Blogger Tricks

MATANYA

Tuesday, February 20, 2007

GRAND STRO-TEDI


9:12 PM |

DIN PROSPEK PERKEDERAN (PUSING) HMI
Oleh Muhammad Fathi (Pete), S.Pd.

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan senantiasa melakukan upaya yang terus-menurus mendinamisir gerakannya ditengah umat --dalam pentas sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Terpecahnya HMI menjadi HMI-MPO dan HMI-DIPO merupakan keniscayaan historis yang oleh sebagian umat dan kader HMI sebagai sesuatu yang prinsip dan sebagaiannya lagi menyebutnya sebagai kecelekaan sejarah dan indikator tindakan kuat perpecahan umat. Kelompok umat yang kedua –yang melihat HMI berpecah sebagai perpecahan umat—sepertinya menjadi arus yang kuat, dimana alasan pertama seolah-olah apa yang dilakukan oleh kader-kader HMI-MPO dan terlebih pengurus kali ini tidak dianggap oleh mereka itu sebagai tindakan yang layak dihargai. Perpecahan tersebut --misalnya Adi Sasono dan beberapa tokoh yang lainnya menyebutnya sempalan— menjadi hal yang masih kuat, ditambah lagi dengan -–keadaan kini pada Kongres Jambi— HMI-DIPO telah kembali ke azas Islam.

Sebenarnya, kader HMI tidak mesti harus ikut larut dalam cara pandang permukaan dan tendensius dan mengasikan itu. Walaupun harus diperhadapkan pada kenyataan bahwa alumni DIPO ada juga yang baik --tampil-- serta alumni MPO ada pula yng terlibat dalam pola dan karakter yang tidak terpuji. Sehingga jika seseorang yang katakanlah itu mengawal MPO berdiri tidak tampil sebagaimana layaknya yang dinginkan pada perkaderan dan perjuangan HMI-MPO maka seluruh eksistensi HMI-MPO dinisbahkan kesana. Kader HMI-MPO yang tidak begitu dapat berperan dan menjadi publik opini –layaknya PDI-P—menyebabkan disatu sisi dimata publik terkesan hanyalah gerakan yang tidak begitu berarti dan tidak berperan besar dalam perubahan bangsa ini.

Ada berbagai faktor yang dapat dijadikan alat koreksi bagi kader HMI-MPO khususnya kalangan pengurus. Pertama, Klaim publik mestikah selalu dijadikan standar kebenaran. Kedua, Benarkah HMI-MPO kehilangan common enemy dan kecolongan sejarah pasca DIPO menerima azas. Ketiga, Apakah napak tilas alumni sudah seharusnya menjadi indikator akan eksistensi HMI-MPO kini. Keempat, Kelemahan apa yang sesungguhnya dialami oleh kader HMI_MPO dan khususnya pengurus yang dapat disebut menurunkan greget perjuangan dan eksistensi institusi. Kelima, Apakah kita –kader HMI MPO— perlu tetap mengangendakan rekonsiliasi, reunifikasi atau tidak sama sekali atau membiarkan sejarah yang bicara sendiri. Dan Keenam, benarkah HMI-MPO dapat disebut sebagi indikator perpecahan umat atau sebaliknya pejuang keadilan dan kebenaran.
* * *
SEMENTARA, Keadaan bangsa ini masih terus dalam suasana tidak stabil. Sehingga perlu difikirkan adanya upaya penyelesaian yang signifikan bagi negara dan bangsa ini. Bergesernya kecenderungan elit politik dari upaya real menuntaskan agenda reformasi kearah yang hanya sibuk dengan konflik kepentingan dan positioning, menyebabkan bangsa ini hanya mampu terbawa dari masalah ke masalah tanpa ada penyelesaian. Utang luar negeri yang semakin menumpuk diperparah dengan kebijaksanaan otonomi daerah yang hanya mengalihkan tanggung jawab dan peluang penyimpangan ke daerah. Ini dibuktikan dengan tidak begitu seriusnya mengantisipasi kesiapan lokal pemantauan secara efektif dan bersih pelaksanaan maupun SDM-nya.

Berbagai agenda yang berkenaan dengan reformasi belum menunjukkan signifikansinya. KKN masih tetapi terjadi dalam berbagai bidang dari elit lapisan masyarakat bawah, posisi militer dalam peran sosial politik belum dituntaskan, lemahnya penegakan supermasi hukum, kultur feodalistik yang masih mengakar di daerah dan rakyat bawah yang sangat berpeluang untuk terjadinya pengeksploitasian terhadap hak milik rakyat dan mobilitas kepentingan. Tidak terakomodirnya kultur demokratis dan penguatan masyarakat madani yang seharusnnya dapat memberi andil signifikan bagi bangsa ini. Karakter anak bangsa yang berfikir positif bagi penegakan hak-hak rakyat dan mampun mengakomodir kepentingan umat sacara adil dan benar tidak menjadi agenda besar bagi berbagai elemen penting bagi bangsa. Sehingga untuk terus melakukan koreksi bahkan mencari jalan keluar, harus terus menerus diusahakan.

Demikian halnya interpensi pihak luar dalam bentuk pemapanan ketergantungan terhadap negara-negara donor masih terus berlansung. Banyak pengamat yang menuduh seolah-olah bahwa apa yang terjadi di negeri banyak dipengaruhi pula oleh arus globalisasi dimana hegemoni negara-negara maju dan super power semakin kuat. Sehingga dapat dipastikan bahwa negara-negara dunia berkembang akan terus dicenkeram oleh suasana yang demikian itu. Hal ini akan ditambah lagi dengan pasar bebas dan kuatnya arus informasi dimana publik dengan mudah dapat dipengaruhi cara pandangnya dan dikonstruksi dalam sentimen kepentingan pasar –alias masyarakat konsumeristik.
* * *
HMI-MPO sebagai bagian elemen masyarakat harus tetap dan senantiasa menjadi elemen yang kritis dan bahkan kalau perlu dapat menawarkan solusi bagi publik dan bangsa. Sebagai elemen kritis HMI memegang posisinya sebagai moral force. Dan sebagai elemen pembaharu dan transformator maka HMI-MPO harus dapat menawar solusi dan terlibat dalam perubahan.

Sangat disayangkan, bahkan hal yang tidak bisa dibiarkan terjadi, manakalah semua unsur telah terakomodir dalam kekuasaan dan kepentingan –alias posisi. Sehingga sangat sulit untuk mengambil jarak yang fair dengan kekuasaan yang ada. Karena kepentingan itulah sehingga ia yang menjadi jargon bahkan ideologi yang menyemangati gerakan. Yang muncul adalah hanya pemikiran bagaimana menang dalam strategi apa saja –menghalalkan segala macam cara. Memang dogma suci dalam politik kekuasaan adalah menghalalkan segala macam cara dan mengharamkan tindakan yang jujur dan fair. Kalau ada elemen yang melakukan demikian maka hal itu dapat disebut sebagai elemen yang kalah sebelum bertanding. Itulah ‘sabda sosial’ dalam pentas real politik di negeri ini.

Apa masalah yang paling mendasar di negeri ini? Bagaimana menyelesaikannya? Dari mana harus memulai? Siapa lawan yang dapat menjadi common enemy sesungguhnya? Langkah apa yang paling tepat dan efektif dalam melakukan prubahan kearah masyarakat yang adil dan beradab? Setumpuk pertanyaan yang dapat dimunculkan termasuk apa dan bagaimana seharusnya HMI-MPO bertindak.
* * *
Ironis sekali, ditengah bertumpuknya masalah yang dihadapi dinegeri ini. Kaum yang menyebut dirinya reformis serta elemen mahasiswa yang kelihatannya lelah dan bosan bersuara diperparah lagi dengan sulitnya memilah, “mana yang menyuarakan suara murni nurani rakyat dan mana lagi yang menyarakan suara kepentingan yang membayarnya, semakin gamang dan menyulitkan untuk memilah dan memilih tindakan yang benar dan tepat dilaksanakan.

Dilain pihak, HMI-MPO ‘sibuk’ dengan klaim para senior dan pandangan elemen dan tokoh masyarakat yang terkadang merendahkan semangat bahkan mungkin energi pengurus yang mengawal himpunan. Sehingga terkadang kesan perpecahan dan jargon pemersatu dan kekuatan umat seolah-olah menegasikan keinginan luhur kader-kader HMI-MPO.

Padahal sebetulnya bila ditelaah lebih jauh, bahwa sikap yang dilakukan oleh HMI-DIPO dalam hal penerimaan azas dan sebagian besar partai-partai yang ada hanya lebih apada aspek strategis-politis dan bukan ideologis. Oleh karenanya sebagai derivasi dari itu, maka sudah barang tentu tidak menunjukkan pembentukan karakter dan sikap yang senantiasa secara obyektif melihat masalah diluar perspektif kebenaran, tetapi lebih pada kepentingan dan kekuasaan. Walaupun kebenaran sendiri terkadang membungkus kepentingan atau sebaliknya. Hal ini terbukti tidak adanya perubahan dalam aturan main kelembagaan yang dapat dipandang sebagai sikap yang serius kearah sana. Kalaupun hal itu ada, maka membutuhkan waktu untuk membentuk karakter dan kultur --termasuk yang dimaksud adalah situasi Kader HMI-DIPO.
* * *
Apa Yang Dapat Diperbuat HMI ?
HMI tidak pernah berpangku tangan membiarkan perubahan terjadi begitu saja. Justru setiap perubahan yang terjadi, HMI mesti telah terlibat andil dalam persiapan dan perekayasaannya. Memang harus diakui bahwa tidak ada perubahan yang terjadi pada negeri ini selain didalamnya merupakan ada unsur kerja sama antar elemen yang menghendakinya.

Oleh karenanya perlu pemetaan yang jelas terhadap masalah yang dihadapi. Pemetaan yang jelas itu baik dari konstitusi, pelaksanaan kebijaksanaan eksekutif, serta penentuan starting point yang menopang perubahan. Perubahan yang dimaksud tidak saja bermakna struktur dalam pengertian elit yang terlibat dalam kekuasaan, baik legislatif, yudikatif maupun legislatif, tetapi nilai –ideologi-- dan kultur juga membentuk mentalitas rakyat dan bangsa Indonesia. Terlepas dari perdebatan dan ketepatan pilihan istilah yang diambil, maka HMI-MPO mengemasnya dalam term REVOLUSI SISTEMIK.

Sebuah organisasi ditambah lagi kapasitasanya sebagai masyarakat ilmiah (baca : mahasiswa) dan kesungguhnya dalam mengawal perubahan --kearah lebih baik-- maka HMI-MPO memandang perlu bahwa setiap perubahan sekecil apapun juga sangat urgen untuk dipersiapkan. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan, perlunya persiapan tersebut :

Pertama, Kalau sekarang ini dikenal ada reformis gadungan maka nantiya kalaupun ada kaum revolusionis maka itupun ada pula kaum revolusionis gadungan. Akibatnya sulit untuk memilah mana yang sesungguhnya menghendaki perubahan yang sebenarnya mana yang sekedar menyelematkan muka atau cari untungnya --apportunis. Kedua, Perubahan yang tidak dipersiapkan akan mengakibatkan ekses yang lebih besar yang biasanya yang menjadi korban dari semua itu adalah orang kecil yang tidak tahu sama sekali persoalan. Kendati pun itu dipersiapkan, and toh masih terkadang ditemukan juga ekses yang sulit terpantau dengan baik. Ketiga, perubahan yang baik sekalipun itu yang sifatnya pribadi maupun kolektif atau meliputi sebuah negara atau bangsa tanpa dipersiapkan cenderung tertolak bahkan sulit diterima. Oleh karenanya instrumen media sebagai sarana sosialisasi menjadi persyaratan yang cukup urgen yang dapat mengawal perubahan tersebut.

Melihat keadaan yang ada sekarang ini, menunjukkan bahwa hampir semua elemen umat dan termasuk diantaranya ‘mahasiswa’ terserap ke dalam kekuatan kekuasaan. Disatu sisi perubahan yang terjadi pada elemen tertentu yang hanya mengandalkan simbol-simbol tertentu pula baik atas nama rakyat, negara, perubahan atau bahkan agama tidak menunjukkan sesuatu yang signifikan sesuai dengan amanah reformasi –clean and good governance.

Tradisi pada era orde baru yang telah terlanjur menjadi karakter hanya berupaya dengan berganti kulit. Hal itu sama sekali tidak dapat disebut sebagai reformis yang sebenarnya yang diharapkan membawa prubahan yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Term revolusi, secara sederhana mengindikasikan perubahan radikal, total dan cepat. Bahkan ada yang menyebutnya berbahaya karena hal itu selalu dinisbatkan kepada suasana seperti perang saudara, kudeta berdarah yang kesannya adalah bauh amis darah dan menelan banyak nyawa korban manusia.

Namun HMI-MPO mengemas pilihan term revolusi sistemik sebagai pilihan term perubahan secara radikal, menyuluruh, dan cepat termasuk nilai, karakter dan budaya. sebagaimana banyak dipahami bahwa pelaku koruktor, manipulatif mengakar sampai kepada lapisan bawah. Lapisan elit yang dapat dijadikan sampel untuk masalah penuntasan KKN sebagaimana yang diamanahkan oleh TAP MPR No IX 1998 menunjukkan indikator sulit dan tidak terwujud. Selain mekanisme pengadilan yang cenderung hanya memainkan issue lewat pers, juga adanya regulasi yang cenderung memberi perlindungan dan jastifikasi pelakunya.—ini disebutkan sebagai judicial crime. Penegak hukum pun sulit ditemukan karena terlibat dalam jerat mapia peradilan yang telah demikian mengkarakter diberbagai lapasan masyarakat yang tergolong pelaksana hukum. Orde baru telah menjadi karakter tersendiri yang indikatornya adalah koruptor, manifulator, kolutif , menindas, militeristik serta cenderung pada tindak kekerasan. Karakter orde baru inilah yang walaupun berubah penampilan bagaimana tetap tak akan bersembunyi dan lari tradisi berbuat jahat. Oleh karenanya, kalau kemudian kita menghendaki adanya pemotongan atau bahkan pencabutan generasi (cut generation or taken off generation). Generasi dimaksud yang hendak dipotong bahkan dapat dicabut adalah generasi kalangan yang berkarakter orde baru.

Bagi daerah tertentu yang telah menetap penegakan syariat Islam --sebagai lokal identitasnya atau secara ideologis dan formal-- tidak diharapkan menjadi jargon dalam menina bobokkan masyarakat relegiusnya untuk kemudian mengesploitiasinya. Masyarakat setempat bisa terhipnoptis tanpa begitu mereka rasakan. Karena kalau memang menghendaki berlandaskan penegakan syariat Islam maka sekitar 96 % yang duduk dalam struktural telah terjebak dalam karakter orde baru. Yang artinya layak untuk diganti bahkan mungkin mendapatkan sanksi yang berat sekali. Sudah barang tentu apabila hal itu ditetapkan maka segala bentuk penyelewengan tanpa memandang bulu akan mendapat sanksi yang setimpal --alias terselesaikan. Namun kasus Pakistan dapat juga dijadikan pelajaran atas ketidak siapan elemen eksekutif.

Menanggapi hal demikian, maka HMI-MPO telah mendidik kadernya dalam melihat masalah untuk tidak terjebak pada suara mayoratas serta dapat memilih informasi yang benar dari yang diterimanya. Karenanya kader HMI-MPO demikian percaya dengan anugerah Allah berupa kapasitas intelektual, spiritual dan sosial yang dapat dijadikan instrumen dalam mengembang tugas tugas penghambaan dan Kekhalifahan-Nya.
* * *
Kendala Perkaderan dan Upaya Penyelesaiannya.
Secara real fenomena perkaderan HMI-MPO mengalami bias. Bias yang dimaksud lemahnya mengukur peningkatan kualitas dan kuantitas kader—berupa data base dan perkembangan perkadran mulai dari PB sampai komisariat. Sehingga tidak jarang ada ucapan yang sedikit iri, misalnya mengapa HMI-MPO tidak dapat mensolidkan kader seperti halnya KAMMI --kan berarti KAMMI sebagai ukuran atau model tetapi terkhusus dalam hal kesolidannya.

Apa yang diharapkan pada pedoman perkaderan dan gagasan yang terdapat dalam khittah perjuangan HMI-MPO serta aturan kelembagaan lainnya masih jauh dari harapan. Kalau kemudian dipertanyakan bahwa apa yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.

Sebenarnya membandingkan antara HMI-MPO dengan KAMMI relatif sulit, meskipun keduanya itu adalah institusi Islam. Kalau tolak ukurnya adalah pada soliditas yang relatif dapat dilihat pada pilihan partainya dan mudahnya memobilisisi massa serta mudahnya mengambil alih kepemimpinan dikampus dengan basis massa yang jelas, maka hal itu boleh disebut unggul. Tetapi apabila tolah ukurnya adalah upaya mentolerir perbedaan, keunggulan dari segi ide, argumentasi dan mobilitas gerakan, sense politik obyektivitasnya serta keorganisasian dan kepemimpinan maka HMI-MPO masih layak dijadikan tolak ukur. Mengapa KAMMI solid? Pertama, karena keseragaman wacana. Kedua, Karena sistem penerimaan informasi dan kebenaran yang menggunakan sistem tarbiyah—alias cenderung monolog. Ketiga, Ketaatan kepada pemimpin yang kental. Kempat, Mengedepankan simbolitas bersama berupa penyeragaman cara pakaian dan sebagainya sebagai simbol dan identitas persamaan. Kelima, Salibis dan Zionis berikut yang terkait dengan itu menjadi common enemy-nya.

Lemahnya soliditas dari kader HMI-MPO berimplikasi pada kesulitan menampilkannya sebagai pemenang dan pelaku sejarah, dimana tradisi era kini yang banyak diangkat pers sangat dipengaruhi oleh tolak ukur kuantitas. Publik opini yang dikembangkan oleh pers seolah-olah telah menjadi bagian yang penting dalam menciptakan sejarah.

Sulitnya mengukur secara valid keadaan kader dan perkaderan, berbarengan pula dengan HMI-MPO (baca : pengurus) yang belum mampu menyediakan fasilitas atau instrumen bagi upaya pengaktualisasian potensi kader. Sehinggga anggota HMI hanya berupaya untuk mengoptimalkan waktunya disaat-saat luangnya saja untuk terlibat dan aktif di HMI. Walaupun ada menikmatinnya lebih jauh beraktivitas lewat HMI –khususnya yang memiliki jiwa organisatoris tinggi atau merasakan dalam interaksinya ada kesesuaian jiwa dengan HMI-MPO. Tetapi bila dirata-ratakan hanya seberapa persen mampu untuk bertahan dan mengambil peran. Hal ini dapat diukur dari besarnya yang direkrut dengan jumlah yang terlibat di HMI pasca LK I dan pelatihan lainnya. Apakah kita --pengurus-- hanya berapologi dengan alasan bahwa semuanya tergantung kesadaran. Termasuk diantaranya rekruitmen yang demikian lemah dan serba sedikit, dengan alasan, “biar jumlahnya sedikit yang penting berkualitas.” Hal itu sudah menjadi istilah usang yang harus digantung bersama dengan berlalunya masa silam.
* * *
Perbagai problem internal dan eksternal yang menjadi tantangan HMI-MPO untuk eksis dan lebih survive juga mengemban kewajiban untuk turut serta dalam perubahan. Pada saat yang bersamaan, berbagai agenda yang berhubungan dengan kepentingan publik --rakyat bawah— dan juga ekstensi dan aktualitatas kader harus mampu dapat terakomodir oleh HMI-MPO. Oleh karenanya sebagai pengurus lembaga diberbagai jenjang kepengurusan –walaupun dirasakan terjerat oleh kurung waktu kepengurusan yang relatif singkat dan sarana prasarana terbatas— tetap harus mampu merumuskan dan mengambil tindakan real dalam merespon berbagai hal tersebut. Sehingga keterlibatan di HMI-MPO dapat menjadi komunitas yang solid yang dapat mengayomi satu sama lain terlibat baik selama menjadi anggota maupun setelah alumni –alias terbentuk peguyuban yang tidak kehilangan sisi orisinalitasnya sebagai organisasi yang terkonsentrasi pada masyarakat ilmiah dan bersentuhan langsung dengan agenda kemasyarakatan dan kebangsaan. Walaupun sebagian kalangan pengurus HMI-MPO melihat bahwa tantangan ril perkaderan sesungguhnya adalah pada pasca kepengurusan atau setelah menjadi alumni. Cara pandang seperti ini –walaupun dalam perspektif konsistensi kader dan kesinambungan perkaderan, dapat dibenarkan— namun jangan sampai ada kesan lain bahwa melakukan peran di lapangan atau di masyarakat nanti setelah menjadi alumni. Kesan seperti ini mendikotomikan antara belajar akademik --campusian— dengan belajar kehidupan. Walaupun disadari bahwa tantangan dan pertarungan kepentingan pasca kepengurusan atau alumni demikian luar biasa bila dibanding masa dimana usia dan jiwa idealis benar-benar menjadi senjata utama (baca : dunia mahasiswa).


Gambaran Pola Pendekatan HMI-MPO kepada Publik (Rakyat)

HMI-MPO dalam pola perkaderannya dikenal dengan pendidikan, aktivitas dan jaringan. Meskipun antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan dalam membentuk karakter ulul albab dalam formulasinya aspek jaringan dan aktivitas dapat dikembangkan dalam membina dan mengakomodir potensi kader yang sekaligus tujuannya lebih jauh adalah upaya mensinergikan antara elemen mahasiswa sebagai agen pemabaharu disatu sisi masyakat sebagai elemen yang didinamisir kearah kehidupan yang lebih baik –masyakakat cita HMI.

Bentuk aktualitas kader dan peran perubahan di masyarakat harus dipersiapkan.—social engineering-- secara seksama. Akan tetapi semua itu harus tercermin dari visi dan misi yang diemban HMI-MPO yang berbeda dalam tiap zaman atau kurung waktu tertentu. Oleh karenanya setinggi apapun akselarasi dalam bidang perkaderan –dalam arti yang seluas-luasnya—harus terderevasikan dari misi dan visi yang sudah barang tentu terekam dalam pilihan tema tiap preode kepengurusan. Dalam pleno kali ini --yang semoga kongres dan kepengurusan berikutnya dapat menindak lanjuti dengan efektif tanpa kepengurusan kita harus menunggu waktu lebih lama untuk memulai—mengambil tema, “Peran profetis kader dalam mempersipkan revolusi sistemik menuju masyarakat berkeadilan dan berkeadaban.” Lebih jauh tema ini tidak menjebak kita --pengurus— kedalam diskursus semata—tetapi telah mampu diterjemahkan dalam rumusan program dan tindakan real ditingkat cabang bahakan komisariat.

Hanya yang perlu difikirkan pula bahwa hal ini jangan sampai meninggalkan tradisi intelektual dan spiritual kader, sehingga tidak ada alasan lagi –nada-nada sumbang— yang mencoba mendistorsi semangat anggota dan kader HMI-MPO dalam melakukan peran sebagai hambah Allah dan Kalifah-Nya. Kesadaran ini lebih dapat teraktualisasikan dalam ideom, seberapa besar kontribusi kader pada himpunan ini untuk mengembang visi dan misi HMI dalam berbagai kreasi, inovasi dan prestasinya sebesar itu pula investasi peningkatan citra diri dan kualitas kekaderannya. Semoga kita dapat berbuat secara maksimal demi amanah mulia ini.

Dipresentasikan pada acara Temu Pengader Nasional (TPN)
Di Wonosobo, pada tanggal 26 Januari 2001.
Kabid Kader PB HMI 1999-2001


You Might Also Like :


0 comments: