Oleh Muhammad Fathi S.Pd.
Realitas dunia yang semakin menantang menyebabkan eksistensi manusia dalam kehidupannya dituntut memiliki kekuatan kompetitif agar teruji secara kuantitatif dan kualitatif. Bagi HMI kompleksitas ini harus direspon sejak dini, terutama mempersiapkan kader-kader masa depan untuk melangkah real dalam menjawab fenomena tersebut. Terlebih bila merujuk pada teoritis Khittah, setidaknya cita ideal yang diharapkan itu (baca: masyarakat yang diridhoi Allah Swt) dalam memberi perimbangan aspek-aspek yang ralistis dan estimatif.
Milenium baru menjadi theme booming bagi institusi dan instrumen kehidupan untuk ‘dipaksa’ turut bertarung ‘survive’ dalam kehidupan. Berpaling ataupun tidak, roda jaman –meminjam istilah Ebit-- akan menggilas peran atau eksistensi manusia di bawah sejarah yang terus berputar. Informasi dan pertarungan ideologi dalam tolak ukur yang lebih praktis dan pragmatis cenderung menjadi slogan dan citraan yang akan menjebak manusia pada istilah trend. Sehingga dalam kehidupannya hal-hal yang esensial dan urgen tidak lebih dari tolok ukur ‘makanan siap santap’ yang sangat realistis dan dominan.
Manusia yang hidup hanya dengan pedoman idealisme tokh akan terjebak pada skenario orang-orang oponturir yang memanfaatkan keikhlasan dan kejujuran orang lain demi kepentingan kelompoknya. Sehingga kalaupun tadinya orang sudah berjuang sungguh-sungguh lambat laun akan tenggelam dan tidak berarti sama sekali. Bahkan tinggal menunggu waktu!...
Di ufuk milenium ini, Himpunan Mahasiswa Islam mengembangkan orisinalitasnya dengan klaim informasi (baca pers: MPO) yang menjadi bagian dari realitas tersebut. Namun dalam hal ini ia hanya dapat menanam tanpa bisa ‘menghasilkan’ atau ‘memanen’. Terlepas dari justifikasi keikhlasan dan ketulusan, HMI (baca: MPO) merupakan bagian dari realitas Bangsa Indonesia dan umat Islam, bahkan umat manusia secara keseluruhan. Sehingga perannya dalam konstalasi sosial-politik dapat turut berpartisipasi dalam membangun sistem keumatan, kebangsaan dst. Alangkah ironi memang, perjuangan dan cita-cita masyarakat berkeadilan yang terus didengungkan oleh Himpunan kini diasingkan dan tenggelam dalam sejarah dan informasi. Apalagi, mungkin, diseputar jargon kenegaraan dan nasionalisme pasca azas tunggal...
Namun demikian, proses pengembangan perkaderan HMI kini dan esok –selain pengembangan tradisi yang telah ada— tetap mensyaratkan adanya aksentuasi yang sinergis dan obyektif antara visi keislaman, visi keintelektualan, visi keummatan dan visi profesionalitas. Meskipun hal itu dapat dijustifikasi telah ada dalam visi keislaman namun ranah-ranah tersebut sangat diperlukan bagi upaya konsepsi dan aplikasi yang lebih konsentratif, obyektif dan terukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Bagaimanapun juga, memikirkan bentuk perkaderan yang lebih mengakomodir kecenderungan kader dan talenta yang dimiliki –arus bawah— menjadi bagian dari formulasi strategis dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kader untuk secara bersama mengembangkan Himpunan yang lebih bernilai karier (keberartian dan keterpanggilan), ibadah (fungsional secara pribadi dan sosial) serta tetap berbasis intelektual (terkonseptualisasi dan terukur).
Visi profetis yang diangkat menjadi tema kongres pada periode ini –pasca orde baru dan azas tunggal, dapat difahami bahwa seorang nabi adalah pembebas dari ketertindasan baik secara struktural, ekonomi maupun budaya. Dalam kancah sosiologis, seorang nabi perannya dapat ditampilkan secara metodologis terutama dalam membentuk manusia yang humanis-fitrawi, terlebih perannya sebagai ‘wakil’ Tuhan di dunia, setidaknya mampu menyadarkan manusia sebagai makhluk yang bermoral (baca: transendensi).
HMI pada era kini dan ke depan diharapkan dapat menciptakan dan merekayasa manusia-manusia tersebut sesuai dengan cita harapan, baik secara pribadi maupun kolektif (baca: masyarakat) –yang pada kongres ini terformulasi kedalam frase baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, sehingga ‘grand tema’ peradaban yang telah dicanangkan pada periode sebelumnya tidak hanya terbatas pada wacana ataupun slogan.
Pada bagian ini, wacana peradaban tersebut telah menjadi prakondisi dimana HMI terlibat dan berperan dalam merekayasa sosial. Begitupun kemampuan konsepsional yang relatif terukur dan teraplikasi, peran-peran kelembagaan yang lebih profesional dan prospektif dapat menjadi dobrakan starting point yang lebih sistematis dan terencana.
Visi kenabian yang difahami likulli zaman wa maqan tetap merupakan jurus-jurus jitu yang dapat dipelajari dan dijadikan pisau analisa dalam rekayasa sosial yang diperankan. Diskursus intelektualqur’anic akan tetap menjadi frame dalam mensistematisasi, mengidentifikasi data-data dan informasi faktual yanga da. Inilah yang kemudian menjadi pengimbang keempat visi yang telah dikemukakan.
Hal yang lebih artikulatif, kader secara keseluruhan memiliki tanggungjawab yang sama dengan pengurus dalam mengakomodir gagasan dan keinginan potensial masing-masing yang sudah barang tentu bersesuaian dengan social emforcement. Masyarakat setidaknya dapat mengerti bahwa agama (baca: Islam) bukan kompensasi ritualistik yang dipermak rapi dan (terlalu) sakral. Melainkan suatu yang hidup dang fungsional dalam menjawab tantangan dan solusi hidup.
Buletin KPC Jakarta, Edisi Perdana/08 Oktober 1999
Kabid Kader PB HMI 1999-2001
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment