Blogger Tricks

MATANYA

Monday, February 26, 2007

Upaya Meletakkan Dasar-dasar “Perkaderan Baru” HMI


12:57 PM |

Thres Sanctyeka

Sebuah tulisan yang dibuat oleh Kabid kader PB HMI 2001-2003. dalam tulisan ini termuat sebuah gagasan untuk menggeser perkaderan HMI yang ditenggarai berbau deduktif menjadi lebih induktif

HMI telah melewati berbagai kurun peristiwa yang melibatkan unsur umat Islam lokal maupun global, perjalanan negara Indonesia, dan unsur dunia global. Dalam setiap kurun tertentu, HMI selalu memiliki cara pandang dan perilaku yang khas tertentu pula. Dialektika berbagai cara pandang hingga sikap dan perilaku tersebut semakin dinamik setelah HMI memasang perkaderan di jantung organisasi. Mulailah kita memiliki berbagai isi, metodologi, dan cara-cara pembinaan kader yang disesuaikan dengan konteks tantangan perjuangan keislaman, keindonesiaan dan dunia global.

Sejak kelahiran hingga akhir 80’an, pada dasarnya secara nasional sikap politik HMI terhadap rezim pemerintahan adalah kooperatif. Sampai akhirnya kita memiliki pengalaman baru berupa sikap oposisi terhadap rezim Soeharto. Hal itu disimbolkan dengan penolakan HMI terhadap penerapan 5 (lima) paket UU politik khususnya UU no.8 tahun 1985 yaitu tentang asas tunggal Pancasila. Sayangnya sikap oposisi itu tidak utuh, maka mekarlah HMI menjadi dua. HMI Dipo menerima UU tersebut dan tetap melanjutkan tradisi kooperasi, sementara HMI (mpo) memilih pengalaman baru (oposisi). Sejak itu, dimulailah kompetisi antar keduanya dalam berbagai hal dan amat berharap akan keberpihakan kebenaran sejarah.

Jika diteliti lebih cermat benih sikap HMI (mpo) tersebut mulai tertanam seiring dan dikatalisasi oleh masuknya berbagai perkembangan pemikiran keislaman (perlawanan terhadap sekularisme), kiri (perlawanan terhadap kapitalisme dunia) serta perjuangan umat Islam lokal (peminggiran umat Islam oleh Soeharto) maupun global (kemenangan revolusi Iran terhadap kapitalisme global, pencanangan abad ke-15 sebagai kebangkitan umat Islam, gerakan ikhwanul muslimin, dll). Hingga kini, sikap inipun sepertinya masih berakar kuat di benak kita.

Dengan cara oposisinya yang unik (gerakan intelektual hingga merembet ke gerakan politik penjatuhan Soeharto), secara moral setidaknya HMI (mpo) memiliki hak sejarah untuk melanjutkan perjalanan umat Islam dan negara Indonesia ke depan. Satu hal yang menarik dari perjalanan panjang tersebut adalah sikap kepeloporan yang ditanamkan oleh para pendahulu kami (Prof Lafran, Cak Nur, dll). Kepeloporan itu meliputi kemampuan kita dalam menemukenali semangat zaman dan memulainya dengan cara pandang, pemikiran, dan berbagai tindakan yang prospektif dan antisipatif. Setahap lebih maju dari zamannya. Pertanyaannya, mampukah kita meneruskan tradisi ini?

Perkaderan deduktif?
Point penting dari uraian sosot balik di atas untuk kepentingan tulisan ini adalah upaya mengidentifikasi sifat dan bentuk perkaderan HMI (mpo) dalam kurun pengalaman oposisinya. Beberapa faktor penting yang perlu diketengahkan untuk kepentingan identifikasi tersebut meliputi pola gerakan mahasiswa pasca NKK/BKK, represi rezim Soeharto terhadap rakyat secara umum dan umat Islam secara khusus, dan dinamika gerakan Islam dan kapitalisme dunia.

Pasca NKK/BKK, gerakan mahasiswa menjadi sangat sulit mengisi ruang demokrasi. Proses transformasi terhadap struktur dan kultur dari suprastruktur dan infrastruktur masyarakat dan negara Indonesia seakan berhenti. Ruang berpendapat amat sempit dan mayarakat dilanda ketakutan umum dikarenakan rezim yang makin otoriter. Di atas tanah tidak ada lagi kehidupan, dan yang tersisa adalah di bawah tanah. Pola gerakan mahasiswa yang paling aman berupa letupan sporadis dalam bentuk kesatuan-kesatuan “aksi” serta kelompok-kelompok diskusi “wacana” (kanan fundamentalis hingga kiri radikal) di kampus maupun di kost secara kontinyu. Dalam kondisi seperti ini gerakan mahasiswa di Indonesia yang secara historis memiliki peran menjadi tumpul dan lembaga swadaya masyarakat timbul. Di mulailah era di mana LSM dapat bergerak lebih leluasa walaupun juga terbatas.

Suasana umum seperti itu mendeterminasi bentuk pilihan gerakan kemahasiswaan dan keislaman HMI. Dikarenakan terbatasnya ruang kreasi experimentasi publik (induksi) akhirnya HMI jatuh pada gerakan seperti di atas yang bersifat deduktif. Kewajiban mengakomodasi gerakan Islam (konsekuensi penolakan HMI terhadap ATP) sempat membawa masyarakat HMI menjadi puritan dan purifikatif. Antisipasinya berupa intelektualisasi alam pikiran kader agar mampu menyerap hal-hal yang bersifat pluralis. Ephoria abad kebangkitan Islam dan kemenangan revolusi Islam Iran terhadap kapitalis USA memberi kepercayaan diri baru bahwa sumber-sumber otentik keislaman mampu melawan hegemoni dunia. Akhirnya perkaderan terbawa kepada upaya pengkajian berbagai pemikiran keislaman yang memberi semangat perlawanan.

Kelompok diskusi dan kesatuan-kesatuan aksi yang terbentuk di HMI tidak terlepas dari tema-tema di atas. Modus pertama lebih mendominasi perkaderan HMI. Dalam konteks ini, kita cukup beruntung ketika aktifitas pengkajian sumber-sumber otentik keislaman dalam rangka melawan hegemoni global dan lokal tersebut secara bertahap dibawa kepada dimensi esoterik, kelimuan (epistemologi), peradaban, budaya, dan berujung pada gerakan politik penjatuhan rezim. Kita bisa konfirmasi hal tersebut pada muatan, metodologi dan metode pada basic training, intermediate training, advance training, dan senior course. Tergambar bebas bahwa pengalaman perkaderan dan perjuangan HMI terhadap rentetan masalah dan rentetan peristiwa selama kurun oposisi tersebut berproses secara deduktif. Gerakan intelektual menjadi simbolnya.

Sesuai dengan fitrahnya, deduksi dan watak oposisi selalu mengedepankan unsur kritis-analitis. Judgement lebih sering terjadi. Modus tersebut memang cocok dengan konteks tantangan di mana orde baru amat represif dan kapitalisme dunia yang angkuh. Pertanyaan selanjutnya adalah setelah lingkungan eksternal sedikit bergeser; di mana hegemoni lokal tergusur sehingga balon ephoria meletus diikuti dengan kesusahan yang akan panjang oleh seluruh bangsa Indonesia; apakah modus tersebut cukup mampu menolong kakek, ayah, anak, cucu, dan tetangga kita semua?

‘Amal sholeh HMI sedang dibutuhkan. Oleh karenanya diperlukan experimentasi berbagai variasi, derivasi, atau bahkan transplantasi ke perkaderan HMI. Tentunya harus dibarengi dengan proses kritik dan analisa yang bebas dan mendalam terhadap muatan Khittah Perjuangan, Pedoman Perkaderan, Pedoman Dasar Organisasi untuk dapat menemukan elan vital, metodologi dan bentuk-bentuk perkaderan dan perjuangan masa kini dan masa depan serta design organisasi yang compact and compatible untuk melaksanakannya. Buntut outputnya adalah wajah baru, afeksi baru, perilaku baru, positioning baru, dan bukan make up baru!!!


You Might Also Like :


0 comments: