara miskin yang terjerat dalam utang luar negeri karena tidak mampu melaksanaan kebijakan negaranya, disisi lain mereka harus pula menaggung beban keterpurukan sosial yang sangat tinggi dengan pelaksanaan berbagai kebijakan yang berpihak pada negara-negara kreditor dan koorporasi-koorporasi besar yang bernaung di bawah payung lembaga bantuan internasional baik IMF maupun Word Bank tersebut (Mansour Faqih :2001). Selain neo-liberalisme yang lebih memihak pada TNCs (Trans National Coorporations) untuk kepentingan akumulasi kapital berskala global, paket-paket kebijakan IMF atas negara-negara penghutang yang berimplikasi dengan dibangunnya proyek-proyek raksasa, sebagai konsekuensi utang sebab liberalisasi perdagangan dan pencabutan subsidi mulai berjalan, efek yang sangat parah juga dapat dilihat dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, pencemaran alam, pemanasan global (Global warming), ketahanan pangan yang kian menipis, serta lebih sadis lagi, hancurnya tata budaya sosial kehidupan masyarakat, dengan adanya ketergantungan atas utang dan hegemoni budaya yang berbarengan masuk dengan perusahaan-perusahaan asing tersebut. Negara-negara miskin seolah hanya dijadikan tempat produksi barang-barang trasnasional, tanpa peduli pada aspek kerusakan lingkungan apa yang bakal ditimbulkan, yang selanjutnya hasil-hasil produksi itu diangkut dalam produk jadi ke negara dimanakebutuhan akan barang itu diinginkan. Dengan bahan mentah yang melimpah, tenaga kerja yang murah, serta efek kerusakan yang tidak dirasakan, begitulah strategi perusahaan-perusahaan raksasa itu didirikan di hampir semua negara.
Ditengah kondisi krisis identitas tersebut, nilai-nilai tauhid menjadi tidak penting untuk diperbincangkan. Kearifan budaya menjadi bias tergusur bercampur aduk dengan budaya pop, gaul, kebiasaan-kebiasaan instan, efisiensi, dan kehidupan pragmatis yang lain. Manusia tidak lagi percaya dengan kekuatan dirinya sebab segala fasilitas telah disediakan oleh tren teknologi yang berkembang, sejak dari lahir, bangun tidur, sampai tua dan bahkan meninggal sekalipun. Kemanusiaan kian hilang, tenggelam dalam gelimangan dominasi teknologi, homogenitas budaya one dimentional man, teralinasi dalam ruang hidupnya sendiri.
Kembali ke Akar; upaya Pengukuhan Khittah Perjuangan
Mengutip bahasa Musthofa Bisri, ketika manusia sudah semakin jauh dari hakekatnya, maka kembalilah ke akar untuk menggali kembali sumber dasar sebagai pencarian jati diri, hakekat penciptaan. Mudik dari hiruk pikuk gemerlapan dunia menuju nilai-nilai dasar tauhid, mencapai keselamatan dan kedamaian Islam.
Kembalilah…lihatlah dirimu,
Bercerminlah, ada noda tebal yang harus kau bersihkan
Agar jiwa dan ragamu sampai pada pengharapan abadi;
Tiba di haribaan Tuhan.
Khittah perjuangan, sebagai landasan gerak HMI dalam melakuan aktifitas/usaha organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan yakni, terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab sehingga turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridlai oleh Allah SWT, memiliki satu sistem penjelas yang sangat integral dan sistemasis. Sebagai tafsir integral atas asas Islam, Khittah Perjuangan menghendaki nilai-nilai Islam yang dinamis dan universal. Keberislaman manusia haruslah didasarkan pada pemahaman akan keyakinan “Tauhid” yang dinamis yang didasarkan atas pemahaman-pemahaman akan dasar adanya Allah sebagai pencipta alam semesta, yang didalamnya ada tata nilai dimana jika tetap diyakini sebagai kebenaran, maka kesejatian diri manusia dan kebesaran penciptaan-Nya akan membawa kepada harmonisasi kehidupan serta keselamatan yang hakiki. Disinilah kemudian konstruksi sosial yang berorientasi pada meteri secara praksis akan tergusur oleh landasan tauhid dan konsepsi idiologi keislaman yang kuat.
Dalam ranah praksis strategis jika konsepsi ini dikuatkan, maka upaya gerakan transformasi menuju tatanan dunia yang adil, sejahtera dan damai sangat mungkin terwujud. Dalam Khittah Perjuangan, individu yang termanifestasi dalam insan ulil albab digambarkan sebagai sosok ideal HMI, yang padanya tanggung jawab kekhalifahan harus dijalankan. Setiap individu memiliki potensi yang sama untuk melakukan kerusakan dimuka bumi, tinggal bagaimana dari unsur-unsur itu yang dominan. Apakah nafsu yang membawa pada kerusakan, ataukah kesadaran kebertuhanan yang lebih dominan, maka hanya dengan menumbuhkan kesadaran individu kepada konsepsi tauhid-lah upaya pembebasan dari belenggu materialisme dapat diwujudnya. Hanya saja bagaimana usaha menuju ke tingkat kesadaran individu inilah yang harus lebih banyak di lakukan pengkayaan strategi gerakan yang sistematis dan tertata, sehingga kebesaran konsep akan tatanan masyarakat yang diridloi oleh Allah tidak sebatas menjadi imajinasi semata.
Melihat kondisi budaya massa yang semakin mengarah pada arus dominasi pragmatisme, liberalisme individu dan homogenitas budaya, yakni budaya yang disetting pada pusaran pasar bebas neoliberalisme, tantangan gerakan tidak hanya pada politik ekonomi secara eksternal semata, namun tantangan lebih besar adalah secara internal pada perubahan kecenderungan dan karakter individu dari cara pandang sosial kritis pada rezim otoriterisme Soeharto menuju pragmatis individualistik di era keterbukaan sistem politik. Pada ranah ini, setting kondisi gerakan tidak lagi dapat diarahkan pada perlawanan secara vis a vis dengan dominasi kekuasaan tertentu, tapi harus lebih kepada sejauhmana gerakan mampu melakukan revitalisasi nilai-nilai dasar dengan lebih difokuskan pada penguatan dan kesadaran di tingkat individu kader.
Potensi besar HMI yang masih memungkinkan dilakukan revitalisasi di wilayah gerakan adalah pilihan gerakan intelektual. Gerakan intelektual tidak dimaksudkan sebatas eksplorasi wacana semata, namun harus pula diimbangi dengan pendekatan sosial kritis dengan lebih banyak bertumpu pada relitas permasalahan sosial keumatan. Disinilah kemudian gagasan sosial Islam, dan teori-teori sosial kritis harus lebih banyak porsinya diberikan dalam setiap materi-materi pelatihan, baik dalam pelatihan umum yang. Kedua, pada ranah pembangunan basis kesadaran yang kuat, pola-pola pendampingan kader harus lebih banyak dilakukan dengan metode yang tidak hanya bertumpu pada diskursus semata, tapi juga dengan melakukan analisa sosial sebagai upaya optimalisasi gerakan berbasis data. Ketiga, ditengah kebutuhan gerakan akan jaringan dan pola relasi sosial guna mendorong kearah percepatan perubahan, HMI harus mampu mengakomodasi kekuatan-kekuatan lain baik yang se-Khittah maupun yang memiliki aras visi perubahan yang sama, disamping tetap memaksimalkan peran-peran alumni.
Dengan demikian kiranya neoliberalisme yang lebih menitik beratkan pada perubahan konsepsi individu yang diarahkan pada semangat konsumerisme berdasarkan atas tren budaya global, harus dilawan dengan penguatan kesadaran diranah individu yang sama. Kesadaran yang dimaksud adalah proses menuju pemahaman hakekat peran dan fungsi penciptaan manusia, yakni sebagai pribadi yang tunduk “abdullah” dan pribadi yang kreatif “khalifatullah”.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment