Syahrul E. Dasopang
Sebuah tulisan yang dibuat oleh Ketua Bidang Kader PB HMI 2003-2005 dan disampaikan pada Forum Kursus Pengader Cabang Semarang, 6 Agustus 2004. dalam tulisan ini diulas tentang beberapa hal yang menjadi tantangan perkaderan yang dihadapi HMI ditengah zaman yang selalu berubah
Tahun-tahun yang kita hadapi sekarang ini agaknya mirip dengan tahun-tahun yang dihadapi oleh organisasi ini pada tahun 1987-1992. Di antara persamaannya adalah kondisi orientasi organisasi dan perkaderan yang relatif belum stabil. Terdapat suasana peralihan yang jika tidak dapat direspon secara dini dan tepat, maka akan membahayakan kelangsungan vitalitas organisasi, malah bahkan mengancam eksistensi organisasi. Maksud saya adalah, alam pikiran dan kelembagaan HMI (MPO) yang telah ditata selama bertahun-tahun dan relatif sudah menemukan bentuknya, tiba-tiba dihadapkan kepada situasi dan tantangan baru, maka sudah barang tentu mengakibatkan kegamangan. Tantangan baru itu berwujud suasana yang tidak terduga oleh para pendahulu kita di masa lampau di mana kebebasan bergerak dan berekspresi demikian longgarnya. Kebebasan dan keterbukaan ini ternyata tidak terlalu siap untuk dihadapi oleh organisasi yang memang pada awalnya didesain bukan untuk menghadapi suasana seperti itu. Kiasannya, orang yang bertahun-tahun hidup dalam suasana terkucil dan tertekan dengan semangat defensif untuk mempertahankan eksistensinya, tiba-tiba suasana pengucilan dan penekanan itu hilang, tentu akan gagap dan terbata-bata dalam merespon perubahan yang berlangsung. Demikianlah suasana yang kita tangkap dalam dinamika organisasi HMI MPO semenjak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998.
Dalam beberapa hal, kita tidak perlu menghindar untuk mengakui bahwa kehadiran HMI MPO erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang memaksakan azas tunggal Pancasila. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, HMI MPO adalah reaksi terhadap kebijakan sewenang-wenang dari pemerintahan Orde Baru. Akan tetapi, menjadi timbul masalah setelah pemerintahan Orde Baru atau lebih tepatnya, kebijakan azas tunggal Pancasila itu sudah tidak ada lagi. HMI MPO sepertinya kehilangan alasan (raison de’etre) keberadaannya. Masalah ini tentu berimplikasi pula terhadap perkaderan, terutama menyangkut tradisi, desain dan semangat perkaderan yang telah kita bina selama ini.
Kita harus mengakui, desain kelembagaan dan perkaderan kita hanya sampai pada tahap defensif dalam menghadapi situasi eksternal kita selama ini. Corak defensif tersebut adalah hasil wajar dari tantangan eksternal yang kita hadapi pada masa-masa yang lalu. Tentu agak sulit untuk merubahnya ke tahap opensif, meskipun itu yang paling kita butuhkan saat ini. Walau demikian, kita patut berterima kasih kepada pendahulu kita yang telah berhasil mempertahankan hidup organisasi ini dari tekanan yang pelan dari eksternal, khususnya pemerintah. Saya katakan tekanan yang pelan, kerana memang pemerintah tidak secara langsung menekan dan membumi hanguskan organisasi ini. Tampak bahwa pemerintah sedikit membiarkan organsasi ini hidup segan mati tak mau. Saya tidak tahu apakah ini juga bagian dari grand design pemerintah untuk menjinakkan kekuatan Islam, tergantung penelitianlah nanti yang akan mengungkapnya. Keterangan bahwa pemerintah sengaja membiarkan HMI MPO di masa-masa awal pembentukannya saya temukan di LPJ HMI Cabang Yogyakarta periode 1408-1409 H/1987-1988 M yang berjudul At-Tafkir, hal.35. Sejarah kita memang perlu didudukkan secara proporsional. Ada sisi sejarah kita yang mengharu biru di masa lalu, ada pula sisi sejarah kita yang belum seluruhnya terang. Salah satunya apa yang saya sebutkan di atas.
Setelah kita menoleh kepada jejak-jejak kita di masa lalu, sekarang marilah kita menatap ke masa depan. Masa lalu tidak perlu kita keramatkan, cukuplah kita mengambil pelajaran dari padanya. Lebih baik kita mencurahkan pikiran dan tenaga untuk menggapai masa depan. Ke depan tampaknya kita akan menghadapi tantangan-tantangan baru yang tidak kalah rumitnya dengan tantagan-tantangan di masa lalu. Tantangan-tantangan baru ini tentu membutuhkan strategi-strategi yang baru pula.
Di antara tantangan-tantangan tersebut yang dapat kita identifikasi misalnya situasi internasional, situasi nasional dan situasi internal yang sudah berubah. Situasi internasional dan nasional merupakan bagian dari tantangan eksternal kita yang terpenting.
Situasi Internasional
Bagaimanapun, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari dinamika yang sedang berlangsung di dunia internasional. Dinamika-dinamika yang sedang berlangsung di dunia internasional akan mempengaruhi situasi domestik dan nasional kita dan pada gilirannya juga mempengaruhi situasi internal kita. Di masa lalu, tantangan internasional yang kita hadapi adalah situasi perang dingin, di mana perimbangan kekuasaan antara Blok Barat yang dipimpin oleh AS dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet sedikit memberikan kelonggaran bagi berkembangnya gerakan-gerakan Islam di banyak negara. Bahkan dalam dalam beberapa kasus, AS sengaja memanfaatkan gerakan Islam—dengan memberikan bantuan teknis dan meteril—untuk menghabisi gerakan-gerakan komunis.
Sekarang setelah Uni Sovyet dan Blok Timur jatuh, musuh yang dijadikan sasaran oleh Blok Barat beralih kepada gerakan-gerakan Islam. Dengan dalih terorisme AS sengaja mengeksploitasi keadaan untuk mematikan gerakan-gerakan Isam di seluruh dunia. HMI MPO sebagai bagian dari gerakan Islam diperkirakan tidak akan luput dari sorotan mereka. Tetapi sampai hari ini, belum terlihat tanda-tanda yang mencolok bahwa gerakan-gerakan Islam di Indonesia akan dijadikan target berikutnya oleh AS. Yang nampak baru Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan sebagian pengikutnya yang dibidik. Secara umum keadaan yang longgar untuk berkembang bagi gerakan-gerakan Islam masih terlihat lebar.
Situasi Nasional
Keadaan politik nasional kita menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kekuatan yang dominan dan dapat memusatkan kekuasaan di tangannya. Penyebaran kekuasaan terlihat terbagi-bagi di berbagai kekuatan-kekuatan politik. Jika dahulu hampir seluruh potensi kekuasaan berada langsung di bawah genggaman ABRI dan Golkar, maka setelah jatuhnya Soeharto sebagai figur utama dari kekuatan ini dan hengkangnya TNI/Polri dari legislatif, maka kekuasaan pun mulai tersebar ke berbagai kelompok-kelompok politik masyarakat sipil. PDIP dan NU adalah contoh paling nyata dari fenomena ini. Keadaan di mana tak satupun kekuatan barada di tangan kelompok politik tertentu, sebetulnya merupakan kondisi yang kondusif bagi berkembangnya segala eksprimen pergerakan masyarakat, termasuk pergerakan masyarakat mahasiswa. Akan tetapi keadaan seperti ini tidak selalu berumur panjang. Dengan demikian adalah tugas pengader HMI sebagai satuan inti dari organisasi untuk membaca peluang ini dan memanfaatkannya bagi pengembangan dan pemajuan organisasi.
Situasi Internal Keorganisasian
Perkembangan terakhir menunjukkan adanya kemajuan kuantitatif organisasi kita. Dari semula 7 cabang sebelum tumbangnya Orde Baru menjadi 36 cabang pada saat ini. Berarti dalam waktu 6 tahun cabang-cabang kita bertambah 29 cabang. Perkembangan kuantitatif ini sebetulnya membawa dampak yang tidak selalu positif bagi perkembangan keorganisasian kita, khususnya perkaderan kita. Dalam hal ini terutama menyangkut manajemen perkaderan. Jika dahulu managemen perkaderan kita tampak rapih dan efektif, sekarang karena terbatasnya sumber daya pengader dan juga dana, maka kita melihat adanya indikasi menurunnya standard kualitas pengelolaan dan out put perkaderan. Hal mana ini juga terkait dengan fenomena banyaknya cabang HMI Dipo yang bergabung ke dalam HMI MPO. Fenomena ini belum seluruhnya terjawab dengan sistem dan prosedur yang pas untuk mengatasi persoalan tersebut. Misalnya, kita belum memiliki aturan dan prosedur yang tetap apabila cabang atau kader tertentu hendak bergabung ke dalam sistem kita.
Di lain sisi, di cabang tertentu, kita melihat menurunnya gairah dan kualitas perkaderan. Banyak di antara kadernya yang memilih untuk tidak mengurusi HMI secara serius.
Selain hal di atas, mengenai watak dan pola perkaderan kita juga penting untuk kita soroti. Ada aspek tertentu dari watak dan pola perkaderan kita yang patut kita lestarikan, dan ada pula yang patut untuk kita tinjau ulang. Yang saya amati selama ini, watak perkaderan HMI lebih menitikberatkan kepada aspek pembinaan kepribadian anggota HMI, dan itu pun dipersempit dengan pembinaan kerohanian dan intelektual anggota HMI. Kita tidak melihat seberapa jauh anggota HMI dididik untuk berkiprah dan memimpin masyarakat. Sehingga yang kita saksikan, para kader HMI agak sulit membaur dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Gejala ini sebetulnya terkait dengan corak perkaderan yang diterapkan. Corak perkaderan yang diterapkan selama ini lebih menonjolkan pola kontra kultur yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Tentu ada sisi baik dari pola seperti ini. Namun pola seperti ini hanya efektif dalam suasana sosial politik yang represif seperti yang terjadi di masa lalu. Pola kontra kultur hanya berhasil dalam batas mempertahankan eksistensi dan meningkatkan militansi saja. Sementara untuk mengembangkan pengaruh dan memperluas dukungan masyarakat agak sulit dilakukan. Susunan masyarakat kita yang heterogen dan plural dalam pemikiran, tidak akan memberikan peluang yang besar bagi pola perjuangan dan perkaderan yang mengedepankan kontra kultur. Kemenangan PKS di pemilu tahun 2004 membuktikan betapa keberhasilan yang mereka raih ditentukan oleh perubahan pola dan strategi yang mereka kembangkan.
Semula di tahun 1999 mereka berkeyakinan akan menang dengan cara menonjolkan ekslusifitas yang mereka miliki. Tetapi pada kenyataannya kemenangan yang mereka peroleh tidaklah signifikan. Namun di tahun 2004 mereka merubah strategi dengan mengadopsi tradisi dan pakem-pakem masyarakat yang tidak merusak tapi populer, alhasil mereka pun menuai kemenangan yang membanggakan. Demikian pula dengan HMI, tentu bisa belajar dari pengalaman tersebut. Kita tidak boleh puas dengan keadaan yang kita miliki. Kita harus selalu meningkatkan dan melakukan inovasi atas strategi dan kemampuan yang kita miliki tanpa menghilangkan nilai dasar yang sudah tertanam baik.
Sepertinya sudah saatnya kita mengembangkan strategi perkaderan (perkaderan dalam arti pendidikan, kegiatan dan jaringan) dan perjuangan yang lebih berwatak ofensif yang mampu memimpin perubahan di dalam masyarakat. Kita harus lebih aktif menerjunkan diri di dalam persoalan-persoalan umum kemasyarakatan ketimbang sibuk berkutat di dalam persoalan internal kita. Sebab dengan demikianlah kekaderan anggota HMI diuji secara langsung oleh masyarakat. Tentu hal ini akan lebih efektif dapat kita lakukan jika persoalan internal yang menghambat dapat kita selesaikan. Kita harus memandang bahwa kita ber-HMI memang untuk masyarakat dan lingkungan kita, terutama untuk umat Islam. Bukan seperti yang banyak terjadi, ber-HMI untuk HMI atau ber-HMI untuk dirinya sendiri. Wallahua’lam bisshawab.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment