Blogger Tricks

MATANYA

Wednesday, February 28, 2007

Khittah Perjuangan dan Tantangan-Tantangan Baru HMI


1:04 PM |

Syahrul Efendi D

Sebuah tulisan yang dibuat oleh Kabid Perkaderan PB HMI 2003-2005. Tulisan ini disampaikan pada pertemuan cabang-cabang se-Indonesia Bagian Tengah, Surabaya, 02-03 April 2005. dalam tulisan ini, diulas tentang beberapa gagasan untuk pembaharuan Khittah Perjuangan HMI

Adalah langkah yang tepat jika secara terus menerus kader-kader HMI mendiskursuskan kembali Khittah Perjuangan —seterusnya cukup disingkat dengan KP.

Tentu saja diskursus KP tidak boleh hanya berhenti pada tingkat pengkritisan apalagi penggugatan semata tanpa memberikan solusi alternatif. KP sebagai sebuah produk pemikiran tentu saja bersifat historis. Yang kita maksud dengan bersifat historis adalah bahwa pemikiran dalam KP tersebut terikat dengan hukum-hukum dan relativitas sejarah. Tentu kita mengerti bahwa sejarah bukanlah lahir dari ruang hampa. Demikian juga jika kita sepakat bahwa KP sebagai produk sejarah bukanlah lahir dari ruang hampa. Dia merupakan produk pemikiran dari pelaku-pelaku sejarah dalam lingkup sejarah yang bersifat khusus. Dia merupakan respon pemikiran atas tantangan zaman ketika itu. Dengan demikian adalah tidak salah jika memang zaman telah berubah maka ada respon pemikiran terhadap tantangan zaman tersebut.

Selintas Khittah Perjuangan
Menurut Edi Ryanto, KP mestilah dipandang sebagai kelanjutan dari gagasan-gagasan sebelumnya dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi tafsir azas HMI. NDP sendiri yang ditulis pada kisaran akhir 1960-an menurut hemat kami tidaklah terpisah dari ide sebelumnya yang termuat dalam Garis-Garis Besar Pokok-Pokok Perjuangan (GBPP) yang disahkan pada tahun 1957. Perbedaan visi antara KP dan NDP agaknya hanya terletak pada fungsi dan semangatnya saja. Bila NDP hanya berfungsi sebagai tafsir atas azas Islam saja, maka KP berusaha mendudukkan dirinya sebagai tafsir terpadu atas azas, tujuan, dan sifat independensi yang melekat pada organisasi HMI. Masalahnya sejauh mana urgensi keterpaduan tafsir atas azas, tujuan dan independensi itu bagi HMI. Untuk sementara kita tangguhkan dulu persoalan urgensi keterpaduan tafsir ini.

Di samping fungsi yang berbeda, semangat yang terkandung dalam KP memang tampak kental bersudut pandang islamis. Ini bukan berarti sudut pandang islamis kita anggap buruk. Yang kita maksud dengan sudut pandang islamis adalah pemahaman bahwa Islam sebagai suatu cara pandang (world view) yang tersendiri terhadap alam, manusia dan Tuhan vis a vis dengan cara pandang lain di luar Islam. Pemahaman lain dari sudut pandang islamis adalah bahwa Islam berhadap-hadapan —jika tidak ingin mengatakan bermusuhan secara abadi— dengan Barat. Salah satu yang menonjol dapat kita perhatikan pada konsep Wawasan Ilmu. Di dalam Wawasan Ilmu tampak dengan nyata bagaimana visi Islam —setidaknya menurut pembuat konsepsi tersebut— terhadap ilmu pengetahuan. Diterangkan juga bagaimana visi Islam terhadap sumber-sumber ilmu, cara memperoleh ilmu dan penerapan ilmu dalam kehidupan umat manusia.

Sedangkan NDP, banyak orang menilai lebih kental bersudut pandang sekuler ketimbang sudut pandang Islamnya. Tentu saja penilaian-penilaian semacam itu akan memancing banyak perdebatan. Tetapi apapun penilaiannya, lahirnya KP tidak bisa dilepaskan dari semangat zaman yang melingkupi masa itu. Gegap-gempita sehabis Revolusi Islam Iran (1979) yang berhasil itu disusul dengan hiruk-pikuk abad 15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam menjadi faktor eksternal penting bagi kelahiran pemikiran yang terkandung dalam KP. Ketika faktor eksternal itu sudah tidak bergema lagi, bagaimana dengan signifikansi KP sebagai paradigma atau “ideologi” HMI dalam menjawab tantangan intenal dan eksternalnya yang semakin dinamis dan variatif? Inilah pertanyaan sentral yang harus kita pecahkan sedari sekarang tanpa harus diwariskan lagi kepada generasi selanjutnya.

Tantangan-tantangan Baru HMI

Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa KP pada hari ini tidak sebermakna KP pada masa-masa yang lalu. Harapan KP sebagai pedoman dan pembimbing pemikiran dan aksi kader-kader HMI dalam menjawab tantangan-tantangan lingkungan dan zamannya, kini hampir tinggal menjadi harapan saja. Agak berlebihan memang jika kita menuntut KP dapat menjawab segala tantangan yang ada di hadapan kita hari ini. Menuntut KP sebagai pedoman perspektif bagi kader-kader HMI dalam menatap lingkungan sekitarnya saja sudah hampir menjadi tuntutan yang berlebihan.

Tantangan kita hari ini sudah barang tentu berbeda dengan tantangan generasi-generasi 1980-an hingga pertengahan 1990-an pada saat KP itu dilahirkan dan dikembangkan. Tantangan yang nyata ketika itu adalah suasana sosial politik yang betul-betul tidak nyaman untuk berbeda pemikiran dan haluan politik dengan rezim yang berkuasa. Seluruh prinsip-prinsip demokrasi pada masa itu benar-benar dimatikan. Dengan demikian HMI yang mengambil posisi berhadap-hadapan dengan arus rezim secara otomatis harus menanggung akibatnya. Akibatnya adalah tidak mendapatkan ruang yang longgar untuk mengembangkan misi dan postur organisasinya.

Pada generasi sekarang, tantangan seperti itu sudah mustahil. Dengan suasana yang sangat terbuka, generasi sekarang dapat mengembangkan misi dan postur organisasinya tanpa dihalang-halangi sedikit pun. Negara yang dahulu serba mengontrol kini sudah menjadi kenangan lama yang buruk. Arus liberalisasi di segala bidang membuat negara sebentar lagi tinggal hanya menjadi tukang stempel saja. Penguasa nyata atas politik, ekonomi dan sosial, lambat-laun akan beralih ke tangan-tangan para pemilik modal. Pintu gerbang era itu sekarang telah dibuka lebar-lebar dan masyarakat serta negara sudah dihalau dan digiring untuk masuk berduyun-duyun ke dalam era itu.

Sesungguhnya era yang dipaksakan kepada kita ini disokong dengan kuat oleh sebuah paham yang banyak disebut orang dengan neo liberalisme. Tetapi ada juga yang memberi istilah dengan kapitalisme lanjut. Bonnie Setiawan mencatat 5 (lima) prinsip dari neo-liberalisme. (1) Kekuasaan pasar (the rule of the market); (2) Memotong pengeluaran negara untuk pelayanan sosial, seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘safety-net’ bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih; (3) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi profit; (4) Privatisasi, dengan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Ini termasuk juga menjual usaha pemerintah di bidang perbankan, industri strategis, jalan-raya, jalan-tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air; (5) Menghapus konsep “barang-barang publik” (public goods), dan menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, seperti menyalahkan kaum miskin yang tidak mempunyai pendidikan, jaminan sosial, kesehatan dan lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri. Ujung dari semua itu adalah pemangkasan otoritas negara sebagai langkah strategis untuk lebih mudah mengendalikan negara, dan akhirnya negara dirampas dari tangan rakyat untuk kemudian menjadi milik penguasa keuangan atau pemilik modal.

Demikianlah bagaimana era ini sebetulnya diset by design. Ia merupakan skenario global untuk mengintegrasikan kekuasaan pasar. Ia juga merupakan skenario global untuk menaklukkan negara-negera merdeka. Dan berbicara mengenai pasar, ia bukanlah sebuah arena jual-beli yang menurut anggapan orang banyak, ideal dan fair. Kekuasaan pasar sepenuhnya ada di tangan aktor-aktor pasar. Dan penentu aktor-aktor pasar itu sendiri ada di tangan aktor-aktor pasar yang lebih besar dan kuat.

Yang paling menderita dari sistem semacam ini adalah negara-negara lemah. Negara-negara lemah otomatis akan menjadi santapan yang lezat bagi aktor-aktor pasar itu. Di dalam negeri, penduduk-penduduk yang lemah juga akan menjadi sapi perahan dan kurban dari sistem yang kejam itu. Penduduk yang tidak terdidik dan tidak terampil akan menderita selama hidupnya akibat sistem pasar yang serba adu kuat dan adu licik.

Apa Dampaknya?

Dalam sistem kehidupan seperti itu, beberapa dampak yang akan timbul adalah:
1. Merebaknya arus konsumerisme dan materialisme sempit. Yang kita maksud dengan materialisme sempit adalah pemahaman bahwa kehidupan sepenuhnya diabdikan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan materi. Yang nyata dan berharga dari hidup hanyalah materi. Semakin banyak materi yang dimiliki semakin berartilah kehidupan. Semakin banyak materi seseorang semakin meningkat pula status sosial seseorang.

2. Berkembangnya asas survival of the fittest dalam pergaulan hidup manusia. Asas ini memang watak khas dari pasar itu sendiri. Tentu di dalam pasar, jualan siapa yang paling menarik, promosi siapa yang paling berpengaruh, maka jualannyalah yang akan laku dan mendapat tempat. Prinsip ini sama dengan prinsip hukum rimba yang jauh dari rasa keadilan manusia.

3. Pemahaman keagamaan pun akan ikut-ikutan tunduk kepada hukum pasar. Maksudnya adalah pemahaman keagamaan akan mengikuti selera konsumen-konsumennya. Jika ini yang terjadi, maka jatuhlah martabat agama itu. Agama pun akan menjadi jinak di tangan penganut-penganutnya. Api revolusioner yang terkandung dalam agama dengan sendirinya dipadamkan oleh pemahaman penganut-penganutnya. Lebih celaka dari itu, agama pun akan menjadi barang dagangan bagi otoritas-otoritas keagamaan. Dan perlu diperhatikan, gejala itu sudah lama berlangsung di depan mata kita.

4. Konflik laten dalam memperebutkan hak-hak ekonomi antara buruh dengan majikan, antara sesama pemilik modal, dan antar negara sendiri. Potensi konflik ini diredam dengan pendekatan kekerasan, tetapi di lain pihak juga dieksploitasi dengan licik oleh politikus-politikus untuk memperebutkan kekuasaan. Dengan demikian konflik yang ditimbulkan oleh tatanan timpang berporoskan pasar bebas ini akan terus menjadi laten dan sewaktu-waktu dapat meletus. Sudah barang tentu kondisi demikian akan membawa ketidakdamaian antar sesama manusia. Api dendam dan cemburu karena ketimpangan struktural menyala di dalam dada-dada golongan yang tertindas. Tetapi dengan cerdik, negara yang telah dikangkangi oleh pemilik modal itu meredam gejolak dendam kaum tertindas itu dengan intimidasi dan kekerasan, juga tentunya berupa metode pengalihan isu dan perhatian. Dengan menjual mimpi-mimpi lewat media-media, kaum tertindas itu dialihkan perhatian dan kesadarannya.

Dapatkah KP Menjawab Tantangan Tersebut?
Dari semua yang dipaparkan di atas, sudahkah KP dapat memberikan perspektif atas persoalan-persoalan riil di atas yang mau tidak mau akan segera harus dihadapi dan harus diatasi. Jika pandangan kita benar bahwa kedudukan KP seyogyanya sebagai pedoman dasar dalam melihat dan menilai arena eksternal, maka sudah seyogyanya pula KP dapat memberikan perspektif atas persoalan-persoalan yang diungkapkan di atas. Hal ini perlu supaya KP betul-betul berfungsi sebagai pedoman dan kacamata gerakan HMI. Dia tidak hanya sebagai wacana yang didiskusikan di kelas-kelas training yang terlepas dari pergulatan hidup yang nyata.

Sependek pengetahuan saya, KP dalam praktiknya belum sepenuhnya menjadi pedoman dasar dalam melihat dan menilai arena eksternal oleh para kader-kader HMI. Saya belum mengetahui secara pasti apakah hal ini terkait dengan teori yang terkandung dalam risalah KP yang tidak dapat difungsikan dengan baik dalam melihat dan menilai arena eksternal. Apalagi jika kita berharap lebih jauh untuk mendudukkan KP sebagai paradigma dan acuan aksi dalam pergerakan HMI, tentu hal itu tidak ditemukan dalam KP.

Melihat permasalahan ini, menjadi perlu untuk kembali mendiskusruskan penyempurnaan KP atau sekalian membuat yang baru. Untuk menyempurnakan apalagi untuk membuat yang baru tentu bukan perkara yang enteng. Berkali-kali kita berharap membuat KP baru atau penyempurnaan KP, tetapi tidak pernah berhasil dengan meyakinkan. Apa yang terjadi selama ini hanya sekedar lontaran kritik dan tambal-sulam di sana sini.

Menurut saya, jika pun harus diagendakan penyempurnaan KP atau pembuatan KP yang baru, maka penting untuk memasukkan unsur-unsur gagasan berikut ini. Pertama, gagasan tentang keadilan. Gagasan tentang keadilan hendaknya tidak hanya terpaku pada isu keadilan teologis, tetapi juga mencakup keadilan ekonomi, sosial dan politik. Gagasan keadilan berguna untuk menimbang tatanan yang sedang berlaku: apakah sudah adil atau masih zalim.

Kedua, gagasan tentang masyarakat cita HMI. Gagasan tentang masyarakat cita HMI haruslah gamblang sebagaimana gerakan-gerakan lain menjabarkan dengan gamblang cita-cita masyarakat mereka. Gagasan masyarakat komunis sebagai cita-cita kaum komunis atau khilafah atau pun juga negara Islam jauh lebih gamblang ketimbang masyarakat cita yang tertulis dalam dokumen HMI. Gambaran yang jelas terhadap gagasan masyarakat cita sangat diperlukan untuk menjadi patokan dan orientasi dalam bergerak di garis perjuangan.

Unsur ketiga adalah gagasan tentang skenario perubahan untuk masa depan yang diimpikan. Perubahan yang diiginkan adalah perubahan yang menuju masyarakat cita tersebut. Teori perubahan beserta tahapan-tahapannya harus dijabarkan dengan gamblang. Demikian juga metode-metode perubahannya, juga harus dijabarkan dengan terang. Ketiga unsur gagasan di atas perlu dicantumkan dalam KP yang baru —jika memang ada tekad untuk mengagendakan penyempurnaannya— agar kader-kader HMI mendapatkan kepastian arah dan metode untuk mencapai cita-cita HMI. Dengan masuknya ketiga unsur gagasan di atas ke dalam KP maka KP diharapkan dapat menjawab kekurangan perpektifnya mengenai perkembangan tantangan-tantangan sosial dewasa ini.

Catatan kaki:

1. Edi Ryanto, Mengenal Dapur HMI: Beberapa Catatan Kecil, Yogyakarta: 2001, h. 20.
2. Bonnie Setiawan, Stop WTO, Jakarta: Infid, 2000. Setiawan mengutipnya dari Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, “What is Neo-Liberelisme”, Third World Resurgence, No 99 (1988), h. 8.


You Might Also Like :


0 comments: