Adib' Achmadi
Sebuah tulisan dari Ketua Badko Jateng, Diambil dari edisi Pasca Kongres Jurnal Kongres 21 HMI, Yogyakarta 1997. Tulisan ini mencoba mendorong diakomodasinya kreatifitas dan etos berkesenian dalam spektrum perkaderan HMI
Konon otak manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu yang memiliki aneka fungsi. Salah satu bagian itu berfungsi dalam hal seni (art). Tepatnya pada lapis otak bagian kanan. Dengan berfungsinya otak yang satu ini, manusia merasakan adanya keindahan dan kelembutan.
Bila kenyataannya demikian, maka unsur seni dalam kehidupan manusia itu adalah inhern. Didalam diri manusia telah tersimpan potensi atau bakat seni yang siap untuk tumbuh dan berkembang. Bila Maslow berpendapat kebutuhan jiwa (Psiche) dalam diri manusia adalah inhern dan mandiri, maka kebutuhan akan hal-hal yang bersifat kejiwaan merupakan kebutuhan dasar/pokok. Apa yang menghambat bagi terpenuhinya kebutuhan jiwa ini seperti rasa aman, cinta, harga diri dan aktualisasi diri akan menimbulkan gangguan jiwa atau Maslow menyebut sebagai neorosis. Begitu pula dengan seni, kebutuhan akan seni dalam kehidupan manusia sudah sepatutnya menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Hambatan bagi terpenuhinya kebutuhan seni akan mengurangi keutuhan fungsi-fungsi kemanusiaan.
Dalam perkaderan di HMI, yang secara hakekat hendak memberdayakan seluruh potensi kemanusiaan. Pemenuhan terhadap kebutuhan seni menjadi niscaya dilakukan. Seni harus mendapat ruang yang sewajarnya dalam dinamika perkaderan. Tanpa pemenuhan unsur yang satu ini secara proporsional tujuan perkaderan HMI akan timpang. Sebagai kenyataan dilapangan kita dapati bahwa unsur-unsur seni didalam dinamika perkaderan HMI terasa kering. Hal ini bisa dibaca dari kurang nampaknya apresiasi seni yang ditampilkan pada seluruh aktivitas di HMI. Kondisi yang demikian ini sudah sepatutnya mendapatkan perhatian.
Akibat Kurang Teraktualnya Kebutuhan Seni
Bila unsur seni inhern dalam diri manusia. Ia harus mendapat ruang yang layak didalamnya. la akan juga seperti tubuh yang bila kurang vitamin C akan sariawan atau kurang makanan akan terasa lapar. la juga seperti jiwa yang bila tidak terpenuhi kebutuhannya akan menimbulkan neorosis. Kekurangan unsur seni juga akan menimbulkan dampak bagi manusia. Karena unsur seni akan melahirkan keindahan dan kelembutan pada diri manusia, tidak terpenuhinya kebutuhan manusia akan seni menyebabkan nuansa kelembutan dan keindahan menjadi kurang dan kering. Yang nampak dipermukaan pada orang yang kurang tumbuh potensi seninya adalah kekakuan, keras dan cenderung kasar. Hal ini bisa terjadi pada seluruh aspek kehidupan seperti sikap, pergaulan ataupun pada karya-karya yang ditampilkan.
Sebab-Sebab Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Seni
Kurang terpenuhinya kebutuhan seni bisa bermacam-macam. Bisa jadi unsur seni seseorang atau sebuah komunitas begitu minim karena memang apresiasi seninya rendah. Namun bisa juga ada faktor normatif yang menghambat unsur-unsur seni tumbuh secara layak. Untuk kasus HMI dan gerakan-gerakan Islam pada umumnya, penyebab terakhir ini yang nampaknya dominan. Banyak aktivis-aktivis gerakan Islam termasuk HMI yang semula begitu apresiatif terhadap seni dan kesenian tiba-tiba menjadi krisis dan miskin apresiasi.
Upaya Pemberdayaan Seni dalam Perkaderan
Seni sebagaimana pula kebutuhan intelektual dalam diri manusia. Bila fungsi seni berada pada lapis kanan dalam otak manusia, sementara intelegensia sebagai tolok ukur intelektual terdapat pada lapis bagian kanan. Maka bila di HMI intelektual mendapatkan porsi yang lumayan besar maka sudah barang tentu seni harus pula mendapatkan porsi yang sewajarnya dan layak. Keberadaan seni harus mendapatkan apresiasi yang segar pada seluruh dimensi perkaderan. Seni harus bisa menjadi nuansa yang tumbuh menyertai setiap gerak-gerik kegiatan HMI seperti pula pada masalah intelektual dan spiritual yang saat ini diupayakan menjadi tradisi yang tumbuh.
Beberapa hal yang bisa dilakukan bagi terpenuhinya kebutuhan seni di HMI, Pertama adalah pemahaman kembali seni dalam dataran normatif. Kedua memunculkan etos apresiasi. Ketiga, sarana apresiasi.
Masalah pemahan kembali seni dalam dataran normatif menjadi penting karena selama ini ketakutan berapresiasi lebih disebabkan karena faktor normatif. Sejumlah bentuk-bentuk seni telah ditabukan kalau tidak boleh dibilang haram, seperti musik. Namun dalam praktek bukan hanya musik yang telah menjadi barang yang ditabukan, namun bau-bau seni cenderung dijauhi. Sebagai akibatnya apresiasi terhadap seni menjadi rendah dan kering.
Meski masih menjadi perdebatan soal halal dan haramnya musik, sesungguhnya apresiasi terhadap seni tidak lalu mati. Sebab seni bukanlah identik dengan musik. Masih banyak bentuk-bentuk seni yang bisa dikembangkan andaikan disepakati musik itu haram. Namun yang lebih penting dari itu pemahaman atas unsur seni yang inhern pada diri manusia harus ditanamkan. Secara normatif mustahil sesuatu yang inhern pada diri manusia perwujudannya diharamkan.
Berkenaan dengan etos seni, upaya perkaderan di HMI perlu memberikan ruang tersendiri. Dukungan dan motivasi terhadap bentuk-bentuk apresiasi seni perlu ditanamkan seiring dengan jenjang perkaderan yang ada. Hal ini bukan berarti pemberian porsi yang berlebihan terhadap seni. Lebih tepatnya memberikan ruang yang sewajarnya bagi tumbuhnya seni.
Masalah sarana bagi perwujudan apresiasi seni perlu disediakan dalam batasbatas yang bisa dilakukan. Paling tidak perlu lembaga yang menyalurkan potensi seni dan kegiatan-kegiatan vang bisa mengantarkan aktualisasi seni kader.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment