Blogger Tricks

MATANYA

Thursday, March 1, 2007

Ingat Dua Sebelum Datang “Dua”


1:14 PM |

Syafinuddin Al Mandari

Sebuah tulisan yang dibuat sebagai catatan khusus Buat PB HMI Hasil Kongres HMI ke-25 di Palu 2005, oleh seorang mantan Ketua Umum PB HMI periode 2001-2003. sekarang beliau adalah Peserta Program Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, tinggal di Bekasi. Tulisan yang dibuat pada 16 Agustus 2005 berisi tentang sentilan hangat terhadap perkaderan HMI

Catatan: Kalau saya menyebut HMI di sini, maka yang saya maksud adalah HMI-MPO. Organisasi apakah HMI itu? Terserah jawaban apa yang diinginkan. HMI dapat disebut sebagai salah satu komponennya harakah Islamiyah (gerakan keislaman) karena ia didirikan dari napas cita-cita keislaman. Ia juga adalah organisasi modern karena sudah mengenal struktur dan manajemen sebagai landasan kerja operasionalnya. Tapi bisa juga disebut sebagai “paguyuban” jika melihat nuansa kekeluargaan yang mengisi kesadaran kader-kadernya. Untuk kategori pengabdian sosial, jelas ia adalah organisasi nirlaba. Ia bukan organisasi politik tapi suatu institusi sosial, meski –sadar atau tidak– memiliki kekuatan politik. Ia adalah organisasi kepemudaan karena menghimpun kaum muda.

Saya tertarik mengambil 2 kategori di atas; organisasi gerakan Islam dan organisasi sosial. Sebagai gerakan Islam tumpuan paling besar bagi terjaminnya masa depan HMI adalah hidupnya perkaderan yang immune terhadap tantangan zaman. Immune? Ya, immune, artinya kebal atau punya daya tahan terhadap gangguan apapun.

Dalam 20 tahun terakhir, HMI memperlihatkan performa kader yang sedikit agak rentan dengan perubahan eksternal. Ambil contoh: militansi untuk membudayakan nilai-nilai Islam. Pada tahun 1991 ketika saya mengikuti Maperca (Masa Perkenalan Calon Anggota) hingga LK II (Intermediate Training) tahun 1993, pembudayaan nilai-nilai Islam (yang dianggap berbeda dengan tampilan budayanya kaum kebanyakan di masyarakat), masih sangat dibanggakan. Hijab antara ikhwan dan akhwat masih dijunjung tinggi sebagai budaya yang ingin diperkenalkan ke masyarakat ramai. Kalau mau pilih Ketua Umum, di jenjang mana pun, tak ada yang memberlakukan demokrasi murni: voting, one man one vote.

Mulai tahun 2001, Kongres HMI bikin perubahan. Ia memberlakukan sistem pemungutan suara. Akibatnya, sudah jelas kentara siapa yang akan terpilih. Siapa dapat dukungan paling banyak, otomatis jadi ketua. Dulu tidak, karena ini rawan tawar-menawar politik. Dulu, ada namanya musyawarah terbatas beberapa orang meraih suara 5 besar, atas 3 besar. Merekalah yang bermusyawarah untuk menunjuk siapa di antaranya yang akan jadi ketua. Saya khawatir, ini akan menjadi ancang-ancang bagi HMI untuk mencoba-coba money politics kecil-kecilan. Sekarang belum, tapi siapa tahu nanti?

Mengapa fenomena tadi terjadi? Saya menduga karena derasnya wacana dekonstruksi dan liberalisasi pemikiran di luar. Ini terasa sekitar tahun 1992–1993. Gayung bersambut dengan sifat kader-kader yang amat reseptif terhadap wacana apapun. Wacana dekonstruksi pun merambah ke perkaderan HMI. Laksana anak-anak yang mendapat mainan baru, HMI dengan asyiknya “menanggalkan” satu demi satu doktrin perkaderannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan mainan baru bernama liberalisasi wacana itu. Syukurlah HMI terlalu berani, tapi dalam kondisi tak immune, wacana dekonstruksi pun lewat. Kader-kader HMI ketinggalan sambil mengurusi proses perombakan serius yang tak kunjung selesai di organisasi ini.

Dalam perkara inilah saya berpendapat bahwa PB HMI mendatang perlu lebih menempatkan perkaderan sebagai agenda prioritas. HMI tak perlu alergi dengan usaha-usaha untuk kembali menyamakan doktrin yang dulu pernah sama. Satu doktrin, satu gerakan. Saya rada kurang setuju untuk menganekaragamkan doktrin akibat perbedaan wilayah dan budaya. Menurut saya, yang boleh beda adalah teknis training itu pun tak harus latah untuk beragam, jika ternyata penyeragaman lebih produktif. Jika tidak, bukan tidak mungkin HMI akan linglung dan “keder” menghadapi belantara masa depannya.

Hal kedua, dari judul di atas, adalah kemandirian dan sifat enterpreunership. Sebagai organisasi sosial, HMI harus sadar bahwa program-programnya adalah kerjaan yang tak produktif secara finansial. Sumber dananya? Jangan tanya! Tentu tidak lahir dari kerjaan utamanya. Oleh sebab itu, perlu pemikiran untuk meletakkan landasan bagi terbentuknya lembaga sayap yang bisa menghidupi gerakan ini. Di sini, HMI juga tak boleh alergi dengan kontak antar lembaga yang tak sevisi sekali pun, demi bertarung di dunia produktif. Manakala HMI gagal mengantisipasi hal ini, maka gerakannya akan tetap ibarat siput yang menantang balapan lari melawan kuda Manado.


Simpulan
Jadi, mau apa? Usul saya, pertama, lembaga perkaderan memiliki poros hingga ke tingkat nasional. Kalau di cabang-cabang ada KPC (Korps Pengader cabang), maka di tingkat nasional ada KPN (Korps Pengader Nasional). Kedua, pelembagaan kegiatan enterpreneurship atau kewirausahaan. Bentuk sistemnya! Bentuklah lembaganya, rumuskanlah perkaderannya (baca : pelatihannya), bangunlah jaringan kerjanya, jajakilah peluang-peluang ekonomisnya. Jangan lupa, lahirkanlah petarungnya. Petarung yang sudah berjiwa HMI, pemilik loyalitas kelembagaan nan tak kunjung luntur.

Dua hal ini sebetulnya saling melengkapi. Kader yang immune yang tak produktif tak akan punya ruang gerak yang luas. Lihatlah fenomena kader yang tak bisa berangkat kongres. Nah lo, nah looo. Tapi kader produktif pun tak bisa memberi kontribusi apa-apa jika sebelumnya tak immune dari pengaruh materialistik, kesilauan akan bermewah-mewah. Individualistis. Duitnya miliknya sendiri, tak perlu disumbangkan sebagian untuk kepentingan bersama.

Akan lebih baik jika; perkaderan HMI sanggup melahirkan kader-kader Islam yang immune dari pengaruh ideologi lain; individualisme, konsumerisme, fatalisme, dan sebagainya, yang dapat memotivasi gerakan produktif. Dengan cara ini HMI dapat berkata : Sunduquna, Juyubuna (Kas kami ada di kantong kami sendiri).

Ingat dua, sebelum datang dua. Ingat perkaderan sebelum datang per-”keder”-an. Ingat kemandirian sebelum datang kesendirian.

Dan hanya Dialah Yang Maha Tahu.


You Might Also Like :


0 comments: